Rabu, 11 November 2015

Konsep Takholli, Tahalli dan Tajalli dalam TASAWWUF

Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli dan Tajalli

Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli dan Tajalli Tasawuf adalah salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang sangat berharga. Tasawuuf merupakan konsepsi pengetahuan yang menekankan spiritualitas sebagai metode tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa Rosulullah saw.
Pada awalnya tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan perkataan Rosulullah saw yang sarat dengan dimensi sepiritualitas dan ketuhanan. Tasawuf tidak bisa di ketahui melalui metode-metode logis atau rasional. Pada zaman modern ini, tasawuf semakin menarik minat umat islam untuk mengamalkan ajaran tasawuf. Terutama ketika kemajuan zaman telah berdampak terhadap kekeringan jiwa manusia.
Adapun beberapa cara untuk merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya : Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan Tajalli (tersingkapnya tabir). Lebih jelasnya simak dalam pembasan dibawah ini .


A. TAKHALLI

Tkhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah menerima pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan tuhan, dengan jalan sebagai berikut :

a. Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksananya tidak sekedar apa yang terlihat secara lahiriyyah, namun lebih dari itu, memahami makna hakikinya.
b. Riyadhoh (latiahan) dan mujahadah (perjuangan) yakni berjuang dan berlatih membersihkan diri dari kekangan hawa nafsu, dan mengendalikan serta tidak menuruti keinginan hawa nafsuny tersebut. Menurut Al-Ghozali, riyadoh dan mujahadah itu adalah latihan dan kesungguhan dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (shahwat) yang negativ dengan mengganti sifat yang positive.
c. Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sifat buruk dan mempunyai daya tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantikanya dengan kebiasaannya yang baik.
d. Mukhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkn sifat-sifat yang jelek itu. Memohon pertolongan Allah dari godaan syaitan.

Jika dihubungkan pemikiran dan metode KH.Ahmad Rifa'i dengan konsep tasawuf masuk dalam kategori metode tahalli yaitu mengisi diri dari sifat-sifat yang terpuji. (mahmudah). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Zahri bahwa metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai pengisian diri menuju jiwa yang sehat yaitu melalui takhalli ( membersihkan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji), dan tajalli (memperoleh kenyataan Tuhan) Penegasan Mustafa Zahri didukung pula oleh Amin Syukur yang menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang beratlah, maka hawa nafsu manusia akan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang takhalli, tahalli dan tajalli.
Sejalan dengan itu Hanna Djumhanna Bastaman mengemukakan empat pola wawasan kesehatan mental dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut: pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis, kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri, ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi, keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian , Pemikiran Ahmad Rifa’i di atas masuk dalam kategori takhalli. Dengan demikian tampaklah bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit. Maka dari itu kita harus selalu berusaha menjauhkan atau mengkosongkan diri dari sifat-sifat kemkasiatan , sifat itu diantaranya :

1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia)
Hubb al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan secara istilah adalah cinta pada dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada akhirat yang nantinya akan sia-sia, Perilaku ini dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang tercela karena memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan celaan terhadap dunia yang dapat membawa orang lupa akan akhirat. Dengan batasan ini maka ia masih memberikan peluang untuk menyisihkan pada dunia selama tidak menjadikan orang lupa akan akhirat.
2. Tamak
Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun sebenarnya mengandung ajakan untuk menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada saat itu. Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak.
3. Ujub
Ujub artinya mengherankan dalam batin.Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu memastikan kesentosaan badan Dari siksa akhirat keselamatannya. Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub.
5. Riya’
Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini beliau membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah.
6. Takabur
Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang.
7. Hasud
Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan hasud adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda.
8. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada oranglain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan yang harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun batin.

B. TAHALLI

Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam atau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi .
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang baik dapat dilalui, usah itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu baru kemudian di isi . Akan tetapi, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu pula diisi dengan kebiasaan yang baik.
Pada dasarnya jiwa manusia bias di latih, dikuwasai, diubah, dan dibentuk seuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya.
Tahalli adalah berbias dengan sifat-siaft Allah. Akan tetapi, perhiasan paling sempurna dan paling murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat pengambaan. Penghambaan adalah pengabdian penuh dan sempurna dan sama sekali tidak menampakan tanda-tanda keTuhanan (Rabbaniyyah). Hamba yang berhias (tahalli) dengan penghambaan itu menempati kekekalan dalam dirinya sendiri dan menjadi tiada dalam pengatahuan Allah.
Tahalli juga dapat diartiakan sebegai semedi atau mediatasi secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat akan keindahan wajah Tuhan. Tahalli merupakan segi fraksional yang dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi. Maka dari itu ada beberapa cara untuk menghiasi diri kita untuk memdekatkan diri pada Allah diantaranya : zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat.

1. Zuhud
Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkanmenurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek perilaku yang harus ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta.
2. Qona’ah
Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat. Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hal ini dapat dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya. Dari syair KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin
3. Sabar
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut istilah menanggung penderitaan yang mencakup tiga half yaitu:
a. Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya
b. Menanggung penderitaan karena taubat dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat baik lahir maupun batin Dengan pembatasan ruang lingkup pengertian sabar yang demikian ini, ia terlihat berusaha memberikan makna yang mempunyai cakupan menurut pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak sabar dikaitkan dengan pelaksanaan hukum Allah sebagaimana pendapat al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan. Kelanjutan dari pengertian sabar menurut Ahmad Rifa’i adalah menempatkan kesabaran secara proposional khususnnya pengertian ketiga. Di sini ia menekankan bahwa kesalahan terhadap penyimpangan agama (yang mengandung unsure keharaman) tidak diperlukan lagi.
4. Tawakal
Tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram 15
5. Mujahadah
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati 16 Dalam penjelasan selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek kesungguhan dalam memerangi hawa nafsu dengan tujuan memperoleh jalan benar serta keberuntungan.
6. Ridha
Ridha berarti dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridhamemiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.
7. Syukur
Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa bersyukur dapat dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati. Makna lain dari pengertian syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti Qona’ah yang berupa ketenangan hati memilih ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada harta.
8. Ikhlas
Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih. Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas ini Ahmad Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini memiliki kemiripan dengan 17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah. Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’I sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir.

