Minggu, 18 September 2016

Cara Menghitung Zakat Penghasilan/Pendapatan

Zakat Profesi adalah Ijtihad Baru?
Ijtihad mengenai zakat profesi telah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah saw Ibnu Mas’ud ra, sahabat Muawiyah ra,  dan Umar bin Abdul Aziz (Wafat 101 H / 720 M) yang notabene adalah tabi’in, khalifah yang telah berhasil dalam masa pemerintahannya, khalifah yang mengenakan zakat profesi kepada para pegawainya saat itu, yang mengalami kesulitan mendapatkan “mustahik” atas berlimpahnya zakat yang dikelola negara yang dipimpinnya saat itu (Fiqh Islam wa Adhilatuhu).   Baru belakangan ini mulailah kembali semarak upaya menghidupkan kembali zakat, termasuk zakat profesi, karena seiring dengan berkembangnya zaman, semakin banyaklah ragam sumber pendapatan dan penghasilan termasuk salah satunya penghasilan pegawai atau gaji atau yang disamakan dengannya.

Berkenaan mengenai qiyas atas zakat profesi dengan zakat pertanian atau hasil bumi memang masih terdapat khilaf pendapat. Namun tidak ada khilaf dalam qiyas zakat profesi ini dengan harta atau emas. Karena itu, letak perbedaan atas qiyasnya, bukan atas hukumnya.
Pengertian
Penghasilan yang diperoleh seseorang atas jasa/pekerjaan (PNS, TNI-POLRI, Karyawan Swasta, Guru/Dosen, Dokter, dll) baik secara harian, bulanan atau tahunan yang telah sampai kadar nishabnya.
Dalil
  • Ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya, seperti dalam QS. At- Taubah: 103, QS. Al-Baqarah: 267, dan QS. Adz-Zaariyat: 19, demikian pula penjelasan Nabi SAW yang bersifat umum terhadap zakat dari hasil usaha/profesi.
  • Riwayat Abu Ubaid: “Adalah Umar bin Abdul Aziz, memberi upah kepada pekerjanya dan mengambil zakatnya, dan apabila mengembalikan Al-Madholim diambil zakatnya, dan beliau juga mengambil zakat dari athoyat (gaji rutin) yang diberikan kepada yang menerimanya”.
Cara Menghitung Zakat Penghasilan
Ada tiga cara untuk menghitung zakat penghasilan. Perhitungan ini diqiaskan dengan zakat uang dan pertanian.
  1. Diqiaskan dengan zakat uang (naqdain) sepenuhnya. Qias ini kurang mendorong untuk berzakat, tidak proporsional dengan zakat pertanian, dan kurang berpihak kepada fakir-miskin.
  2. Diqiaskan dengan zakat hasil tani sepenuhnya. Agak memberatkan muzakki, dan kurang mempertimbangkan perbedaan sifat hasil tani dengan upah kerja.
  3. Memakai qias kemiripan (syibih) dengan zakat uang dan hasil tani. Qias ini tidak memberatkan muzakki, lebih mendorong  untuk berzakat dan lebih berpihak kepada fakir-miskin.
Qias Zakat Uang Zakat Hasil Tani Zakat Uang dan Hasil Tani
Nishab 85 gram emas 653 kg beras 653 kg beras
Kadar Zakat 2,5% 5% atau 10% 2,5%
Haul 1 tahun Setiap menerima
Penghasilan
Setiap menerima
Penghasilan
Pemotongan Dipotong keperluan
asasi dan pembayaran
hutang
Tidak dipotong Dipotong keperluan asasi
dan pembayaran hutang
Contoh Perhitungan Zakat Dengan Menggunakan Qias ke 3
Bapak Ahmad adalah karyawan sebuah perusahaan swasta. Setiap awal bulan ia mendapat gaji dari perusahaan tersebut sebesar Rp 6.000.000,-. Dari gaji tersebut, bapak Ahmad mengeluarkan keperluan pokok seperti biaya rumah tangga sebesar Rp 3.000.000,- , membayar sekolah 2 orang anak sebesar Rp 1.000.000,- , membayar cicilan rumah sebesar Rp. 750.000,- dan membayar telepon dan listrik sebesar Rp 500.000,-.
  1. Nishab: Setara dengan 653 kg beras. Jika harga beras Rp 5.000,- per-kg, maka nisab dalam rupiah adalah Rp 3.265.000,-
  2. Kadar zakat: 2,5%
  3. Haul: Setiap menerima gaji
  4. Total keperluan asasi dan membayar hutang adalah:  Rp. 3.000.000 + Rp 1.000.000  +  Rp 750.000  +  Rp 500.000 = Rp 5.250.000
  5. Jadi penghasilan bersih dia adalah: Rp 6.000.000 – Rp 5.250.000 = Rp 750.000
Rp 750.000 ini tidak mencapai nishab sebesar Rp 3.265.000. Jadi pak Ahmad tidak perlu membayar zakat penghasilan.
Jika seandainya penghasilan pak Ahmad adalah Rp 9 juta per bulan (bukannya 6 juta per bulan). Maka penghasilan bersihnya setelah dipotong keperluan asasi dan hutang jatuh tempo adalah:
