Jumat, 29 April 2016

Mengenal hakikat dunia

DUNIA seperti sampan di tengah samudera. Kita harus mengayuh dayungnya, menjaga keseimbangan, agar tidak karam dan tenggelam. Dunia adalah kehidupan itu sendiri. Bersifat sementara dan penuh dengan tipu daya.

Menyikapi dunia—ataupun lebih kita khususkan tentang hal duniawi, 14 abad yang lalu Rasulullah SAW., sudah memperingatkan kita tentang kegemerlapan dunia yang akan menjerumuskan. Kekhawatiran Rasulullah SAW., terbukti hari ini. Manusia kini lebih banyak melarutkan dirinya dalam mencari hal duniawi. Saling sikut. Saling mengalahkan. Bahkan sampai menggadai iman dan harga diri. Tak lain, hanya demi kenikmatan duniawi yang sesaat, dengan melupakan kenikmatan abadi di akhirat kelak. Mereka tersesat dalam permainan yang penuh dengan sandiwara dan kebohongan, “Wa mal hayaatudunnya illa la’ibun wa lahwun—dan tidak ada kehidupan di dunia, kecuali permainan dan sandiwara belaka.”

Terkait dengan persoalan dunia di atas. Rasulullah SAW.,memiliki pandangan tersendiri tentang hal ini. Dalam salah satu haditsnya, Rasul bersabda, “Addunnya daarun man laa daa ra lahu. Wa maa lun man laa maa la lahu. Wa lahaa yajma’u man laa ‘aqla lahu. Wayasytaghilu bisyahaawatiha man laa fahma lahu. Wa ’alaiha yahzanu man laa ‘ilma lahu. Wa laha yahsudu man laa lubba lahu. Wailaiha yas’a man laa yaqiina lahu”.

Menurut Rasulullah SAW., pertama, “Addunya daarun man laa daa ra lahu”. Bahwa dunia adalah tempat bagi mereka yang tidak memiliki tempat di akhirat nanti. Hal ini mengindikasikan, bahwa mereka pencari dunia yang tamak, rakus, tidak peduli terhadap sesama, dan tidak mengenal rasa syukur dengan melupakan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak akan memiliki tempat terbaik di akhirat. Mereka terjatuh pada permainan dunia yang penuh tipu daya—innamal hayaatuddunya la’ibun walahwun.

Selanjutnya, kedua, “Wa maa lun man laa maa la lahu.” Bahwa dunia adalah harta bagi mereka yang tidak akan memiliki harta di akhirat kelak. Tentu yang dimaksudkan dengan “maa lun—harta” di sini adalah amal perbuatan baik kita ketika di dunia. Sehingga, jika dunia ini dijadikan alat untuk mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Maka, jangan pernah berharap akan mendapatkan kenikmatan hakiki di akhirat kelak. Dan akan menjadi orang yang “paling miskin” di akhirat, karena tidak memiliki bekal amalan-amalan baik ketika hidup di dunia.

Oleh karenanya, orang mu’min yang taat sering kali terasing dari kenikmatan dunia. Atau kadang sengaja menghindari dan tidak terlalu terobsesi. Hal ini nyata adanya, karena, “Addunya sijnul mu’minin, wa jannatul kaafirin—dunia adalah penjaranya orang mu’min dan surganya orang kafir.”

Ketiga adalah, “Wa lahaa yajma’u man laa ‘aqla lahu”. Di sini dijelaskan, bahwa mereka yang tidak berakal adalah mereka yang terus menerus mengumpulkan hal duniawi. Sehingga di sebut, “Man laa ‘aqla lahu—mereka yang tidak berakal”. Sedangkan akal adalah keutamaan manusia sebagai makhluk terbaik. Dan jika akal tidak dimaksimalkan karena silau oleh gemerlapnya kehidupan dunia, maka manusia dengan sendirinya justru menjadi mahkluk terburuk. Yang berhak untuknya laknat Allah SWT., di dunia dan di akhirat nanti.

Keempat, “Wayasytaghilu bisyahaawatiha man laa fahma lahu”. Artinya, orang yang kerap menyibukkan diri dengan urusan duniawi adalah mereka yang tidak faham hakikat dunia itu apa. Menghabiskan waktu dan menghambakan diri untuk diperbudak setiap hal yang bersifat duniawi. Menguras pikiran dan perasaannya untuk mengejar-ejar materi. Melanggar aturan Syara’ untuk meraih kebahagiaan dunia. Merekalah orang yang tidak memahami hakikat kehidupan dunia. Sehingga selalu menjadikan hal duniawi sebagai ukuran tinggi-rendahnya derajat seseorang. Ini yang kemudian diungkapkan Rasulullah SAW., di hadits lain, “Al faqru syainun ‘indannas. Wazayyinun ‘indallah—fakir itu hal jelek bagi manusia. Dan hal terindah bagi Allah”.

Dan kelima, “Wa ’alaiha yahzanu man laa ‘ilma lahu”. Orang yang bersedih dan selalu menangisi hal yang bersifat duniawi, maka “laa ‘ilma lahu” termasuk orang yang tidak berilmu. Orang yang tidak mengetahui betapa dunia hanya sebatas persinggahan sesaat. Yang sering kali menjatuhkan manusia pada keterpurukan.

Ketak mengertian terhadap hakikat dunia ini, yang sering dijadikan tolak ukur kebahagiaan. Sehingga akan bersedih saat kesementaraan itu tak bisa teraih. Padahal menjadi fakir bukan alasan untuk bersedih. Pun menjadi kaya bukan alasan untuk menjadi bahagia. Keduanya akan membahagiakan jika disyukuri dan dijadikan bekal untuk beribadah kepada Allah SWT. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW., “Ya ma’syaral fuqara a’thullahar ridla min qubuulikum, tadhafaruu tsawaaba faqrikum. Wa illa falaa—wahai orang-orang fakir serahkanlah keridlaanmu (akan kefakiran) dalam hatimu, maka Allah akan membalas kefakiranmu (dengan pahala berlipat). Akan tetapi, jika tidak, maka Allah akan melaknatimu.”