C. TAJALLI

Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.
Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap dai alam gaib, atau proses mendapat penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib dalam hati seorang mediator disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang merupakan anugrah dari Tuhan dan diluar adikuasa manusia.
Tajalli berarti Allah menyingkapkan diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pernah pula berakhir. Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya baatiniyah yang masuk ke hati. Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli dan tajalli maka dia akan mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang berarti lenyap tau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika tampak wajah Allah. Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri manusia supaya Ia dapat disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan. Jika terjadi perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak menandakan adanya perselisihan diantara guru sufi. Masing-masing manusia unik, oleh karena itu masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang meraskan pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-kata. Tajalli adalah ketakjupan. Al-Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan .

a. Tajalli Af`al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala aktivitasnya itu disertai qudratn-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya.
b. Tajalli Asma`, yaitu lenyapanya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Dalam tingkatan ini tidak ada yang dilihat kecuali hannya dzat Ash Shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat asma`.
c. Tajalli sifat, yaitu menrimanya seorang hamba atas sifat-siafat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanapa hullul dzat-Nya.
d. Tajalli Zat, yaitu apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang mem-fana` kan dirinya maka bertempat padanya karunia ketuhanan yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat, disitulah terjadi ketunggalan yang sempurna. Dengan fana`nya hamba maka yang baqa` hanyalah Allah. Dalam pada itu hamba tekah berada dalam situasi ma siwalah yakni dalam wujud allah semata.
Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada tuhan (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba, utusan, dan kekasih-Nya.”
Ibnu Arabi menyatkan bahwa tajalli Tuhan ada dua bentuk, yaitu tjalli ghaib atau tajalli dzati dan tajalli shuhudi. Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam , yaitu sebagai berikut :
a. Tajalli Zat, yaitu mukhasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).
b. Tajalli sifat Adz-Dzat, yaitu tampaknya sifat-siafat zat Allah sebagai sumber atau tempat cahaya.
c. Tajalli Hukma Adz-Dzat, yaitu tampaknya hokum zat-Nya yaitu hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada didalamnya.
Pengertian hubungan makhluk dan Khalik disebut makrifat. Di sinilah letak perjalanan itu. Kalau sudah bisa menggapainya niscaya akan merasakan tajalli. Kalau sudah bisa merasakan tajalli akan takhalli, dan sebagainya sesuai kenaikan berzikir dalam makrifat. Tajalli itu artinya meraih kemuliaan di sisi Allah, atau keluhuran. Saat mencapai tingkatan itu, hati akan merasa sepi. Yaitu, sepi ing pamrih rame ing gawe. Namun yang sebenarnya, makna tajalli sangat luas. Ini bahasa tasawuf dalam tarekat. Kalau hati bisa meletakkan sepi selain Allah itu artinya akan menemukan satu takhalli. Yaitu satu kenikmatan, kelezatan, satu kemanisan karena bisa melepaskan semuanya selain Allah dan Rasul-Nya.

Minggu, 08 November 2015

Hukum Selamatan ke 3, 7, 40, 100, setahun, 1000 hari

Hukum Selamatan ke 3, 7, 40, 100, setahun, 1000 hari

Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.

Tahlilan sampai tujuh hari ternyata tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabi’in

Siapa bilang budaya bersedekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino (tujuh hari) atau empat puluh hari pasca kematian itu budaya hindu ?
Di Indonesia ini banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat. Semisal Megangan, pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo, duduk-duduk di rumah duka dan lainnya. Akan tetapi bukan berarti setiap adat istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram dilakukan oleh seorang muslim. Dalam tulisan sebelumnya al-faqir telah menjelaskan tentang budaya atau tradisi dalam kacamata Syare’at di ; http://warkopmbahlalar.com/2011/strategi-dakwah-wali-songo.html atau di ; http://www.facebook.com/groups/149284881788092/?id=234968483219731&ref=notif&notif_t=group_activity.
Tidak semua budaya itu lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Saw sendiri mengadopsi tradisi puasa ‘Asyura yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari kemenangannya Nabi Musa dengan berpuasa. Syare’at telah memberikan batasannya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat ditanya tentang maksud kalimat “ Bergaullah kepada masyarakat dengan perilaku yang baik “, maka beliau menjawab:  “Yang dimaksud perkara yang baik dalam hadits tersebut adalah :
هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي
“ Beradaptasi dengan masyarakat dalam segala hal selain maksyiat “. Tradisi atau budaya yang diharamkan adalah yang menyalahi aqidah dan amaliah syare’at atau hukum Islam.
Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Perhatikan dalil-dalilnya berikut ini :
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Thowus berkata:  “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
Sementara dalam riwayat lain :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa:  “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak  sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

Jumat, 06 November 2015

Semangkok Nasi Putih

KISAH NYATA : Semangkuk Nasi Putih


Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di negri Tiongkok. Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir didepan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu direstoran sudah agak sepi, dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk kedalam restoran tersebut.

Kemudian pemuda itu berkata: “Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih”; dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan.

Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya.

Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan sedang membayar lalu berkata dengan pelan: “dapatkah menyiram sedikit kuah sayur diatas nasi saya.”

Istri pemilik rumah berkata sambil tersenyum:”Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar !”
Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir:” kuah sayur gratis.”

Lalu memesan semangkuk lagi nasi putih.
” Semangkuk tidak cukup anak muda, kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya.”

Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini.
“Bukan, saya akan membawa pulang, besok akan membawa ke sekolah sebagai makan siang saya !”

Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin di luar kota, demi menuntut ilmu datang kekota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti.

Berpikir sampai disitu pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan dibawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.

Melihat perbuatannya, istrinya mengetahui suaminya sedang membantu pemuda ini, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan dibawah nasi?

Suaminya kemudian membisik kepadanya :”Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk di nasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung lain kali dia tidak akan datang lagi, jika dia ketempat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah.”

“Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya.”

“Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku ?”

Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain.
“Terima kasih, saya sudah selesai makan.”

Pemuda ini pamit kepada mereka.
Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka.

“Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat !” katanya sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi.

Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah ke rumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari.

Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi.

Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur, tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dan mengingat anak mereka yang disekolahkan diluar negeri yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.

Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek kelihatannya seperti direktur dari kantor bonafid.
“Apa kabar? Saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan, saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami, perusahaan kami telah menyediakan semuanya kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian kesana, keuntungannya akan dibagi 2 dengan perusahaan.”

“Siapakah direktur diperusahaan kamu ? Mengapa begitu baik terhadap kami? Saya tidak ingat mengenal seorang yang begitu mulia !” sepasang suami istri ini berkata dengan terheran.

“Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami, direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu, yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya.”

Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul, setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses.

Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini, jika mereka tidak membantunya dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang.

Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya. Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka:”bersemangat ya ! dikemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian, sampai bertemu besok !”

Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan. Jangan lupa vote +1 dan Share ya..