Rp 9.000.000 – Rp 5.250.000 = Rp 3.750.000
Ini sudah melebihi nisab yang sebesar Rp 3.265.000. Dengan demikian pak Ahmad wajib mengeluarakan zakat profesi sebesar:
2.5% x Rp 3.750.000 = Rp 93.750
Mungkin ada yang bertanya:
Kalau kita perhitungkan “pengeluaran’ maka bisa jadi semua orang nggak jadi berzakat… (hmmm. mungkin banyak yang minus dari kebutuhan asas/ dasarnya….hemmmm).
Karena zakat profesi ini merupakan hasil ijtihad ulama, maka cara perhitungannya
tergantung ijtihad ulama. Pada umumnya ada 3 cara untuk menghitungnya:
  1. Langsung dihitung dari gaji yang diterima
  2. Dikurangi keperluan asasi (yang betul-betul penting)
  3. Dikurangi biaya hidup yang sebenarnya
Kalau menggunakan cara pertama, maka zakat penghasilan kita menjadi begitu besar dan tidak memperhitungkan aspek keperluan seseorang. Orang kaya tidak masalah dengan cara pertama.  Sebaliknya orang yang berpenghasilan sedang-sedang saja, tentu agak keberatan dengan cara pertama. Kalau dia dipaksa untuk menggunakan cara pertama, ditakutkan dia menjadi benci dengan zakat, dan pada akhirnya benci dengan ajaran Islam karena dianggap memberatkan.
Namun kalau mengambil cara ketiga yaitu dihitung dari sisa pengeluaran yang sebenarnya, bisa jadi orang itu  terlepas dari zakat pendapatan karena tidak cukup nishab. Malah bisa-bisa orang ini termasuk dalam kategori miskin dan layak menerima zakat :)
Maka perhitungan kedulaha yang kelihatannya lebih adil, karena tidak menyebabkan zakat seseorang menjadi terlalu besar dan pada saat yang bersamaan tidak menyebabkan seseorang itu terlepas dari kewajiban mengeluarkan zakat profesi.
Apa Sebenarnya Pengeluaran Asasi Itu?
Dalam banyak kajian, salah seorang pakar ekonomi syariah di Indonesia Adiwarman A. Karim membedakan bahwa needs adalah sesuatu yang sifatnya pokok, penting untuk esensi hidup dan relatif konstan dalam hidup sesorang. Sedangkan wants sangat dipengaruhi oleh sifat serakah, selalu ingin bertambah dan kadang tidak rasional. Keperluan hidup itu bersifat relatif tetap dari waktu ke waktu, relatif dapat diprediksi dan penting bagi kelangsungan hidup kita. Ulama menambahkan pelunasan hutang juga akan menjadi pengurang harta yang diperoleh per tahunnya.
Jadi yang bisa dimasukkan kedalam keperluan asasi adalah:
  1. Pengeluaran asasi bagi diri sendiri, istri dan anak seperti makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal.
  2. Pemberian kepada ibu-bapa, pembayaran superannuation, cicilan rumah, bayar hutang penting lainnya
Contoh yang bukan keperluan asasi seperti:
  1. Kursus musik ataupun les-les tambahan untuk anak-anak
  2. Membeli TV layar datar, padahal masih ada TV lama yang masih bagus
  3. Jalan-jalan keluar kota
  4. Tiap minggu makan diluar bersama keluarga
  5. Membeli hadiah untuk acara pernikahan
  6. Dan keperluan tidak penting lainnya
Sumber:
Dewan Syariah Rumah Zakat – Sumber-sumber Zakat Masa Kini dan Cara Menghitung Zakatnya
PKPU – Fiqh ZAkat
Konsultasi Zakat 2, Pengeluaran Zakat Penghasilan Setiap Bulan

Zakat Penghasilan Berapa Persen Berapa Persen Zakat Penghasilan Zakat Penghasilan Dalam Islam Zakat Pendapatan Zakat Gaji

Sebagian orang mengeluarkan zakat tabungan atau mata uang setiap bulannya. Padahal zakat mata uang itu berbeda dengan zakat tanaman. Tanaman ketika panen berarti perkembangannya telah sempurna, sehingga pengeluaran zakatnya setelah selesai panen. Beda halnya dengan zakat penghasilan atau mata uang, harta tersebut masih mengalami pasang-surung atau fluktuatif, sehingga diambil patokan haul atau masa satu tahun sebagai waktu standar untuk pengeluaran. Oleh karenanya, tidak tepat sebenarnya jika mesti dikeluarkan setiap bulan, ditambah lagi kita mesti mengeluarkan untuk pengeluaran pokok lainnya. Padahal Islam menetapkan zakat di luar kebutuhan pokok. Syari’at Islam sama sekali tidak membuat susah tatkala membebani suatu kewajiban.

