Rabu, 11 November 2015

Konsep Takholli, Tahalli dan Tajalli dalam TASAWWUF

Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli dan Tajalli

Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli dan Tajalli Tasawuf adalah salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang sangat berharga. Tasawuuf merupakan konsepsi pengetahuan yang menekankan spiritualitas sebagai metode tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa Rosulullah saw.
Pada awalnya tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan perkataan Rosulullah saw yang sarat dengan dimensi sepiritualitas dan ketuhanan. Tasawuf tidak bisa di ketahui melalui metode-metode logis atau rasional. Pada zaman modern ini, tasawuf semakin menarik minat umat islam untuk mengamalkan ajaran tasawuf. Terutama ketika kemajuan zaman telah berdampak terhadap kekeringan jiwa manusia.
Adapun beberapa cara untuk merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya : Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan Tajalli (tersingkapnya tabir). Lebih jelasnya simak dalam pembasan dibawah ini .


A. TAKHALLI

Tkhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah menerima pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan tuhan, dengan jalan sebagai berikut :

a. Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksananya tidak sekedar apa yang terlihat secara lahiriyyah, namun lebih dari itu, memahami makna hakikinya.
b. Riyadhoh (latiahan) dan mujahadah (perjuangan) yakni berjuang dan berlatih membersihkan diri dari kekangan hawa nafsu, dan mengendalikan serta tidak menuruti keinginan hawa nafsuny tersebut. Menurut Al-Ghozali, riyadoh dan mujahadah itu adalah latihan dan kesungguhan dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (shahwat) yang negativ dengan mengganti sifat yang positive.
c. Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sifat buruk dan mempunyai daya tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantikanya dengan kebiasaannya yang baik.
d. Mukhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkn sifat-sifat yang jelek itu. Memohon pertolongan Allah dari godaan syaitan.

Jika dihubungkan pemikiran dan metode KH.Ahmad Rifa'i dengan konsep tasawuf masuk dalam kategori metode tahalli yaitu mengisi diri dari sifat-sifat yang terpuji. (mahmudah). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Zahri bahwa metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai pengisian diri menuju jiwa yang sehat yaitu melalui takhalli ( membersihkan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji), dan tajalli (memperoleh kenyataan Tuhan) Penegasan Mustafa Zahri didukung pula oleh Amin Syukur yang menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang beratlah, maka hawa nafsu manusia akan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang takhalli, tahalli dan tajalli.
Sejalan dengan itu Hanna Djumhanna Bastaman mengemukakan empat pola wawasan kesehatan mental dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut: pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis, kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri, ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi, keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian , Pemikiran Ahmad Rifa’i di atas masuk dalam kategori takhalli. Dengan demikian tampaklah bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit. Maka dari itu kita harus selalu berusaha menjauhkan atau mengkosongkan diri dari sifat-sifat kemkasiatan , sifat itu diantaranya :

1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia)
Hubb al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan secara istilah adalah cinta pada dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada akhirat yang nantinya akan sia-sia, Perilaku ini dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang tercela karena memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan celaan terhadap dunia yang dapat membawa orang lupa akan akhirat. Dengan batasan ini maka ia masih memberikan peluang untuk menyisihkan pada dunia selama tidak menjadikan orang lupa akan akhirat.
2. Tamak
Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun sebenarnya mengandung ajakan untuk menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada saat itu. Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak.
3. Ujub
Ujub artinya mengherankan dalam batin.Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu memastikan kesentosaan badan Dari siksa akhirat keselamatannya. Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub.
5. Riya’
Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini beliau membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah.
6. Takabur
Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang.
7. Hasud
Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan hasud adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda.
8. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada oranglain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan yang harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun batin.

B. TAHALLI

Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam atau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi .
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang baik dapat dilalui, usah itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu baru kemudian di isi . Akan tetapi, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu pula diisi dengan kebiasaan yang baik.
Pada dasarnya jiwa manusia bias di latih, dikuwasai, diubah, dan dibentuk seuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya.
Tahalli adalah berbias dengan sifat-siaft Allah. Akan tetapi, perhiasan paling sempurna dan paling murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat pengambaan. Penghambaan adalah pengabdian penuh dan sempurna dan sama sekali tidak menampakan tanda-tanda keTuhanan (Rabbaniyyah). Hamba yang berhias (tahalli) dengan penghambaan itu menempati kekekalan dalam dirinya sendiri dan menjadi tiada dalam pengatahuan Allah.
Tahalli juga dapat diartiakan sebegai semedi atau mediatasi secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat akan keindahan wajah Tuhan. Tahalli merupakan segi fraksional yang dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi. Maka dari itu ada beberapa cara untuk menghiasi diri kita untuk memdekatkan diri pada Allah diantaranya : zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat.