Jumat, 23 Oktober 2015

Burung Beo Sang Kyai



Suatu ketika seorang kyai yang sangat dicintai para santri membeli burung beo. Karena dia kyai, maka cara mengajarkan burung ini pun berbeda dengan kebanyakan orang. Pak kyai mengajarkan burung ini kalimat dzikir. Setiap hari burung ini diajarkan untuk mengucapkan "Allahu Akbar...Allahu Akbar... Allahu Akbar."
Setelah 3 bulan, ribuan santrinya mengakui kehebatan beo ini. Ia mampu mengucapkan "Allahu Akbar...Allahu Akbar." Ini menjadi tontonan menarik, melebihi serunya mukhadarah. Bulan berikutnya, sang kyai mengajarkan "Subhanallah...Subhanallah." Dan, lagi-lagi, kyai ini bisa mengajarkan burung beo ucapan dzikir, "Subhanallah...Subhanallah...Subhanallah."
Beo Pak kyai mendapat perhatian hebat. Burung langka, bisa berdzikir. Para santri yang kiriman uangnya terlambat bisa terhibur. Beo menjadi kebanggaan pesantren ini.
Bulan berikutnya Pak Kyai pun mengajarkan kalimat tauhid, "Laa ilaha...illa Allah....Laa ilaha...illa Allah" Dan, memang berhasil. Si beo berhasil mengatakannya dengan makhraj beo yang pas-pasan. Tapi, tetap fasih dalam dunia beo. Ia tampak hebat dan alim. Setelah itu, praktis semua kalimat dzikir yang pernah diajarkan Kyai kepada santrinya, diajarkan pula pada beo ini.
Namun, tiba-tiba si beo jatuh sakit. Badannya menjadi kurus, lesu dan lunglai. Sang Kyai mengamati proses sakit yang berhari-hari. Sampai suatu ketika, burung beo itu sekarat. Dan ketika hendak mati, burung beo ini kejang-kejang dan keluar suara dari mulutnya, "Khukhkh...Khukhkh....Khukhkh." Lalu mati begitu saja.
Pak kyai begitu sedih. Dia tampak murung, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan merenungkannya.
Pernah suatu ketika, sang kyai duduk termenung memandangi bekas sangkarnya setelah shalat jamaah. Beberapa santri pernah menyaksikan Pak Kyai berbicara sendiri dengan sangkar burung itu.
Kejadian ini jelas membuat santri-santri senior prihatin. Mereka lalu patungan mengumpulkan uang untuk membeli burung beo sebagai pengganti.
Singkat cerita, mereka berhasil membeli burung beo muda dengan warna sama seperti beo kesayangan Kyai dahulu.
"Pak Kyai, ini kami belikan burung beo baru. Mungkin, burung ini bisa mengobati kesedihan Pak Kyai," tutur santri senior.
Pak Kyai tampak kaget. Dia menarik nafas panjang...Lalu diam agak lama. Beberapa santri pun tertunduk. Sambil menunggu ucapan terima kasih yang datang agak berat.
"Kalian pikir, saya ini sedih gara-gara ditinggalkan mati oleh burung beo? Kalian pikir saya mau memelihara burung beo lagi untuk sekadar menuruti hobi saya?" kata kyai.
Semua santri yang ada di situ terdiam. Mereka bingung.
"Saya sedih dan takut kalau-kalau santri-santri di pondok ini bernasib sama dengan beo itu! Saya takut ribuan santri yang saya didik bertahun-tahun tentang agama, tapi saat ajalnya tiba hanya mampu berucap, "Khukhkh...Khukhkh....Khukhkh..."
KESIMPIULAN :
Simpen Kalimah dina hate, lain dina lisan. Sagindingna kalimah dzikir nu ngagalindeng  liwat lisan, teu saginding sakecap dzikir di dima’nai ku hate…

Jumat, 16 Oktober 2015

Kisah Hijrah Rasulullah yang Menggetarkan Jiwa

Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah Al-Mu-karramah ke Al-Madinah Al-Munawwarah berlang­sung 1432 tahun yang lalu.. Meskipun peristiwa besar itu terjadi sudah lebih dari 14 abad silam, pengaruhnya masih terus berlangsung dalam kehidupan kaum muslimin.


Kisah Hijrah Rasulullah yang Menggetarkan Jiwa

Hijrah adalah sunnatullah dalam kehidupan para nabi dan rasul, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, mereka melakukannya. Dengan ber­­hijrah, mereka bisa menegakkan agama Allah. Dengan berhijrah, para pengikut setia mereka dapat keluar dan bebas mer­deka dari sistem Jahiliyah dan penin­dasan yang dilakukan para penguasa zhalim terhadap mereka.

Sebab itu, Allah jadikan hijrah itu salah satu pilar utama penegakan Islam. Di samping itu, dengan hijrah seorang mukmin mendapat perlindung­an dari saudara-saudaranya yang lain. Allah berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 72 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhij­rah serta berjihad dengan harta dan jiwa­nya pada jalan Allah dan orang-orang yang mem­berikan tempat ke­diam­an dan pertolong­an (kepada orang-orang muhajirin), me­reka itu lindung-melindungi. Dan (terha­dap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka sebe­lum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan ke­pada­mu dalam (urusan pembelaan) aga­ma, kamu wajib memberikan pertolong­an, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Bagian Bumi yang paling Baik

Sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beberapa kalangan di antara penduduk Madinah telah memeluk Islam. Berita ini pun sampai ke Makkah. Tersebarnya kabar tentang masuk Islam­nya sekelompok penduduk Madi­nah mem­buat orang-orang kafir Quraisy se­ma­kin meningkatkan tekanan ter­hadap orang-orang mukmin di Makkah.

Dalam upaya menyelamatkan dak­wah Islam dari gangguan kafir Quraisy, Rasulullah SAW, atas perintah Allah, bersegera hijrah dari Makkah ke Madi­nah. Namun sebelumnya Nabi SAW me­merintahkan kaum mukminin agar hijrah terlebih dahulu ke Madinah. Para saha­bat segera berangkat secara diam-diam agar tidak dihadang oleh musuh.

Menjelang Rasulullah SAW hijrah, kaum kafir Quraisy telah merencanakan upaya jahat untuk membunuh beliau. Ketika saatnya tiba, sebagaimana di­tuturkan oleh Muhammad Husain Haikal dalam Hayat Muhammad, pe­muda-pe­muda yang sudah disiapkan kaum Quraisy untuk membunuh Ra­sulullah di malam itu sudah mengepung rumah be­liau. Pada saat bersamaan, Rasulullah menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk mema­kai jubahnya yang ber­warna hijau dan tidur di kasur beliau. Nabi SAW meminta Ali supaya ia tinggal dulu di Makkah un­tuk menyelesaikan berbagai keperluan dan amanah umat sebelum melaksana­kan hijrah.

Para pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah, mengintip ke tempat tidur Nabi SAW. Mereka me­lihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa orang yang mereka incar belum lari. (masyaAlloh)

Menjelang larut malam, Rasulullah keluar rumah menuju kediaman Abu Ba­kar Ashshiddiq. Beliau keluar melalui jendela pintu belakang dan terus bertolak ke arah se­latan, ke arah Yaman, menuju Gua Tsur.

Untuk mengelabui para pemuda Quraisy yang telah menutup semua jalur menuju Madinah, Rasulullah me­mutus­kan menempuh jalan lain, rute yang ber­beda, dari jalur yang biasa di­gunakan pen­duduk Makkah untuk me­nuju Madi­nah. Beliau juga memutuskan akan berang­kat bukan pada waktu yang biasa.