Soal:

1. Boleh tidak kita bayarkan zakat maal tiap bulan? Selama ini saya mengeluarkan zakat maal kami tiap bulan untuk memberikan beasiswa anak yatim dan duafa. Hal ini saya dasarkan bahwa dengan asumsi 1 bulan sudah masuk nisab, 1 tahun insya Allah tentu masuk nishob. Kenapa tiap bulan? Karena anak-anak itu membutuhkan uang tersebut untuk keseharian (bulanan adalah pendekatan terbaik menurut saya, kalau tahunan terlalu jauh). Saya kumpulkan anak-anak penerima beasiswa itu, bulanan ada pertemuan diberikan beasiswanya, kajian dan binaan. Tahunan kita hitung lagi zakat maalnya. Jika kurang kita tambahi lagi, kalau kelebihannya tidak apa-apa semoga dihitung sebagai sedekah di hadapan Allah.

2. Kami berdua sama-sama pegawai negara (dapat gaji bulanan) dan masing-masing kami juga mengelola usaha. Selama ini zakat dihitung dari total penghasilan kami dengan prosentase zakat di atas 2,5 persen (kehati-hatian). Perhitungan dengan penggabungan tersebut benar atau salah?

3. Kalau setiap bulan zakat sudah dikeluarkan apakah kami juga harus mengeluarkan zakat tahunan? Aset yang saya miliki rumah (masih dicicil), mobil, dan emas, serta tabungan. Emas dan perhiasan saya di bawah nisob karena saya tidak begitu suka menyimpan emas. Selama ini saya menghitung nilai tabungan zakat maalnya berapa, kemudian dibandingkan dengan total zakat yang kami keluarkan bulanan. Jika lebih sedikit kami keluarkan kekurangannya (tapi selama ini total zakat bulanan km jauh lebih tinggi dari zakat maal tahunan yang harus kami keluarkan). Apakah betul perhitungan seperti itu?

[Penanya: nuryaningsih]

Jawab:

Untuk menjawab pertanyaan ibu, kami bagi menjadi beberapa penjelasan:

1- Waktu pembayaran zakat maal

Perlu diketahui bahwa di antara syarat penunaian zakat maal adalah telah mencapai nishob dan haul. Syarat haul di sini yang perlu diperhatikan. Karena syari’at Islam tentu tidak menyulitkan umatnya. Seandainya harta kita tidak memenuhi syarat haul atau nishob, maka tidak ada zakat dan tidak perlu kita paksakan diri.

Dalam kaedah fikih yang disebutkan oleh Syaikh As Sa’di rahimahullah,

الدين مبني على المصالح

في جلبها والدرء للقبائح

Ajaran Islam dibangun di atas maslahat

Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudhorot (bahaya)

Allah Ta’ala menjelaskan mengenai ajaran Islam,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya’: 107). Jika syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya. Dalam hal yang kita kaji, jika Islam menetapkan syarat, maka berarti mengandung maslahat. Syarat ini dibuat agar tidak memudhorotkan umat Islam itu sendiri. Jika demikian, kita tidak perlu menyusahkan diri kita sendiri. Mengenai syarat haul di sini ditetapkan dalam hadits,

وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.” (HR. Abu Daud no. 1573, Tirmidzi no. 631 dan Ibnu Majah no. 1792. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Berarti, jika belum memenuhi haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Yang dimaksud haul adalah masa satu tahun.

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,

اتّفق الفقهاء على أنّ الحول شرط لوجوب الزّكاة في نصاب السّائمة من بهيمة الأنعام ، وفي الأثمان ، وهي الذّهب ، والفضّة

“Para ulama sepakat bahwa haul merupakan syarat wajibnya zakat ketika harta telah mencapai nishob, yaitu pada zakat hewan ternak, zakat mata uang, zakat emas dan perak.”