1. Zuhud
Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkanmenurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek perilaku yang harus ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta.
2. Qona’ah
Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat. Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hal ini dapat dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya. Dari syair KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin
3. Sabar
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut istilah menanggung penderitaan yang mencakup tiga half yaitu:
a. Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya
b. Menanggung penderitaan karena taubat dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat baik lahir maupun batin Dengan pembatasan ruang lingkup pengertian sabar yang demikian ini, ia terlihat berusaha memberikan makna yang mempunyai cakupan menurut pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak sabar dikaitkan dengan pelaksanaan hukum Allah sebagaimana pendapat al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan. Kelanjutan dari pengertian sabar menurut Ahmad Rifa’i adalah menempatkan kesabaran secara proposional khususnnya pengertian ketiga. Di sini ia menekankan bahwa kesalahan terhadap penyimpangan agama (yang mengandung unsure keharaman) tidak diperlukan lagi.
4. Tawakal
Tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram 15
5. Mujahadah
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati 16 Dalam penjelasan selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek kesungguhan dalam memerangi hawa nafsu dengan tujuan memperoleh jalan benar serta keberuntungan.
6. Ridha
Ridha berarti dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridhamemiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.
7. Syukur
Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa bersyukur dapat dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati. Makna lain dari pengertian syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti Qona’ah yang berupa ketenangan hati memilih ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada harta.
8. Ikhlas
Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih. Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas ini Ahmad Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini memiliki kemiripan dengan 17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah. Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’I sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir.

C. TAJALLI

Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.
Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap dai alam gaib, atau proses mendapat penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib dalam hati seorang mediator disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang merupakan anugrah dari Tuhan dan diluar adikuasa manusia.
Tajalli berarti Allah menyingkapkan diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pernah pula berakhir. Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya baatiniyah yang masuk ke hati. Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli dan tajalli maka dia akan mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang berarti lenyap tau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika tampak wajah Allah. Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri manusia supaya Ia dapat disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan. Jika terjadi perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak menandakan adanya perselisihan diantara guru sufi. Masing-masing manusia unik, oleh karena itu masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang meraskan pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-kata. Tajalli adalah ketakjupan. Al-Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan .

a. Tajalli Af`al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala aktivitasnya itu disertai qudratn-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya.
b. Tajalli Asma`, yaitu lenyapanya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Dalam tingkatan ini tidak ada yang dilihat kecuali hannya dzat Ash Shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat asma`.
c. Tajalli sifat, yaitu menrimanya seorang hamba atas sifat-siafat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanapa hullul dzat-Nya.
d. Tajalli Zat, yaitu apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang mem-fana` kan dirinya maka bertempat padanya karunia ketuhanan yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat, disitulah terjadi ketunggalan yang sempurna. Dengan fana`nya hamba maka yang baqa` hanyalah Allah. Dalam pada itu hamba tekah berada dalam situasi ma siwalah yakni dalam wujud allah semata.
Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada tuhan (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba, utusan, dan kekasih-Nya.”
Ibnu Arabi menyatkan bahwa tajalli Tuhan ada dua bentuk, yaitu tjalli ghaib atau tajalli dzati dan tajalli shuhudi. Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam , yaitu sebagai berikut :
a. Tajalli Zat, yaitu mukhasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).
b. Tajalli sifat Adz-Dzat, yaitu tampaknya sifat-siafat zat Allah sebagai sumber atau tempat cahaya.
c. Tajalli Hukma Adz-Dzat, yaitu tampaknya hokum zat-Nya yaitu hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada didalamnya.
Pengertian hubungan makhluk dan Khalik disebut makrifat. Di sinilah letak perjalanan itu. Kalau sudah bisa menggapainya niscaya akan merasakan tajalli. Kalau sudah bisa merasakan tajalli akan takhalli, dan sebagainya sesuai kenaikan berzikir dalam makrifat. Tajalli itu artinya meraih kemuliaan di sisi Allah, atau keluhuran. Saat mencapai tingkatan itu, hati akan merasa sepi. Yaitu, sepi ing pamrih rame ing gawe. Namun yang sebenarnya, makna tajalli sangat luas. Ini bahasa tasawuf dalam tarekat. Kalau hati bisa meletakkan sepi selain Allah itu artinya akan menemukan satu takhalli. Yaitu satu kenikmatan, kelezatan, satu kemanisan karena bisa melepaskan semuanya selain Allah dan Rasul-Nya.