Para pemuda Quraisy yang beren­cana akan menyergap Nabi SAW pun ke­mudian memasuki rumah beliau. Na­mun alangkah terkejutnya mereka, ka­rena ternyata beliau sudah tidak ada di tempat. Mereka hanya mendapati Ali sedang tidur di kasur beliau.

Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muham­mad Husain Haikal, dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh ba­haya, demi kebenaran, keyakinan, dan ke­iman­an.

Yang ditempuh Rasulullah setelah keluar dari rumah beliau adalah Gua Tsur, yang berjarak sekitar enam hingga tujuh kilometer di selatan Makkah. Se­dangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy.

Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar, yang menemani beliau, tinggal selama kurang lebih tiga hari.

Sebelum melangkahkan kaki, Ra­sulullah menatap kota Makkah dari ke­jauhan. Dengan berlinang air mata, be­liau berucap, “Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah.”

“Janganlah Engkau Bersedih Hati…”

Gua yang sempit dan jarang dising­gahi manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.

Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah ter­sebut.

Ali berdiam di rumah Rasul SAW untuk mengelabui kaum musyrikin. Ab­dullah ditugasi untuk memantau per­kem­­bangan berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampai­kannya kepada Rasul pada malam hari­nya ke tempat persembunyian. Asma setiap sore membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan me­nyiap­kan daging. Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejak.

Sementara itu pihak Quraisy beru­saha keras mencari jejak Rasul SAW dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Qu­raisy dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke segenap penjuru.

Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka menyambangi bibir gua itu.

Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi kemudian tidak jadi.

“Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya.

“Setelah aku amati, tampaknya gua ini tak mungkin dijadikan persem­bunyi­an. Di dalamnya ada sarang laba-laba dan sarang burung liar hutan. Akal se­hatku mengatakan, tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya, bah­kan tak ada bukti yang menunjukkan jejak orang yang kita cari,” katanya.

Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa khawatir. Apalagi men­de­ngar derap langkah orang-orang itu. Ia ber­kata kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemu­kan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu. Bagaimana jadinya?”

Beliau menjawab dengan balik ber­tanya, “Apa yang ada di benakmu jika ber­duanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita?”

Maka turunlah firman Allah yang artinya, “Kalau kamu tidak menolong­nya, sesungguhnya Allah telah meno­long­nya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengu­sirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang itu, ketika ke­duanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada teman­nya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah me­nu­run­kan ketenangan kepada­nya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadi­kan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.” — QS At-Tawbah (9): 40.

Padang Pasir nan Gersang

Setelah meyakini bahwa apa yang dicari tampaknya tidak membuahkan ha­sil, gerombolan musyrikin ini mening­gal­kan gua tersebut.

Tiga hari tiga malam Rasulullah SAW bersama Abu Bakar di dalam gua yang senyap dan gelap itu.

Pada hari ketiga, ketika keadaan su­dah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun da­tang menyiapkan makanan.

Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya diguna­kan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehing­ga ia lalu diberi nama Dzat an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).

Setelah tiga malam berada di gua, pada malan Senin tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyyah, atau pada tanggal 16 September 622 M, Ra­sulullah SAW, Abu Bakar RA, Amir bin Fuhairah, beserta seorang penunjuk ja­lan yang bernama Abdullah bin Uraiqith, keluar dari gua, berangkat menuju Madi­nah. Rasulullah SAW duduk di atas unta, yang dalam kitab tarikh disebut dengan nama “Al-Qushwa”.

Menjelang siang, Rasulullah SAW dan Abu Bakar berangkat meninggal­kan Gua Tsur.

Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah seorang Badwi dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk jalan, me­reka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka menempuh perjalanan yang amat berat.

Selama tujuh hari Rasulullah SAW ber­sama Abu Bakar, Amir, dan penun­juk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristi­rahat di siang hari karena panas yang mem­bara dan kembali melanjutkan perjalan­an sepanjang malam, meng­arungi pa­dang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allah-lah yang membuat Rasulullah dan sahabat­nya berteguh hati dan merasa­kan damai yang me­nye­limuti.

Sambutan Penuh Suka Cita

Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 dari nubuwwah atau tahun pertama dari hijrah, bertepatan de­ngan tanggal 23 September 622 M, Ra­sulullah dan rombongan tiba di Quba dengan sambutan yang luar biasa oleh kaum muslimin yang ada di sana. Ke­mudian berjalan hingga berhenti di Bani Amr bin Auf. Abu Bakar berdiri, semen­tara Rasulullah duduk sambil diam. Orang-orang Anshar yang belum per­nah me­lihat dan bertemu Rasulullah mengira bah­wa yang berdiri itulah Rasulullah, padahal itu Abu Bakar.

Tatkala panas matahari mengenai Rasulullah, Abu Bakar segera mema­yungi beliau dengan jubahnya. Saat itu­lah mereka baru tahu bahwa yang duduk dan diam itulah Rasulullah SAW.

Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilo­meter dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya melaksanakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at dilaksana­kan di tem­pat Bani Salim bin Auf. Untuk mem­peringati peristiwa itu, dibangunlah mas­jid di lokasi ini dengan nama “Masjid Jum’at”.

Pada hari Jum’at itu pula beliau me­lanjutkan perjalanan menuju Madinah.

Berita tentang hijrahnya Nabi SAW yang akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya su­dah tersiar di Yatsrib (Madinah). Pen­duduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Qu­raisy telah banyak menimpa Nabi SAW. Oleh karena itu kaum muslimin menanti­kan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati yang khawatir tapi sekaligus berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.

Banyak di antara mereka yang belum pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan me­nge­tahui pe­sona bahasanya serta keteguhan pen­diriannya. Semua itu membuat me­reka rindu sekali ingin bertemu.

Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat di kota Madinah pada hari Jum’at, 12 Rabi’ul Awwal, tahun 13 Ke­nabian/12 atau 13 September 622 M. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan me­nyeruak di langit Madinah. Syair pun ber­kumandang:

Thola‘al badru ‘alayna
Min Tsaniyyatil Wada’
Wajabasy syukru ‘alayna
Ma da‘a lillahi da‘
Ayyuhal mab‘utsu fina
Ji’ta bil amril mutha’
Telah nampak bulan purnama
Dari Tsaniyyah Al-Wada’
Wajiblah kami bersyukur
Atas masih adanya penyeru kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati

Thola'al Badru 'AlainaAbu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun tampil menjadi peno­longnya. De­ngan penuh suka cita, ia telah memper­siapkan bangunan rumah bagi Nabi. “Terserah olehmu, wahai kekasih Allah… bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia bersamamu,” kata Abu Ayyub.

Di rumah pemberian Abu Ayyub-lah Nabi SAW memilih untuk tinggal ber­sama istrinya, Saudah binti Zamah, dan kedua putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum.

Hari itu jatuh pada hari Jum’at, se­hingga beliau bersegera untuk melak­sana­kan ibadah Jum’at yang pertama kali diselenggarakan di Madinah.

Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di Madinah, di Lembah Wadi Ra­nunah, Baqi, tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan lang­kahnya. Nabi SAW turun dari unta­nya dan bertanya, “Kepunyaan siapa tempat ini?”

“Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu.

Kedua anak yatim itu berharap kepada Nabi Muhammad SAW agar di lahan milik mereka didirikan masjid. Nabi menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam per­jalanan hijrah yang amat berkesan.

Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib beberapa hari sebelumnya.

Aisyah RA meriwayatkan, permu­suhan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Me­reka datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW meminta izin berhijrah. Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Sesungguh­nya aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.”

Para sahabat pun bersiap-siap, me­ngemas semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak mem­pe­­dulikan lagi harta benda milik me­reka. Mereka ingin segera melaksana­kan pe­rintah Rasul itu.

Mereka berangkat secara sem­bunyi-sembunyi.

Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab‘ah ber­sama istrinya, Laila binti Abi Hasymah.

Setelah itu para sahabat Rasulullah SAW datang secara bergelombang. Me­reka tiba di rumah-rumah kaum An­shar dan mendapatkan tempat perlin­dungan.

Tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Al-Khaththab RA.

Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan, ketika Umar hendak berhijrah, ia mem­bawa pedang, busur, panah, dan tongkat yang diselempangkan di bahu­nya yang kokoh. Saat meninggalkan ru­mahnya, ia me­nuju Ka’bah. Sambil di­saksikan bebe­rapa orang tokoh Qu­raisy, Umar melaku­kan thawaf tujuh kali dengan tenang.

Setelah thawaf ia menuju Maqam Ibrahim dan mengerjakan shalat.

Seusai shalat, ia berdiri seraya ber­kata, “Semoga celakalah wajah-wajah kalian! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah!

Barang siapa ingin ibunya kehilang­an anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hen­daklah ia menghadangku di balik lembah ini.”

Tidak seorang pun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu Umar dan dilin­dungi perjalanannya.

Kemudian Umar berjalan dengan gagah berani dan santai.

Demikianlah, secara berangsur-angsur kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Makkah, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Ali RA, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang belum mampu keluar meninggalkan Makkah, termasuk ayah dan beberapa orang anak Abu Bakar RA.

Kisah Keteladanan

Saat hijrah berlangsung, banyak pe­ristiwa dan kejadian penting yang patut menjadi teladan umat Islam.

Di antaranya kisah Suraqah bin Malik bin Ja’syam. Ia bermaksud menangkap Rasulullah SAW dan Abu Bakar, lalu menyerahkannya kepada Quraisy, ka­rena tergiur dengan iming-iming yang diberikan bila dapat me­nang­kap Rasul SAW.

Namun, belum sempat mendekati Rasul, kudanya terperosok dan ia pun ter­jungkal. Hal itu berulang-ulang terjadi hingga akhirnya ia memohon maaf dan mengaku terus terang perbuatannya untuk menangkap Rasulullah SAW ka­rena tergoda oleh imbalan besar yang di­janjikan orang-orang kafir Quraisy.

Rasulullah kemudian memaafkan­nya. Inilah kebesaran jiwa Nabi, yang mes­ti diteladani umat. Walaupun sese­orang sudah bersalah, kalau ia meminta maaf, kita wajib memaafkannya.

Perjalanan hijrah para sahabat pun banyak yang dapat diambil hikmahnya. Mereka berbondong-bondong berhijrah ke Madinah meninggalkan harta, ne­geri, dan keluarga besar mereka. Me­reka bersabar dengan semua kesulitan dan rintangan yang ada di perjalanan mereka ke Madinah. Para muhajirin ini ada yang berkelompok, seperti hijrah­nya Umar bin Al-Khaththab Radhiyal­lahu ‘Anhu de­ngan ‘Ayyasy dan Ummu Sala­mah Ra­dhiyallahu ‘Anha bersama anak dan pendampingnya, dan ada yang berhijrah seorang diri, seperti hij­rahnya Shuhaib Ar-Rumi Radhiyallahu ‘Anhu.

Ketika ia berangkat hijrah, kaum kuffar Quraisy menghalanginya di te­ngah jalan. Mereka berkata kepada Shuhaib Ar-Rumi, “Engkau datang ke­pada kami dalam keadaan miskin. Ke­mudian harta­mu bertambah banyak ke­tika bersama kami. Sekarang engkau ingin pergi dengan membawa hartamu. Demi Allah, itu tidak akan bisa terjadi!”

Mendengar teguran ini, Shuhaib mengajukan penawaran, “Bagaimana pendapat kalian jika aku memberikan seluruh hartaku kepada kalian? Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Kisah ini terdengar oleh Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda, “Shu­haib telah mendapatkan keberuntung­an.”

Dalam riwayat lain disebutkan dari Shuhaib bahwa ia berkata kepada orang-orang kafir Quraisy ketika me­reka menyusul dirinya, “Maukah kalian aku beri beberapa uqiyah emas lalu kalian membiarkan aku pergi?”

Mereka pun setuju.

“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Galilah di depan pintu (rumah)-ku. Di bawahnya terdapat beberapa uqiyah emas.’

Lalu aku pergi dan bisa menyusul Rasulullah di Quba sebelum beliau pergi meninggalkannya.

Ketika melihatku, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Yahya, perniagaan yang menguntungkan.’ Kemudian beliau mem­baca ayat ini (yang artinya, ‘Dan di antara manusia ada orang yang mengor­bankan dirinya karena mencari keridha­an Allah, dan Allah Maha Penyantun ke­pada hamba-hamba-Nya).” — QS Al-Baqarah (2) 207.

Dalam riwayat lainnya ia berkata kepada orang Quraisy, “Sesungguhnya aku sudah tua dan aku memiliki harta dan perhiasan yang banyak. Tidak ada mudharat bagi kalian seandainya aku ikut kalian atau ikut musuh kalian. Aku serahkan semua harta dan perhiasanku dan aku beli agamaku dari kalian de­ngan itu semua.”

Akhirnya orang-orang Quraisy se­tuju dan membiarkan jalannya menuju Ma­dinah. Maka berangkatlah kembali Shuhaib Ar-Rumi menuju Madinah, lalu turunlah ayat di atas.

Imam Al-Alusi dalam kitab Ruh Al-Ma‘ani (2/97) menjelaskan kisah ini dengan mengatakan, “Shuhaib ketika berangkat berhijrah dikejar beberapa tokoh musyrikin, lalu ia turun dari ken­daraannya dan mengeluarkan isi tem­pat panahnya serta menyiapkan busur­nya. Kemudian ia berkata, ‘Wahai kaum Quraisy, sungguh aku seorang ahli me­manah. Sungguh, demi Allah, tidaklah kalian mampu menyentuhku hingga aku habiskan isi tempat anak panahku ini dan aku tebas dengan pedangku se­lama tidak lepas pedang tersebut di tanganku. Setelah itu barulah kalian bisa berbuat sesuka kalian.’

Lalu mereka menjawab, ‘Serahkan­lah kepada kami isi rumah dan hartamu di Makkah dan kami akan membiarkan kamu pergi.’