Selanjutnya, yang keenam, “Wa lahaa yahsudu man laa lubba lahu”. Artinya adalah bahwa orang yang hasud terkait urusan duniawi, merekalah orang-orang yang tak memiliki hati nurani. Dan ujung-ujungnya bermuara pada rasa benci, tidak suka dengan keberhasilan dan kesuksesan duniawi orang lain. Sehingga, hilanglah rasa bersyukur di hatinya. Dan kerap mengutuk kefakiran dirinya sendiri, “Kadzal fakru ayyakuna kufran—bahwa kefakiran kerap kali menjerumuskan pada kekufuran”. Dan hasud adalah salah satunya, yang menyebabkan rusak hati nuraninya.

Terakhir adalah, “Wa ilaiha yas’a man laa yaqiina lahu”. Bahwa orang yang tidak sepenuhnya yakin terhadap Allah SWT., mereka cenderung berjalan di dunia—mencari kehidupan duniawi, dengan menyisihkan nilai-nilai berkebaikan terhadap sesama, pun melanggar batas-batas aturan Syara’. Pada akhirnya hanya kesombongan yang mengiringi jejak langkahnya. Dan keterpurukanlah yang akan menjadi hilir perjalanannya.

Demikianlah pandangan Rasulullah SAW., tentang kehidupan duniawi. Tentu, apa yang diungkapkan Rasulullah SAW., bukanlah sebentuk larangan untuk mencari hal yang bersifat duniawi tersebut. Tetapi, sebagai peringatan, bahwa dunia seringkali menipu dan melenakan. Membodohi dan menjatuhkan.

Minggu, 17 April 2016

Hamil Duluan Baru Menikah, Bagaimanakah Hukumnya?

Menikahi Wanita yang Hamil karena Zina ?

Di jaman sekarang banyak sekali pernikahan yang disebabkan karena pihak wanita mengalami ”kecelakaan” (hamil di luar nikah). Biasanya, keluarga wanita menuntut laki-laki yang telah menghamilinya tersebut untuk menikahinya.

Atau, mereka (keluarga wanita) nekat mencari laki-laki yang bersedia menikahi wanita tersebut dan sekaligus menjadi ayah dari bayi yang telah dikandung. Bagaimana hukum Islam memandang hal ini ?

Jawab : Hal pertama yang hendak kami katakan kepada semua kaum muslimin adalah agar takut kepada adzab Allah yang akan Ia berikan kepada setiap pelaku dosa sebagaimana firman Allah ta’ala :

إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا

Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. [QS. Al-Insaan : 10].

Allah telah melarang kita untuk mendekati perbuatan zina sebagaimana firman-Nya :

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.[QS. Al-Israa’ : 32].

Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata :

والنهي عن قربانه أبلغ من النهي عن مجرد فعله لأن ذلك يشمل النهي عن جميع مقدماته ودواعيه

”Larangan (Allah) untuk mendekati zina lebih jelas/tegas daripada larangan perbuatan zina itu sendiri. Hal itu dikarenakan larangan tersebut juga meliputi larangan terhadap seluruh sebab yang menurus kepada zina dan faktor-faktor yang mendorong perbuatan zina” [Taisir Kariimir-Rahman].

Oleh karena itu, tidaklah pantas bagi seorang muslim/muslimah yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melakukan sesuatu hal yang membuat-Nya murka, termasuk dalam hal ini adalah perbuatan zina.

Mengenai pertanyaan yang Saudara sampaikan, sesungguhnya wanita tersebut tidak boleh langsung dinikahi, baik oleh laki-laki yang menzinahi atau yang selainnya. Baginya ada masa istibra’ (bersihnya rahim) jika ia tidak hamil; dan masa ‘iddah hingga ia melahirkan jika hamil. Apabila wanita hamil karena zina tersebut mempunyai suami, maka diharamkan bagi si suami untuk mencampurinya sampai melewati masa istibra’ atau sampai melahirkan. Istibra’ yang dilakukan oleh wanita tersebut adalah sekali haidl saja. Hukum ini didasari oleh beberapa dalil, diantaranya :

1 – Allah ta’ala berfirman :

وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

”Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” [QS. Ath-Thalaq : 4].

Pada dasarnya ’iddah dijalankan untuk mengetahui bersihnya rahim, sebab sebelum ’iddah selesai ada kemungkinan wanita bersangkutan hamil. Menikah dengan wanita hamil itu aqadnya batal, nikahnya tidak sah, sebagaimana tidak sahnya menikahi wanita yang dicampuri karena syubhat [Ibnu Qudamah, Al-Mughni 6/601-602].

2 – Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit Al-Anshari radliyallaahu ’anhu, ia berkata :

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسق ماءه ولد غيره

Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyiramkan air (maninya) kepada anak orang lain” [HR. Tirmidzi no. 1131; hasan].

3 – Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ’anhu, bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasalam pernah bersabda mengenai sejumlah tawanan perang Authas :

لا توطأ حامل حتى تضع، ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة

”Tidak boleh dicampuri wanita yang hamil hingga ia melahirkan, dan wanita yang tidak hamil tidak boleh dicampuri hingga ia haidl sekali” [HR. Abu Dawud no. 2157; shahih].

4 – Hadits Abu Darda’ radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia (Abu Dardaa’) mendatangi seorang wanita yang tengah hamil tua di pintu Fusthath. Maka beliau shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوا نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ

“Barangkali ia (Abud-Dardaa’) ingin memilikinya ?”. Mereka (para shahabat) berkata : “Ya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh aku ingin melaknatnya dengan satu laknat yang ia bawa hingga ke kuburnya. Bagaimana ia bisa memberikan warisan kepadanya sedangkan ia tidak halal baginya ? Bagaimana ia akan menjadikannya pelayan sedangkan ia tidak halal baginya ?” [HR. Muslim no. 1441].

Rasulullah shallalaahu ’alaihi wasallam benar-benar mencela orang yang menikahi wanita yang sedang hamil. Maka tidak diperbolehkan untuk menikahi wanita yang sedang hamil (berdasarkan riwayat ini).