Minggu, 08 November 2015

Hukum Selamatan ke 3, 7, 40, 100, setahun, 1000 hari

Hukum Selamatan ke 3, 7, 40, 100, setahun, 1000 hari

Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.

Tahlilan sampai tujuh hari ternyata tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabi’in

Siapa bilang budaya bersedekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino (tujuh hari) atau empat puluh hari pasca kematian itu budaya hindu ?
Di Indonesia ini banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat. Semisal Megangan, pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo, duduk-duduk di rumah duka dan lainnya. Akan tetapi bukan berarti setiap adat istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram dilakukan oleh seorang muslim. Dalam tulisan sebelumnya al-faqir telah menjelaskan tentang budaya atau tradisi dalam kacamata Syare’at di ; http://warkopmbahlalar.com/2011/strategi-dakwah-wali-songo.html atau di ; http://www.facebook.com/groups/149284881788092/?id=234968483219731&ref=notif&notif_t=group_activity.
Tidak semua budaya itu lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Saw sendiri mengadopsi tradisi puasa ‘Asyura yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari kemenangannya Nabi Musa dengan berpuasa. Syare’at telah memberikan batasannya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat ditanya tentang maksud kalimat “ Bergaullah kepada masyarakat dengan perilaku yang baik “, maka beliau menjawab:  “Yang dimaksud perkara yang baik dalam hadits tersebut adalah :
هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي
“ Beradaptasi dengan masyarakat dalam segala hal selain maksyiat “. Tradisi atau budaya yang diharamkan adalah yang menyalahi aqidah dan amaliah syare’at atau hukum Islam.
Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Perhatikan dalil-dalilnya berikut ini :
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Thowus berkata:  “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
Sementara dalam riwayat lain :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa:  “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak  sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

Jumat, 06 November 2015

Semangkok Nasi Putih

KISAH NYATA : Semangkuk Nasi Putih


Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di negri Tiongkok. Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir didepan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu direstoran sudah agak sepi, dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk kedalam restoran tersebut.

Kemudian pemuda itu berkata: “Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih”; dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan.

Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya.

Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan sedang membayar lalu berkata dengan pelan: “dapatkah menyiram sedikit kuah sayur diatas nasi saya.”

Istri pemilik rumah berkata sambil tersenyum:”Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar !”
Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir:” kuah sayur gratis.”

Lalu memesan semangkuk lagi nasi putih.
” Semangkuk tidak cukup anak muda, kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya.”

Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini.
“Bukan, saya akan membawa pulang, besok akan membawa ke sekolah sebagai makan siang saya !”

Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin di luar kota, demi menuntut ilmu datang kekota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti.

Berpikir sampai disitu pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan dibawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.

Melihat perbuatannya, istrinya mengetahui suaminya sedang membantu pemuda ini, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan dibawah nasi?

Suaminya kemudian membisik kepadanya :”Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk di nasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung lain kali dia tidak akan datang lagi, jika dia ketempat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah.”

“Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya.”

“Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku ?”

Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain.
“Terima kasih, saya sudah selesai makan.”

Pemuda ini pamit kepada mereka.
Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka.

“Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat !” katanya sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi.

Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah ke rumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari.

Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi.

Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur, tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dan mengingat anak mereka yang disekolahkan diluar negeri yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.

Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek kelihatannya seperti direktur dari kantor bonafid.
“Apa kabar? Saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan, saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami, perusahaan kami telah menyediakan semuanya kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian kesana, keuntungannya akan dibagi 2 dengan perusahaan.”

“Siapakah direktur diperusahaan kamu ? Mengapa begitu baik terhadap kami? Saya tidak ingat mengenal seorang yang begitu mulia !” sepasang suami istri ini berkata dengan terheran.

“Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami, direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu, yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya.”

Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul, setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses.

Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini, jika mereka tidak membantunya dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang.

Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya. Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka:”bersemangat ya ! dikemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian, sampai bertemu besok !”

Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan. Jangan lupa vote +1 dan Share ya..

KHUTBAH JUM'AH

NASAB HABIB BA ALAWI SEPERTI MALAM LIKURAN

Para habaib sering mengungkapkan narasi bahwa, nasab para habib Ba Alawi sudah terang benderang bagaikan matahari di sianghari. Jika di sian...