Kemudian orang-orang musyrik itu mem­buat perjanjian bahwa, bila ia me­nyerahkan kepada mereka, mereka akan membiarkannya pergi, maka ia pun menyetujuinya.

Maka Rasulullah pun bersabda, “Jual-beli yang menguntungkan, jual-beli yang menguntungkan.”

Lihatlah bagaimana komitmen ter­ha­dap Islam mengalahkan keinginan untuk memiliki semua harta, sehingga ia serah­kan seluruh harta bendanya agar dapat berhijrah ke kota Madinah. Ia serahkan seluruh harta bendanya bu­kan karena takut menghadapi orang-orang Quraisy, namun karena ingin berhijrah ke kota Ma­dinah dengan tanpa masalah. Per­juang­an yang patut dicontoh dan di­teladani.

***

Awal penindasan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin terjadi pada pertengahan atau akhir-akhir tahun keempat kenabian. Saat itu Az-Zahro telah mencapai usia delapan setengah tahun atau hampir mencapai sembilan tahun. Kemudian penindasan itu mencapai puncaknya pada per­tengah­an tahun kelima.

Ujian ini membuat kaum muslimin ber­pikir mencari cara yang dapat menye­lamatkan mereka dari siksaan yang pedih itu. Dalam kondisi tersebut tu­runlah Surat Az-Zumar, yang di dalam­nya terkandung isyarat yang agak jelas untuk melakukan hijrah. Allah SWT ber­firman yang artinya, ”Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, ber­taqwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” — QS Az-Zumar (39): 10.

Rasulullah SAW mengetahui bahwa Ashhimmah An-Najasyi, raja Habasyah, adalah seorang raja yang adil dan tidak mau menzhalimi seorang pun. Maka be­liau memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Habasyah.

Pada bulan Rajab tahun kelima ke­nabi­an, hijrahlah kelompok pertama dari para sahabat menuju Habasyah. Mereka terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Pemimpinnya Utsman bin Affan, yang hijrah bersama istri­­nya, Sayyidah Ruqayyah, putri Ra­sul­ullah SAW. Nabi SAW mengatakan ihwal mereka berdua, “Sesungguhnya mereka adalah keluarga pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”

Fathimah berpisah dengan kakak pe­rempuannya, Ruqayyah. Dalam perpi­sah­an tentu terdapat kekhawatiran, tetapi hal itu menjadi sesuatu yang remeh di ja­lan menegakkan agama Allah. Bahkan, se­gala sesuatu menjadi remeh. Anak men­jadi remeh, dan harta pun menjadi re­meh. Tanah air juga menjadi remeh di jalan meninggikan agama dan kalimat yang haq. Ruqayyah pergi hijrah meski­pun ia putri Rasulullah SAW. Ia bahkan ter­masuk orang yang pertama hijrah un­tuk membuka pintu hijrah bagi kaum mukminin yang lain. Dalam hal ini tidak ada beda antara putra-putri Rasulullah dan kaum muk­minin semuanya, karena Islam bukanlah agama diskriminatif.

Fathimah menghapus air mata yang keluar karena perpisahan dengan sau­dara perempuannya. Pada kedua bibir­nya tersungging senyuman, karena sau­dara itu akan mendapatkan ganjaran yang besar dari Allah SWT.

Setelah perpisahan ia pergi menjum­pai ibunya agar ibunya, Sayyidah Khadi­jah, melihat air mata di kedua matanya dan senyuman di bibirnya.

Hijrah yang diberkahi dan pertama kali menuju Habasyah itu dapat berlang­sung dengan selamat.

Fathimah dan ayahnya kemudian me­rasa rindu untuk mendengar berita-berita tentang Ruqayyah, dan Allah mengabul­kan keinginan kedua hati itu.

Kemudian datang seorang perem­puan dari kalangan Quraisy yang menga­takan, “Wahai Muhammad, sung­guh aku me­lihat menantumu bersama dengan istri­nya di atas keledai yang ditung­gangi­nya.”

Maka Rasulullah SAW mengatakan, “Semoga Allah menyertai keduanya. Se­sungguhnya Utsman adalah orang per­tama yang hijrah dengan keluarganya setelah Nabi Luth AS.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya mereka ber­dua adalah orang pertama yang hijrah ke jalan Allah setelah Nabi Luth.”

Ruqayyah tidak kurang kerinduan­nya dibandingkan ayahnya, ibunya, dan sau­dara-saudara perempuannya. Bah­kan, mungkin ia termasuk yang paling meng­inginkan kembali ke Makkah di antara mereka yang hijrah itu. Dan mungkin itu karena ia belum pernah ke­hilangan kedua orangtuanya dan saudara-saudara pe­rem­puannya sebelum itu sebagaimana ia kehilangan mereka saat itu. Kejadian-kejadian berat yang dialaminya terutama ke­tika ia keguguran pada kandungannya yang pertama, yang sangat mempenga­ruhi kesehatan­nya, sehingga orang kha­watir ia akan menjadi terlalu lemah dan letih.

Tetapi ia mendapatkan perhatian suami­nya dan kecintaannya, juga kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang hijrah, yang semua itu membantu­nya untuk mengatasi krisis yang berat, sehingga ia kembali pulih. Lebih-lebih dengan datangnya berita-berita dari Makkah bahwa kaum Quraisy telah putus asa untuk mengganggu Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga pemboi­kot­an yang sangat keras yang mereka timpakan kepada Bani Hasyim akhirnya dihentikan.

Semuanya Bersujud

Akar dari berita yang tersebar itu adalah, suatu ketika, Rasulullah keluar di bulan Ramadhan pada tahun itu me­nuju Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram dipenuhi oleh sekumpulan orang Quraisy yang banyak jumlahnya. Di antaranya ter­dapat para pemuka dan pembesarnya. Lalu Rasulullah berdiri di tengah-tengah kum­pulan ini. Kaki Fathimah tidak beran­jak dari tempatnya menyaksikan kebe­ranian ayahnya ber­ada di tengah-tengah sekumpulan besar para musuhnya. Tiba-tiba Fathimah mendengar suara beliau yang keras ketika membaca surah An-Najm. Orang-orang kafir itu sebelumnya tidak pernah mendengar kalam Allah, karena cara mereka yang turun-temurun adalah mengamalkan apa yang dipesan­kan oleh sebagian mereka kepada se­bagian yang lain.

Di antara ucapan mereka adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya, ”Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan (mereka).” — QS Fush­shilat (41): 26.

Ketika Rasulullah mendatangi me­reka secara tiba-tiba dengan membaca surah ini dan mengetuk telinga mereka de­ngan kalam Ilahi yang memukau, me­reka merasa bingung dengan apa yang mereka alami. Maka masing-masing mereka mendengarkannya dengan baik. Tidak terpikir di benak mereka saat itu sesuatu selainnya, sampai ketika beliau membaca akhir surah ini seolah-olah hati mereka menjadi terbang. Kemudian beliau membaca ayat yang artinya, ”Maka bersujudlah kalian kepada Allah dan sembahlah (Dia).”