5 – Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :

إِذَا زَنَى الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ ثُمَّ نَكَحَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُمَا زَانِيَانِ أَبَدًا

”Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, kemudian ia menikahinya setelah itu, maka keduanya tetap dianggap berzina selamanya”.

Menikah adalah satu kehormatan. Agar tetap terhormat, hendaklah seorang laki-laki tidak menumpahkan air (mani)-nya dengan cara berzina, sebab dengan cara berzina akan bercampur yang haram dengan yang halal. Akan bercampur juga air yang hina dengan air yang mulia [Al-Qurthubi, Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an 12/170; Ad-Dardiir, Asy-Syarhush-Shaghiir 2/410,717].

Pada dasarnya, seorang laki-laki atau wanita pezina yang belum bertaubat dari perbuatan zinanya diharamkan untuk menikahinya dengan dasar firman Allah : ”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” [QS. An-Nuur : 3].

Namun bila ia telah bertaubat dengan sebenar-benar taubat, maka hilanglah predikat sebagai pezina [lihat Al-Mughni 6/602]. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لا ذَنْبَ لَهُ

”Orang yang bertaubat (dengan benar) dari suatu dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa” [HR. Al-Hakim 2/349, Ibnu Majah no. 4250, dan yang lainnya; hasan].

Jika wanita yang hamil akibat perbuatan zina tersebut melahirkan anaknya, maka anak itu tidaklah dinasabkan kepada laki-laki manapun, baik yang menikahi ibunya atau yang tidak, baik yang menzinahi atau yang tidak. Ia dinasabkan hanya kepada ibunya berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

”Anak itu bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)” [HR. Bukhari no. 1948 dan Muslim no. 1457].

Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya dinamakan firasy, karena suami atau tuannya menggaulinya (tidur bersamanya).

Sedangkan makna hadits di atas, anak itu dinasabkan kepada si pemilik firasy. Namun karena laki-laki pezina itu bukan suami (dari wanita yang dizinahi), maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya, dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan [Abdurrahman Ali Bassam, Taudlihul-Ahkaam 5/103].

Kesimpulan : (1) Haram hukumnya menikahi wanita yang hamil karena zina. Berlaku ’iddah bagi wanita tersebut hingga ia melahirkan kandungannya. Konsekuensinya, tidak boleh pula bagi orang tua si wanita untuk ”mencarikan” atau ”memaksa” seorang laki-laki untuk menikahi anaknya (wanita yang hamil karena zina) hingga ia melahirkan.[1]. (2) Anak yang dilahirkan tidaklah dinasabkan kepada laki-laki manapun. Ia dinasabkan kepada ibunya. Wallaahu a’lam.

Catatan kaki :

[1] Hendaknya tunduk dan takut akan hukum Allah lebih besar daripada malu di hadapan manusia karena mempunyai cucu yang tidak mempunyai bapak. Kita harus bersabar terhadap ujian dan cobaa, serta memohon ampun atas segala dosa yang telah kita lakukan. Pada hakekatnya, segala musibah yang menimpa kita adalah disebabkan oleh tangan kita sendiri, sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30].

Sabtu, 16 April 2016

Bagi Waris Buat Satu Istri dan Dua Anak Laki Dua Anak Perempuan

Pertanyaan :
Assalamu'alaikum wr.wb

Semoga ustadz selalu dalam lindungan Allah SWT.

Saya mau bertanya, bagaimanakah pembagian waris untuk ahli waris. Almarhum wafat meninggalkan ahli waris 1 orang istri, 2 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. Berapakah bagian masing-masing?

Demikian pertanyaan saya semoga dapat dimengerti dan semoga ustadz selalu mendapat rahmat dari Allah SWT.

Wassalam

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dengan asumsi tidak ada lagi ahli waris yang lainnya kecuali hanya yang Anda sebutkan, maka pembagian warisnya bahwa istri mendapat 1/8 dan sisanya yang 7/8 bukan anak-anak almarhum, dengan cara dibagi rata tetapi dengan catatan bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat lebih besar dari bagian untuk anak perempuan.

Untuk lebih jelas bagaimana cara penghitungannya, mari kita rinci masalah ini lebih jauh :

1. Istri

Sebenarnya ada dua kemungkinan bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Bisa saja dia mendapat 1/8 bagian, tetapi bisa saja mendapat 1/4 bagian.

Kok bisa begitu?

Karena memang seperti itu bunyi ayatnya di dalam Al-Quran. Bila suami yang meninggal itu tidak punya anak atau cucu yang menerima harta waris (fara' waris) , maka hak istri adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya.

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ

Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan bila kamu tidak mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)

Sebaliknya kalau suami punya anak atau cucu yang ikut juga menerima harta waris (fara' waris), artinya dia punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan suami. Dasarnya adalah lanjutan dari potongan ayat tersebut :

فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa': 12)

Dalam kasus ini istri almarhum mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian dari total harta yang diwariskan.Sebab almarhum punya anak-anak yang ikut juga menerima harta warisan.

Kalau kita asumsikan nilai harta itu 8 milyar, maka istri mendapat satu milyar. Karena sudah diambil satu milyar, berarti masih tersisa 7 milyar lagi. Lalu buat siapa saja sisanya itu?

Sisanya tentu buat anak-anak almarhum yang 4 orang itu.

2. Anak laki-laki

Dalam hal ini, almarhum punya anak laki-laki dan juga anak-anak perempuan, maka semua anak itu menjadi ashabah, yaitu menerima sisa yang sudah diambil duluan oleh ashabul-furudh, yaitu istri almarhum atau ibunya anak-anak.

Tetapi perlu dicatat bahwa cara membagi buat anak-anak itu ada ketentuannya, sebagaimana firman Allah SWT :

يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ

Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian waris untuk anak-anakmu, yaitu bagian buat seorang anak lelaki sama dengan bagian buat dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa : 11)

Maka caranya, tiap anak laki-laki harus dihitung seolah-olah dua orang anak perempuan. Maka seolah-olah jumlah anaknya ada 6 orang, karena tiap anak laki-laki dihitung dua orang.

Uang sebesar 7 milyar itu kita bagi enam sama besar, yaitu 1,16 milyar atau tepatnya Rp. 1.166.666.667,-. Lalu tiap anak laki-laki kita kasih dua bagian, yaitu Rp 1,16 x 2 = Rp. 2,33 milyar.