Kenapa sampai harus menunggu haul? Karena harta-harta tadi masih mengalami pertumbuhan, seperti pada hewan ternak masih akan punya keturunan dan barang dagangan masih akan berkembang keuntungannya. Dan berkembangnya harta di sini diambil standar haul atau satu tahun. Adapun zakat tanaman ditarik tanpa memperhatikan haul tetapi setiap kali panen. Karena dalam ayat disebutkan,

وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dizakatkan kepada fakir miskin)” (QS. Al An’am: 141). Zakat ditarik ketika panen karena perkembangan harta telah sempurna saat panen tersebut. Jika telah ditarik zakat pada hasil panen, maka tidak ditarik lagi zakat untuk kedua kalinya karena hasil tersebut tidak mengalami perkembangan lagi. Lihat penjelasan di Mawsu’ah Al Fiqhiyyah dalam index kata ‘haul’.

Sehingga kami menilai mengeluarkan zakat penghasilan atau tabungan setiap tahun, itu lebih selamat. Jangan terlalu bebani diri dengan zakat jika belum mampu. Adapun untuk biaya anak yatim yang disebutkan di atas, kami sarankan untuk mengambil dari sedekah sunnah. Artinya biaya anak yatim yang dikeluarkan tersebut dihitung sedekah sunnah, bukan termasuk zakat yang wajib.

2- Zakat maal di luar kebutuhan pokok

Tadi disebutkan bahwa Bu Rintania masih memiliki keperluan penyicilan kredit mobil dan lainnya dan ini wajib ditunaikan. Maka perlu dipahami bahwa zakat yang dibebani pada kita bukanlah dari penghasilan kotor yang kita terima. Namun zakat penghasilan itu ditarik setelah dikurangi dengan kebutuhan pokok, seperti untuk biaya hidup bulanan dan pelunasan utang. Hal di atas juga menjadi alasan mengapa kita lebih baik menunaikan zakat setiap tahun, bukan setiap bulan. Karena harta setelah mengalami nishob masih fluktuatif, bisa naik dan bisa turun. Jadinya, kita diberi kesempatan menunggu sampai setahun, sisanya itulah yang dizakati. Sehingga perlu diperhatikan sekali lagi bahwa syarat zakat lainnya adalah harta yang dizakati di luar kebutuhan pokok. Sehingga dalam masalah di atas, seharusnya cicilan utang tiap bulan yang sudah jatuh tempo, itu yang lebih dipenuhi daripada zakat. Lihat syarat yang kami maksudkan dalam penjelasan Syaikh Dr. ‘Abdullah bin Muhammad Ath Thoyar di kitab beliau ‘Az Zakat’.

3- Penggabungan harta suami dan harta istri

Asalnya, harta suami itu menjadi milik suami, tetapi ia punya kewajiban untuk menafkahi anak dan istrinya. Sedangkan jika istri memiliki penghasilan atau harta lainnya (seperti dari warisan orang tua), maka itu asalnya miliknya. Dan suami boleh mengambil harta istri namun harus dengan ridho istri. Dalil yang kami maksudkan adalah kesimpulan dari ayat tentang mas kawin,

وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (QS. An Nisa’: 4). Sehingga dalam masalah di atas, kalau memang hartanya milik masing-masing (karena penghasilan yang berbeda), maka zakatnya dikeluarkan juga masing-masing, tidak digabungkan. Beda halnya jika hartanya jadi milik bersama.

4- Zakat pada mobil

Disinggung di atas mengenai aset mobil, haruskah ada zakat?

Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya, “Apakah ada kewajiban zakat pada mobil? Lalu bagaimana cara mengeluarkannya?”

Jawaban para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah, “Jika mobil tersebut hanya sekedar dikendarai saja, maka tidak ada zakat. Namun jika ia digunakan untuk mencari keuntungan (didagangkan), maka ia termasuk barang dagangan. Zakatnya dikeluarkan jika sudah sempurna haul (masa satu tahun hijriyah) dihitung sejak mobil tersebut digunakan untuk mencari keuntungan. Zakatnya diambil 2,5% dari qimahnya atau harga mobil tersebut saat pembayaran zakat.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 8: 66)

5- Zakat pada perhiasan emas

Jika maksud pertanyaan di atas adalah zakat pada perhiasan emas, maka meskipun di bawah nishob emas (85 gram), tetap terkena zakat. Karena perhiasan tersebut terkena zakat dilihat dari harga jual (qimah) setelah tentunya bertahan selama haul (masa satu tahun). Misalnya harga 1 gram perhiasan emas adalah 500 ribu. Lalu jika saya punya perhiasan 10 gram, maka berarti harga jualnya adalah Rp5 juta. Ini berarti sudah di atas nishob harta. Sehingga ada zakat 2,5% dari 5 juta tersebut setelah satu tahun.

Wallahu a’lam bish showab.

KHUTBAH JUM'AH

NASAB HABIB BA ALAWI SEPERTI MALAM LIKURAN

Para habaib sering mengungkapkan narasi bahwa, nasab para habib Ba Alawi sudah terang benderang bagaikan matahari di sianghari. Jika di sian...