Setelah itu beliau sujud, dan tak ada se­orang pun yang dapat menguasai diri­nya sehingga semuanya bersujud.

Fathimah heran menyaksikan hal itu. Sungguh itu suatu pemandangan yang indah yang ia saksikan. Para pemimpin kekafiran dan pembesar-pembesarnya menjadi bingung berhadapan dengan indahnya kebenaran. Penentangan yang ada di dalam hati mereka yang sombong dan suka mengejek itu pun sirna seke­tika. Mereka tidak bisa menahan diri untuk bersujud kepada Allah. Tiba-tiba diri me­reka menjadi kosong dan dingin ketika ter­sentuh oleh arus keyakinan yang tim­bul dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia.

Kejadian ini merupakan petunjuk bagi setiap muslim bahwa sesungguh­nya ke­kuatan keburukan itu, betapa pun sewe­nang-wenangnya ia dan betapa pun ber­kuasanya ia, tak akan dapat melawan ka­limat-kalimat yang mengan­dung cahaya, dan tiang-tiangnya akan hancur apabila tersentuh oleh rahasia yang tersembunyi dalam kalimat-kalimat Allah ini.

Berita-berita tentang kejadian ini sam­pai pula kepada orang-orang yang hijrah ke Habasyah, tetapi beritanya sama sekali berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Maka kembalilah me­reka ke Makkah pada bulan Syawwal tahun itu juga.

Ketika mereka telah berada di dekat Makkah di suatu siang dan mereka mengetahui masalah yang sebenarnya, mereka pun kembali ke Habasyah. Tidak ada yang masuk ke Makkah di antara me­reka kecuali secara sembunyi-sembunyi atau dalam perlindungan seorang musy­rik Quraisy, seperti Al-Walid bin Al-Mughi­rah dan Abu Thalib bin Abdul Muththalib.

Ruqayyah dan suaminya juga kem­bali.

Ketika sampai ke perkampungan Makkah, ia segera menuju ke rumah ayah­nya, karena sangat rindunya. Ke­mudian kedua saudaranya, Ummu Kultsum dan Fathimah, segera mene­mui­­nya. Mereka memeluknya dan me­ngalir air mata di pelupuk mereka karena per­pisahan yang singkat namun lama. Wa­laupun singkat dalam masanya, lama dalam kerinduan dan penderitaannya.

Setelah itu tampak hakikat yang se­benarnya bahwa kaum Quraisy tetap ber­­ada dalam kekufurannya, penentang­an­nya, dan gangguannya. Lalu orang-orang yang hijrah pun kembali ke Ha­basyah.

Ruqayyah kembali bersama suami­nya, Utsman bin Affan, untuk hijrah kedua kalinya.

Kaum Quraisy melihat bahwa ada bahaya yang mungkin tersembunyi pada mereka yang hijrah ini. Mereka khawatir daerah Islam meluas ke luar Makkah dan kemudian kaum muslimin yang ada di Makkah mendapatkan orang-orang yang menolong mereka dan membantu mere­ka dalam hal-hal yang mereka butuhkan.

Dalam Perlindungan An-Najasyi

Kemudian orang-orang Quraisy ber­pikir untuk mengirim dua orang utusan dan membekali mereka dengan hadiah-hadiah yang dapat mereka bawa untuk An-Najasyi. Kaum Quraisy memilih dua orang yang cerdas di antara mereka. Me­reka ingin merusak hubungan baik antara An-Najasyi dan orang-orang yang hijrah. Pilihan mereka jatuh pada Abdullah bin Abi Rabi‘ah dan Amr bin Al-Ash bin Wail As-Sahmi. Mereka pun mengumpulkan hadiah-hadiah yang akan dibawa kedua­nya untuk An-Najasyi.

Maka bertolaklah mereka di depan mata Nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan keluarganya yang tetap tinggal bersama beliau.

Abu Thalib merasa kasihan kepada mereka yang berada di negeri Ha­basyah. Di antara mereka terdapat putranya, Ja‘far bin Abi Thalib, dua anak dari anak-anak perempuannya, Barrah dan Umai­mah, dan Ruqayyah, cucu saudaranya, Abdullah. Ia khawatir akan mereka dari tipu daya Amr dan saha­bat­nya. Maka ia menggubah sebuah syair yang ditujukan kepada Najasyi, meng­harapkan kemu­rah­annya agar berkenan membela umat Islam, yang telah memilih untuk berlin­dung kepadanya.

Hati Sayyidah Fathimah yang bersih juga bergetar karena khawatir akan nasib saudaranya, Ruqayyah, dan suami sau­daranya itu. Ia juga khawatir akan kaum muslimin lainnya yang berada dalam perlindungan An-Najasyi. Ibunya melihat bahwa di wajahnya terdapat kekhawatir­an yang tak diungkapkan oleh lisannya.

Namun Ummu Kultsum dapat mene­nangkannya dan segera mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menolong mereka yang hijrah itu terha­dap `Amr dan sahabatnya. Sesungguh­nya pertolongan Allah itu dekat. Tidak­kah kemarin engkau melihat, wahai Fathimah, kejadian yang menakjubkan dan mulia ketika ayahmu membaca surah An-Najm dan kemudian para pembesar dari me­reka yang kufur dan menentang itu ikut sujud. Bukankah ini pertolongan dari Allah Ta`ala dan pe­tunjuk dari-Nya yang di­sadari oleh hati-hati yang beriman? Se­sungguhnya mereka yang kafir itu se­andainya tidak mau beriman mereka akan hina. Bukan­kah keadaan mereka ini merupakan pe­tunjuk menyerahnya me­reka dan kehina­an mereka? Sesung­guh­nya Allah Ta`ala bersama mereka yang hijrah yang keluar di jalan-Nya. Sekali-kali Allah tidak akan menghinakan me­reka dan sesungguh­nya Allah akan me­nolong orang yang menolong agama-Nya. Dan mereka itu memang meng­ingin­kan pertolongan Allah dan ingin menyam­paikan agama­nya kepada semua yang berada di muka bumi.”

Sikap Rasulullah yang diam juga me­nenangkan Fathimah, karena beliau tidak berkata-kata menurut hawa nafsu­nya dan tidak ada sesuatu melainkan tampak pada wajahnya. Jika ada suatu kebaikan, wajahnya diliputi kegembiraan dan ke­bahagiaan; dan jika ada keburuk­an, wa­jahnya berubah menampakkan apa yang beliau tahan dalam dirinya.

Dua orang utusan kaum Quraisy itu pergi ke Habasyah. Mereka menyerah­kan kepada setiap orang suatu hadiah, ke­mudian mereka menyampaikan ha­diah­nya kepada An-Najasyi. Mereka me­minta An-Najasyi agar mengembalikan kepada mereka orang-orang yang me­ning­galkan agama mereka. Lalu terjadi­lah persaingan antara yang haq dan yang bathil, antara keimanan dan ke­kufuran, an­tara sumber-sumber kebaik­an dan sum­ber-sumber keburukan. Ke­mudian me­nanglah kebaikan, iman, dan kebaik­an, atas kebathilan, kekufuran, dan ke­burukan.