3. Anak perempuan

Lalu buat anak perempuan, tiap satu orang mendapat Rp. 1.166.666.667,-, tidak perlu dikalikan dua.

Hitungan Anak SD

Kalau kita cermati matematika bagi waris di atas, sebenarnya sederhana sekali. Sama sekali tidak butuh komputer atau kalkulator. Bahkan anak-anak SD kelas IV atau V pun sudah pasti bisa mengerjakan hitungan ini.

Lalu kenapa kok hitung waris seolah-olah jadi susah dan rumit?

Karena metode pengajarannya kurang membumi, sehingga belum apa-apa kita terjebak dengan begitu banyak istilah (musthalahat) dari bahasa Arab, yang kadang agak susah dipahami atau diterjemahkan dengan bahasa yang sederhana.

Kadang kiyai atau guru ngaji ketika mengajar ilmu waris, mereka lebih sering mementingkan penggunakan kitab asli berbahasa arab yang njelimet dan bikin puyeng, ketimbang memikirkan bagaimana agar kontennya bisa mudah dipahami oleh murid.

Atau bisa juga karena terjebak skala prioritas, lebih mendahulukan materi yang kurang penting, dengan meninggalkan masalah yang lebih penting dan harus didahulukan.

Dan yang paling parah, ketika ada guru pengajar ilmu waris yang ilmunya pas-pasan dan hanya bersifat teoritis. Dengan kata lain, pak guru sendiri sebenarnya kurang menguasai ilmu yang diajarkannya.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Jumat, 15 April 2016

Perkawinan dengan Sepupu


Pertanyaan :

Al-Ustadz Ang Hidayah Yth. Bolehkan perkawinan dilakukan antar sepupu ( anak-anak dari kakak beradik), mohon penjelasannya bila ditinjau dari hukum Islam dan nasional, terima kasih
Jawaban :

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui apakah hukum Islam melarang atau membolehkan perkawinan dengan sepupu.


Dalam buku Kumpulan “Tanya Jawab Quraish Shihab” dijelaskan sebagai berikut: Sepupu atau anak saudara lelaki ayah atau saudara ibu, bukan mahram, karena itu boleh terjalin hubungan perkawinan antara sepupu. Mereka tidak disebut oleh ayat yang berbicara tentang mahram (QS An-Nisa’ [4]: 23, tidak juga dalam hadits-hadits Rasulullah SAW).


Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 23 menyatakan: “Diharamkan atas kamu menikahi Ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesuan, ibu-Ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu menikahinya, dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu (menantu) dan diharamkan mengumpulkan dalam pernihan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


Sejalan dengan QS An-Nisa’ ayat 23, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat aturan tentang Larangan Kawin yang diatur dalam pasal 39 hingga pasal 44. Pasal 39 KHI menyatakan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita disebabkan:
(1) Karena pertalian nasab

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya

b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;

c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya

b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya

c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul

d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya
(3) Karena pertalian sesusuan

a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah

c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah

d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas

e. Dengan anak yang disusui oleh isteri dan keturunannya.


Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perkawinan dengan sepupu tidak dilarang oleh hukum Islam maupun hukum negara. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hukum Islam dan negara membolehkan perkawinan dengan sepupu.


Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaa

APAKAH BUNGA BANK TERMASUK RIBA?



Posted by ang hidayah

Pertanyaan :
Assalamu’alaikum wr. wb
Saya saat ini bekerja pada salah satu bank swasta nasional (konvesional). Total masa kerja saya ± 14 tahun di bidang perbankan (merskipun bukan pada satu institusi). Pada suatu malam di bulan Ramadhan 1427 yang lalu saya mengikuti ceramah tarawih dengan materi tentang Ekonomi syariah. Sejak itu sampai sekarang saya selalu gelisah apabila mengingat salah satu inti ceramah itu yang menyebutkan bhwa bunga Bank adalah termasuk Riba yang dilarang oleh Allah swt.
Saya saat ini telah berencana untuk berpindah pekerjaan ke sektor non perbankan karena saya takut apabila bunga Bank benar termasuk Riba, maka alangklah dosanya saya karena selama ini telah memberikan kepada istri anak dan keluarga saya rezeki yang tidak halal meskipun setiap kali berangkat bekerja saya selalu meniatkan beribdah memenuhi kewajiban saya sebagai keluarga untuk mencari rezeki yang halalan thoyiban.
Billahi taufiq wal hidayah.
Wassalamu’alaikum wr. wb
Yon (xxx@yahoo.com)

Jawab :

BUNGA BANK ADALAH RIBA

Oleh : Ang hidayah

Sabda Rasululullah SAW, “Akan datang kepada umat ini suatu masa nanti ketika orang-orang menghalalkan riba dengan alasan: aspek perda­gangan” (HR Ibnu Bathah, dari Al ‘Auzai).

Pengantar
Dalam kehidupan kaum Muslimin yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperduli­kan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank. Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya. Ini dikarenakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan Sekularisme-Kapital­isme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi yang masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal. Namun karena umat pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu membeda-bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lain­nya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran.
Dalam tulisan yang singkat ini, ada beberapa aspek yang ingin diketengahkan tentang seputar masalah riba :
Pertama, bunga riba dalam tinjauan sejarah. Akan dijelaskan secara singkat peran Bani Israil dan tingkah laku mereka dalam masalah riba.
Kedua, diketengahkan kela­kuan orang-orang Yahudi dalam mengubah syariatnya sendiri (Hukum Allah SWT). Secara singkat akan dipaparkan peran kaum Yahudi dalam menghalalkan riba.
Ketiga, masih dalam kerangka tingkah laku kaum Yahudi, diceritakan juga serba sedikit usaha-usaha mereka dalam membangun jaringan kehi­dupan dalam bidang ekonomi dan keuangan dunia, khususnya dalam bidang moneter dan perbankan.
Keempat, mengetengah­kan bagaimana bank pada awalnya berdiri, serta keterlibat­an umat Islam Indonesia dalam masalah perbankan pada deka­de awal abad XX sampai sekarang.
Kelima, mengetengahkan usaha-usaha para tokoh masyarakat Islam (intelektual dan kaum modernis) dalam menghalalkan riba (bunga) bank.
Keenam, mengetengahkan hukum riba yang tetap haram sampai Hari Kiamat.

Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah
Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam sya­riat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw. Tentang hal tersebut, Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di da­lamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT:

“….disebabkan oleh kezhaliman orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) karena mereka banyak menghalangi (manu­sia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakan­nya, dan mereka memakan harta dengan jalan yang bathil (seperti memakan uang sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS An Nisaa’ : 160-161).

Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak melaksana­kan syariat Allah SWT. Mereka membu­nuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktek sihir, meng­halalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahwa antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka:

“Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada umatku, yaitu kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah kamu menjadikan baginya sebagai orang pena­gih hutang yang keras, dan janganlah mengambil bunga dari­padanya” (Keluaran, 22:25).

Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula la­rangan yang senada. Pada kitab tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil riba dari kalangan kaum­nya sendiri:

“Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin dan tangannya gemetar besertamu ….., maka janganlah kamu mengambil daripadanya bunga dan laba yang terlalu (be­sar)…… jangan kamu memberikan uangmu kepadanya dengan memakai bunga …..” (Imamat 35-37).

Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang-orang Yahudi telah dila­rang memakan riba (bunga). Namun dalam kenyataannya, mereka membangkang dan mengabaikan larangan tersebut. Mengapa mereka demikian berani melang­gar ketentuan hukum Taurat itu? Dalam hal ini, Buya Hamka (alm) mengutip dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ayat 20 :

“Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh kamu meng­ambilnya supaya diberkahi Tuhan Allahmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu) mengambilnya sebagai bagian dari harta pusakamu”.

Berdasarkan kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahwa ayat tersebut telah menjadi pe­gangan kaum Yahudi sedunia sampai sekarang. Mereka, biar­pun tidak duduk pada kursi pemerintahan di suatu negeri, tetapi merekalah yang justru menguasai pemerintahan negeri tersebut melalui bentuk pinjaman ribawi (membungakan uang­nya) yang menjerat leher.

Yahudi dan Penguasaan Moneter Internasional
Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu beru­pa strategi jahat Yahu­di, disebutkan bahwa kebangkrutan berbagai negara di bi­dang ekonomi adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher negara non-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit. Mereka katakan bahwa bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh dika­takan laksana seonggok benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara tersebut.
Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem moneter in­ternasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat keuangan di Wallstreet (New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (uang) ter­besar di dunia. Sirkulasi keuangan di Amerika Serikat telah dikua­sai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang.
Di samping itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak), perda­gangan internasional (dalam bentuk perusahaan-perusahaan raksasa), yang tersebar di seluruh Amerika, Eropa dan negeri-negeri di Asia dan Afrika. Sebagai misal, di Ameri­ka, orang-orang Yahudi menguasai perusahaan General Elec­tric, Fairstone, Standard Oil, Texas dan Mobil Oil. Dalam perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang broker, sembilan di antaranya adalah orang-orang yahudi.
Di Perancis, sebagian saham yang tersebar di berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut andil; misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius.

Umat Islam Indonesia dan Perbankan
Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam. Di negeri-negeri jajahannya, mereka menerapkan sistem ekono­mi Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem perbankan (riba).
Di Indonesia muncul bank pertama, yaitu Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendiri­nya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan kera­ton. Kemudian secara meluas di berbagai daerah, berdiri Bank Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899).
Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Be­landa mendirikan Sentral Kas, tahun 1912, yang berfungsi sebagai pusat keuangan. Dari kalangan intelektual, didiri­kanlah Indonesische Studie Club di Surabaya tahun 1929. Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba, mendiri­kan Algemene Volkscredit Bank (AVB) tahun 1934.
Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi cikal bakal Bank Indo­nesia sekaligus memberikan rekomendasi pendirian bank-bank yang ada. Mela­lui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak. Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agus­tus 1959). Bank Pem­bangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30 Nopember 1960. Pada tahun-tahun berikutnya sampai seka­rang, dunia perbankan tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Secara garis besar, dunia perbankan di Indonesia didominasi oleh bank-bank yang menjadi Badan Usaha Milik Negara/BUMN (misalnya BNI 1946, BRI, BDN) dan bank-bank milik swasta. Untuk yang pertama, jumlahnya tidak terlalu ba­nyak. Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke dalam tiga kategori; yaitu swasta asli Indonesia (misalnya Bank Susi­la Bakti, Bank Arta Pusara, Bank Umum Majapahit), swasta merger bank luar (misalnya Lippo Bank, BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen (misalnya Chase Manhattan, Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of America).
Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut standard Ame­ri­ka diti­lik dari jumlah penduduk Indonesia, maka negeri ini masih memerlukan 7800 bank lagi.

Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan
Sebelum tahun 1990-an umat Islam Indonesia belum terlibat lang­sung. Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak diadakan pe­nandatangan kerja sama antara Bank Summa dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indone­sia telah mulai dilibat­kan langsung dalam praktek perbank­an. Dalam perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan seba­nyak 2000 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia. Namun sebelumnya BPR telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25% per bulan, untuk pengusaha /pedagang kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah.
Rencana NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru lagi. Ide itu telah ada dan dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan kongres besar NU. Pada awalnya NU mengharamkannya; kemudian memberikan alternatif fatwa yaitu haram, halal dan subhat; dan terakhir tanggal 22 Juli 1990, NU melalui Abdurrahman Wahid sebagai PB NU telah menghalalkannya.
Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB Muhammadiyah). Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa tersebut diputuskan mela­lui perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui KH Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam.
Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan intelektual Muslim. Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari Dekan Fakul­tas Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly. Ia berkata bahwa bank yang dibentuk oleh NU maupun Muhammadiyah seha­rusnya bank yang Islami, bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahwa sam­pai sekarang belumlah ada bank yang bersifat Islami di Indonesia. Ia merasa heran mengapa sistem muamalah yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak dihidupkan. “Akibatnya, umat Islam terje­rat ke dalam sistem bank yang mengandung riba”, celanya.
Di kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas fatwa ini. Kalangan fungsionaris Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahwa fatwa tersebut tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka. Sebab, menurut mereka, NU seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah (berdagang bersama yang saling menguntungkan), bukan bank umum yang lebih cenderung menganut sistem rente.
Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di negeri ini? Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syara’? Dapatkah pendapat mereka diteri­ma? Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh disebut muj­tahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid?

Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis
Di antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik permasalahan dalam Fikih Islam adalah soal bunga (rente) bank. Sebab, secara umum tujuan usaha bank adalah untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kre­dit. Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan me­mungut bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit). Selisih pembayaran yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank.
Dalam masalah ini, para intelektual dan ulama moder­nis mempunyai pendapat yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mereka. Ada segolongan dari mereka yang mengharamkannya karena bunga bank tersebut dipandang seba­gai riba. Tetapi segolongan lainnya menghalalkannya.
Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan Penasehat Bank Pakistan), berpendapat bahwa segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem perekonomi­an seka­rang ini adalah riba. Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo yang memandang bahwa riba Nasi’ah sudah jelas keharamannya dalam Al Qur-aan. Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem perekono­mian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian dunia. Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersi­fat daru­rat yang tidak mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka mena’wilkan dan membahas makna riba. Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya. Buya Hamka secara sederhana memberikan batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau tambahan 10%, dan sebagainya, tidak dapat tidak ten­tulah terhitung riba juga. Oleh karena itu, susahlah buat tidak mengatakan bahwa meminjam uang dari bank dengan rente sekian adalah riba. (Dengan demikian) menyimpan dengan bunga sekian (deposito) artinya makan riba juga.
Ke dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal dari kalangan intelektual dan ulama modernis. Mereka me­mandang bahwa bunga bank yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu haramnya itu ialah yang sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau, riba yang sedi­kit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu bo­leh. Ia menambahkan bahwa riba yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang, bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif.
Drs Syarbini Harahap berpendapat bahwa bunga kon­sumtif yang dipungut oleh bank tidaklah sama dengan riba. Karena, menurutnya, di sana tidak terdapat unsur pengania­yaan. Adapun jika bunga konsumtif itu di­pungut oleh lintah darat, maka ia dapat dipandang sebagai riba. Sebab, prak­tek tersebut memberikan kemungkinan ada­nya penganiayaan dan unsur pemerasan antarsesama warga masya­rakat, meng­ingat bahwa lintah darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri. Adapun jika bunga terse­but dipungut dari orang yang meminjam untuk tujuan-tujuan yang produktif seperti untuk perniagaan, asalkan saja tidak ada dalam teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan, maka tidaklah salah dan tidak ada keharam­an padanya.
Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya, ternyata sama nadanya dengan apa yang difat­wakan NU via Abdurrahman wahid, atau lewat pernyataan Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta, Kasman Singodi­mejo, dan lain-lain.
Bertolak dari alasan bahwa transaksi kredit merupakan kegiatan perdagangan dengan uang sebagai komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan bahwa kalau transaksi kredit dilaku­kan dengan prinsip perdagangan (tijarah), maka hal terse­but dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme per­dagangan yang dihalalkan.
Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya menghalalkan riba dalam bentuk bunga bank telah melibatkan jutaan kaum Muslimin ke dalam ke­giatan perbankan. Walaupun demikian masih terdapat jutaan lainnya yang membenci praktek dan menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian mereka terhadap praktek riba terse­but sama halnya dengan kebencian mereka memakan daging babi. Oleh karena itu masih banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mau meminjam dan menyimpan uang di bank karena takut terlibat riba, walaupun di kalangan kaum Muslimin tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan kegiatan perbankan, serta banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap hukum yang sebenarnya tentang riba (bunga) bank. Itu­lah fakta tentang keadaan umat Islam setelah umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap riba (bunga) bank.

Bolehkah Kita Menghalalkan Riba ?
Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :

“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).

Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah : 279).
Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rang­kaian ayat-ayat terse­but, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, ter­masuklah di antaranya riba (bunga) bank:

“Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah menghalal­kan jual beli dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (se­belum datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (meng­ambil riba), maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah : 275).

Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata:

“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.

Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata:

“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepa­la Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi”.

Apa sesungguhnya riba itu? Secara global dapatlah disebutkan bahwa definisi riba adalah :
“Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materi/barang, dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut”.
Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnis), seperti yang tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahwa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang kehidupan ekonomi dan keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah saw:

“Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).

Juga sabda Rasulullah saw:

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya” (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).

Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surat Al Baqa­rah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata maupun ter­sembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat ganda, kon­sumtif maupun produktif.
Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi:

“Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat dalil (syar’iy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya)”.

Dalam hal ini tidak terdapat satu ayat maupun hadits yang menghalalkan sebagian dari bentuk dan jenis riba (mi­salnya riba produktif), dan atau hanya mengharamkan sebagian yang lainnya (misalnya riba yang berlipat ganda, konsum­tif, riba lintah darat). Dengan demikian, telah jelas bagi kita bahwa semua bentuk dan jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh karena itu, atas dasar apa para intelektual dan ulama modernis sampai bera­ni menghalalkan riba bunga bank? Mereka telah berani mem­beda-bedakan halal-haramnya berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya tidak pernah membeda-bedakan bentuk dan jenis riba. Tidak ada satupun illat (sebab ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual dan ulama modernis ingin mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal hanya karena faktor kemaslahatan, semisal untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan; atau karena pada masa sekarang kegiatan per­bankan yang berlandaskan kepada aktivitas riba sudah mera­jalela dalam masyarakat kaum Muslimin?
Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari Allah SWT:

“Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah meng­abaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti)” (HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir, Jilid I, halaman 132).

Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelek­tual dan ulama modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat bagi orang yang berwe­nang untuk berijtihad serta tidak layak disebut sebagai ulama mujtahid. Oleh karena itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi untuk mengubah hukum Allah SWT dan Rasul-Nya !
Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam. Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu. Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukumpun. Ia harus tunduk kepada hukum Allah SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati intelek­tual dan ulama modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama artinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw kepada ‘Adiy bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT:

“Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Mariyam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Satu: Tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang mereka persekutukan” (QS At Taubah : 31).

Kemudian Adiy bin Hatim berkata :

“Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu”. Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharam­kan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka” (HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari ‘Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 349).

Apakah umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai Tuhan sesembahan yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan?
Ya Allah, kami sudah menyampaikannya. Saksikanlah !

Hakikat keagungan Bismillah

Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda, �Setiap pekerjaan yang baik, jika tidak dimulai dengan �Bismillah� (menyebut nama Allah) maka (pekerjaan tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah)�.

Dalam keseharian kita tentunya selalu melakukan kegiatan dan aktivitas, tanpa kegiatan dan aktivitas kehidupan kita akan hampa, hambar dan tidak produktif. Kegiatan tersebut bisa dilakukan dimana saja, di rumah, di kantor, di jalan, di warung, di pasar, di sekolah dan ditempat-tempat lainnya. Dan �bagi orang beriman- kegiatan atau aktivitas adalah sarana menebar kebajikan, baik kata maupun perbuatan selalu memberikan kebaikan pada dirinya dan orang lain. Bukankah Rasulullah saw mengumpamakan jati diri seorang muslim seperti seekor lebah. Makanan yang dimakan adalah baik dan yang dikeluarkan pun baik, lebah hinggap atau tinggal tidak pernah merusak yang lainnya.

Namun kadangkala kebanyakan dari kita tidak sadar memulai segala aktivitas atau kegiatan tanpa mengucapkan membaca kalimat bismillah, padahal diterima atau tidak amal perbuatan seseorang bergantung pada kalimat tersebut.

Ketika bangun tidur sudahkah kita mengucapkan alhamdulillah dan memulai aktivitas hari itu dengan bismillah?

Ketika akan mandi, berpakaian, sarapan pagi sudahkah kita memulainya dengan bismillah?

Ketika akan berangkat ke kantor, keluar dari rumah, naik kendaraan sudahkah kita memulainya dengan bismillah?

Ketika di kantor, sudahkah ketika kita masuk ruangan kantor, menyalakan komputer, membuka berkas atau file, membuka rapat, menulis, membaca memulainya dengan bismillah?

Begitu banyak lagi aktivitas yang kita lakukan dalam keseharian kita, namun sudahkan kita memulainya dengan bismillah??

Kadang kita menganggap hal tersebut adalah sepele, padahal di sisi Allah merupakan kebaikan yang bernilai besar, diberkahi atau tidaknya perbuatan dan aktivitas seseorang tergantung pada saat memulainya.

Sebenarnya apa sih keistimewaan dari bismillah sehingga Allah dan Rasul-Nya mensyariatkan kepada kita untuk memulai segala aktivitas, perbuatan dan kegiatan dengan membaca bismillah?

Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa �bismillah merupakan inti kandungan ajaran Islam� karena di situ ada unsur keyakinan terhadap Allah yang telah memberikan kekuatan sehingga seseorang dapat melakukan aktivitas yang diinginkan, pangakuan akan ketidakberdayaan seseorang di hadapan Allah Taala. �La haula wala quwwata illa billah (Tiada daya dan upaya kecuali atas izin Allah). Apalagi kalau bacaannya kita sempurnakan dengan kata bismillahirrahmanirrahim maka kita telah meyakini akan kebesaran Allah yang telah memberikan nikmat dan karunia, kasih sayang dan rahimnya kepada seluruh makhluk-Nya.

Jika kita runut secara bahasa, maka akan kita dapatkan keagungan kalimat bismillahirrahmanirrahim. kata Bismillah misalnya merupakan tiga rangkaian kata yang mengandung arti yang agung yaitu Ba (bi), Ism, dan Allah.

1. Huruf ba yang dibaca bi di sini mengandung dua arti:
Pertama: huruf bi yang diterjemahkan dengan kata �dengan� menyimpan satu kata yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas dalam benak ketika mengucapkan basmalah, yaitu memulai. Sehingga bismillah berarti �saya atau kami memulai dengan nama Allah�. Dengan demikian kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap. Atau dapat juga diartikan sebagai perintah dari Allah (walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk perintah), �Mulailah dengan nama Allah!�.

Kedua: huruf bi yang diterjemahkan dengan kata �dengan� itu, dikaitkan dalam benak dengan kata �kekuasaan dan pertolongan�. Pengucap basmalah seakan-akan berkata, �dengan kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya, pekerjaan yang sedang saya lakukan ini dapat terlaksana�. Pengucapnya seharusnya sadar bahwa tanpa kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya, apa yang sedang dikerjakannya itu tidak akan berhasil. Ia menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya tetapi pada saat yang sama �setelah menghayati arti basmalah ini � ia memiliki kekuatan dan rasa percaya diri karena ketika itu dia telah menyandarkan dirinya dan bermohon bantuan Allah Yang Maha Kuasa itu.

2. Kata Ism setelah huruf bi terambil dari kata as-sumuw yang berarti tinggi dan mulia atau dari kata as-simah yang berarti yang berarti tanda. Kata ini biasa diterjemahkan dengan nama. Nama disebut ism, karena ia seharusnya dijunjung tinggi atau karena ia menjadi tanda bagi sesuatu.

Syaikh Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan dengan penyebutan nama di sini berarti dirinya memulai pekerjaan dengan nama Allah dan atas perintahnya bukan atas dorongan hawa nafsu belaka.

Penyebutan nama Allah diharapkan pekerjaan itu menjadi kekal disisi Allah. Di sini bukannya Allah yang nama-Nya disebut itu yang kita harapkan menjadi kekal karena Dia justru Maha Kekal. Namun yang kita harapkan adalah agar pekerjaan yang kita lakukan itu serta ganjarannya menjadi kekal sampai hari kemudian. Banyak pekerjaan yang dilakukan seseorang tetapi tidak mempunyai bekas apa-apa terhadap dirinya atau masyarakatnya, apalagi berbekas dan ditemui ganjarannya di hari kemudian. Demikianlah Allah mentamsilkan perbuatan orang-orang yang kafir yang tidak dibarengi dengan keikhlasan kepada Allah, �Dan Kami hadapi hasil-hasil karya mereka (yang baik-baik itu), kemudian Kami jadikan ia (bagaikan) debu yang beterbangan (sia-sia belaka). (QS 25: 23)

3. kata Allah, berakar dari kata walaha yang berarti mengherankan atau menakjubkan. Jadi Tuhan dinamai Allah karena segala perbuatan-Nya menakjubkan dan mengherankan. Karena itu terdapat petunjuk yang menyatakan, �Berfikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berfikir tentang Dzat-Nya�.