‘Amr dan Abdullah kembali ke kaum Quraisy dengan tangan hampa. Mereka membawa kegagalan dan kehinaan. Maka tahulah kaum Quraisy bagaimana sikap An-Najasyi dan bahwa semua yang ada di tempatnya akan berada dalam per­lindungannya dengan aman, dan bahwa usaha apa saja dari kaum Quraisy agar An-Najasyi mau mengem­balikan kaum muslimin yang hijrah tidak akan berhasil.

Fathimah yakin, kedua utusan itu te­lah kembali dalam keadaan terhina. Ia juga yakin, Allah akan menolong agama ini, baik di Makkah maupun di luar Makkah. Tidak ada kejadian-kejadian yang dialami kaum muslimin melainkan merupakan isyarat-isyarat dari Tuhan se­kalian alam yang membuat hati setiap mukmin menjadi tenang. Itu isyarat yang jelas, tidak ada kesamaran di dalamnya, dan memiliki maksud yang penting yang menguatkan hati orang-orang yang ber­iman.

Setiap kali awan semakin banyak

kilat menyambar

hujan akan turun

dan awal hujan itu adalah rintik-rintik

Jika kesulitan bertambah berat, akan datang cahaya kemudahan. Kesulitan dan kemudahan itu dua hal yang ber­cam­­pur sampai kemudahan dapat mengalah­kan kesulitan. Bagaimana pun beratnya langkah kesulitan, pasti suatu hari kemu­dahan akan dapat mengalah­kannya.

Wallahu a’lam

Rabu, 14 Oktober 2015

UMUR NU BAROKAH

مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًامِنْ اَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ

"Saha jalma anu ka-ayaan dina poe ieu leuwih alus tibatan poe kamari eta jalma untung"

Ieu kata mutiara anu tos masyhur, perlu dilenyepan, sabab saluyu sareng kasauran Kangjeng Rosul, yen moal datang hiji poe kajaba saba'dana leuwih goreng

لاَيأْتِى يَوْمٌ اَوْ زَمَانٌ الاَّالّذِى بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ
"Moal datang ka maraneh kabeh hiji hiji zaman kajaba saba'dana leuwih goreng"

mungkin pedah zaman geus tomper tereh qiyamah, maka beuki dieu beuki goreng, beuki amburadul. kamaksiatan dimana-mana, teu dikampung teu dikota, malah geus wani kapipir imah ajengan.
mabok, judi, maling, zina jeung sabangsana. maka zaman nu ayeuna keur karandapan kudu ati-ati ngagunakeunana, kudu leuwih alus ti batan kamari, ulah leuwih goreng.
lamun kalakuan nu kamari dianggap goreng, poe ayeuna ulah dilakonan deui. lamun amal ibadah nu kamari loba gagabah, poe ieu kudu leuwih alus, leuwih, gagah dina istiqomah.ulah kalahka beuki dieu beuki kedul, maksiyat beuki maceuh, doraka dikeureuyeuh.Naudzubillah.

komo lamun rek amal ngadagoan poe isuk, rek amal ngadagoan kolot, rek amal ngadagoan salse. da boga rasa rek panjang umur, asa lila keneh kana maot. boro-boro nambahan, nganggerkeun hayang berjama'ah unggal waktu bae ge hese, nganggeurkeun ngaji mingguan jeung bulanan ge beurat.

kuduna mah umur nu sakeudeung teh bisa manfaat jang sararea, lain keur pribadi wungkul, tapi sakabeh umat ngamanfaatkeun umur urang. boga jasa jeung karya nu awet dikenang salawasna, boh boga tulisan ilmu nu bisa dijadikeun tungtunan saperti ulama kapungkur, boh lembaga atawa karir nu manfaat, atawa akhlaq jeung budi pekerti anu hade.

Jalma anu amalna ngadagoan kana boga kesempetan jeung ngadago kolot, moal beubeunangan saeutik-eutik acan, turta nandakeun lemahna kaimanan. maka bakal ngakibatkeun :
1. Wani ngalakukeun dosa, sabab ancaman Allah ghoib, teu katingali, sedeng hatena nempo kaayaan ayeuna.
2. Wani ngengke-ngengke amal, sabab asa rek hirup panjang umur.
3. Teu bisa ngontrol akhlaq jeung kalakuan, hingga jongjon dina kagorengan.
4. Pasti pilihanana kahirupan dunya jeung mopohokeun kahirupan akherat.
Padahal anu disebut waktu terus maju teu meunang eureun masing sadetik, jeung tiap menit teu bisa balik deui. sakumaha dangding Syeikhuna :
"Anu tadi rikat indit, nu tiheula cepat mangkat, nu can datang masih suwung, nu puguh mah nu ayeuna.
"Nu ayeuna teu ngajeten, teu ari ku balas punten, permios teras amitan, teu kenging engke antosan.
"Pamit pikeun salawasna, tepang deui mah muhalna,ringkid cacandakanana, nyandak catetan amalna.
"isukan dilembur kuring, catetan bakal katembong, anu hade jeung nu goreng, catetan taya nu lowong.
"margi kitu ati-ati, awas anjeun sing taliti, kade poho dina ati, pake madep ka yang widi.
Malaikat tukang nyatet amal, moal galideur moal poho, moal malaweung, tara nundutan, tara capeeun, sakabeh kalakuan hamba moal leupas tina guratan pena kiromal katibin.

Kangjeng Rosul masihan pepeling, yen manusa moal ngora salawasna, moal pamuda salawasna, tapi bakal kolot, bakal pikun, maka kudu mangpang meungpeung kudu ngalap kauntungan ku kaayaan nu ayeuna. mengpeung sehat, da geus kasorang kasakit mah boro-boro hayang amal, ngarasakeun kasakit ge beak pikir. meungpeung sugih, bisa dahar bisa make, bisi kaburu teu bisa dahar-dahar acan, teu boga pakean-pakean acan. meungpeung salse memeh boga kasibukan nu teu bisa ditinggalkeun. komo deui meungpeung hirup memeh maot, da ari geus maot mah moal bisa ngalakukeun amal nanaon, kahanjakalan jeung kasedih nu bakal kasorang, hanjakal teu loba amal, hanjakal teu ngagunakeun waktu nu sampurna, hanjakal teu kungsi getol puasa, hanjakal sholat sunnat loba nu kaliwat, hanjakal loba dosa jeung mindeng mashiyat, teu ngagugu kana papatah jeung mauidzoh.


KHUTBAH JUM'AH

NASAB HABIB BA ALAWI SEPERTI MALAM LIKURAN

Para habaib sering mengungkapkan narasi bahwa, nasab para habib Ba Alawi sudah terang benderang bagaikan matahari di sianghari. Jika di sian...