Sementara itu sebagian ulama mengungkapkan bahwa kata Allah terambil dari kata aliha � ya�lahu yang berarti menuju dan bermohon. Tuhan dinamai Allah karena seluruh makhluk menuju serta bermohon kepada-Nya dalam memenuhi kebutuhan mereka, atau juga berarti menyembah dan mengabdi, sehingga lafazh Allah berarti �Zat yang berhak disembah dan kepada-Nya tertuju segala pengabdian�.

Syaikh Mutawalli Sya�rawi, seorang guru besar pada universitas Al-Azhar, ulama kontemporer dan pakar bahasa menyebutkan dalam tafsirnya tentang keistimewaan lafadz Allah ; �Lafadz Allah selalu ada dalam diri manusia, walaupun ia mengingkari wujud-Nya dengan ucapan atau perbuatannya. Kata ini selalu menunjuk kepada Dia yang diharapkan bantuan-Nya itu. Perhaitkanlah kata Allah. Bila huruf pertamanya dihapus, maka ia akan terbaca Lillah yang artinya �demi/karena Allah�. Bila satu huruf berikutnya dihapus, akan terbaca lahu, yang artinya untuk-Nya. Bila huruf berikutnya dihapus, maka ia akan tertulis huruf ha yang dapat dibaca hu (huwa) yang artinya Dia�.

Apabila anda berkata Allah maka akan terlintas atau seyogianya terlintas dalam benak Anda segala sifat kesempurnaan. Dia Mahakuat, mahabijaksana, Mahakaya, Maha Berkreasi, Mahaindah, Mahasuci dan sebagainya. Seseorang yang mempercayai Tuhan, pasti meyakini bahwa Tuhannya Mahasempurna dalam segala hal, serta Mahasuci dari segala kekurangan.

Sifat-sifat Tuhan yang diperkenalkan cukup banyak. Dalam salah satu hadits dikatakan bahwa sifat (nama-nama) Tuhan berjumlah sembilan puluh sembilan nama (sifat).
Demikian banyak sifat (nama) Tuhan, namun yang terpilih dalam basmalah hanya dua sifat, yaitu Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang keduanya terambil dari akar kata yang sama. Agaknya sifat ini dipilih, karena sifat itulah yang paling dominan. Dalam hal ini Allah dalam Al-Quran menegaskan �Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu�. (QS 7: 156). Sebuah hadits Qudsi menyebutkan bahwa rahmat Allah mengalahkan amarah-Nya.

Kedua kata tersebut, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, berakar dari kata Rahm yang juga telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, yang berarti peranakan atau kandungan. Apabila disebut kata Rahim, maka yang terlintas di dalam benak adalah ibu dan anak, dan ketika dapat terbayang betapa besar kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya. Tetapi, jangan disimpulkan bahwa sifat Rahmat Tuhan sepadan dengan sifat rahmat ibu.

Abu Hurairah meriwayatkan sabda Rasulullah saw yang mendekatkan gambaran besarnya rahmat Tuhan: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, �Allah SWT menjadikan rahmat itu seratus bagian, disimpan di sisi-Nya sembilan puluh sembilan dan diturunkan-Nya ke bumi itu satu bagian. Satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk. (begitu ratanya sampai-sampai satu bagian yang dibagikan itu diperoleh pula oleh) seekor binatang yang mengangkat kakinya karena dorongan kasih saying, khawatir jangan sampai menginjak anaknya�. (HR. Muslim)

Dalam ungkapan lainnya disebutkan bahwa kata Rahman adalah merupakan sifat kasih sayang Allah kepada seluruh makhluk-Nya yang diberikan di dunia, baik manusia beriman atau kafir, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta makhluk lainnya. Bukankah kita �dengan kasih sayang-Nya- telah diberikan kehidupan, diberikan kemudahan menghirup udara, kemudahan berjalan, berlari dan melakukan segala aktivitasnya, walaupun sangat sedikit dari kita mau merenungkan apalagi mensyukuri segala nikmat tersebut? Allah senantiasa memberikan kasih sayang-Nya kepada manusia sekalipun mereka ingkar kepada-Nya.

Sementara itu kara Rahim diberikan secara khusus oleh Allah kelak nanti dialam akhirat yaitu hanya bagi mereka yang beriman dan mensyukuri segala kenikmatan yang telah dianugrahkan kepada mereka. Kasih sayang-Nya secara khusus diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang mengabdikan dirinya kepada Allah dan yakin bahwa semua kenikmatan adalah bersumber dari Allah. Bahkan yakin bahwa segala amal ibadahnya, perbuatan baiknya tidak akan menjamin akan dirinya masuk ke surga-Nya kecuali karena Rahmat-Nya.

Suatu kali Rasulullah saw berpesan kepada para sahabatnya, �Bersegeralah kalian berbuat baik dan perkuatlah hubungan kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa amal kalian tidak menjamin kalian masuk surga. Sambil terheran para sahabat bertanya, �Termasuk Engkau wahai Rasulullah�? Rasulullah saw menjawab, �Betul, termasuk saya..kecuali jika Allah menganugrahkan rahmat-Nya dan karunia-Nya kepadaku�. Wallahu a�lam.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/01/05/38/keagungan-bismillah/#ixzz45r0VFH86
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

KHUTBAH JUM'AH

NASAB HABIB BA ALAWI SEPERTI MALAM LIKURAN

Para habaib sering mengungkapkan narasi bahwa, nasab para habib Ba Alawi sudah terang benderang bagaikan matahari di sianghari. Jika di sian...