Ibrahim Bin Adham Dan Pengembaraannya Mencari Allah
Dia adalah raja di Balkh satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan, menggantikan ayahnya yang baru mangkat. Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim bin Adham juga bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu di kawal 80 orang pengawal. 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.
Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur di atas dipannya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri.
Ibrahim menegur orang itu,"Apa yang tengah kamu lakukan di atas sana?"
Orang itu menjawab, "Saya sedang mencari ontaku yang hilang."
"Apa kamu sudah gila, mencari onta di atas genteng," sergahnya.
Namun orang itu balik menyerang, "Tuan yang gila, karena tuan mencari Allah di istana."
Jawabannya membuat Ibrahim tersentak, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Ia gelisah, kedua matanya tidak dapat terpejam, terus menerus menerawang merenungi kebenaran kata kata itu. Hingga adzan Shubuh berkumandang Ia tetap terjaga. Esok harinya, keadaannya tidak berubah. la gelisah, murung, dan sering menyendiri. la terus mencari jawaban di balik peristiwa malam itu.
Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikin berkurang.
Akan tetapi sepertinya masalah itu terlalu berat baginya, sehingga tanpa disadarl kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya, ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Kalau saja ia tidak terjatuh bersama kudanya, mungkin ia tidak berhenti.
Ketika ia berusaha bangun, tiba tiba seekor rusa melintas di depannya. Segera ia bangkit, menghela kudanya dengan cepat sambil mengarahkan tombaknya ke tubuh buruannya. Tetapi saat dia hendak melemparkan tombaknya, ia mendengar bisikan keras seolah memanggil dirinya, "Wahai Ibrahim, bukan untuk itu (berburu) kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!"
Namun Ibrahim terus berlari sambil melihat kiri kanan, tapi tak seorang pun di sana, lalu ia berucap, "Semoga Allah memberikan kutukan kepada Iblis!"
Dia pacu kembali kudanya. Namun, lagi-lagi teguran itu datang. Hingga tiga kali. la lalu berhenti dan berkata, "Apakah itu sebuah peringatan dari Mu? Telah datang kepadaku sebuah peringatan dari Allah, Tuhan semesta alam. Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada Nyal"
Setelah itu, ia menghampiri seorang penggembala kambing yang ada tidak jauh dari tempat itu. Lalu memintanya untuk menukar pakaiannya dengan pakaian yang ia pakai.
Setelah mengenakan pakaian usang itu, ia berangkat menuju Makkah untuk mensucikan dirinya. Dari sinilah drama kesendirian Ibrahim bermula. Istana megah ia tinggalkan dan tanpa seorang pengaval ia berjalan kaki menyongsong kehidupan barunya.
Berbulan bulan mengembara, Ibrahim tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishafur. Di sana ia tinggal di sebuah gua, menyendiri, berdzikir dan memperbanyak lbadah. Hingga tidak lama kemudian, keshalihan, kezuhudan dan kesufiannya mulai dikenal banyak orang. Banyak di antara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan kepadanya, tetapi Ibrahim selalu menolak.
Beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan Bandar Nishafur, dan dalam perjalanan selanjutnya menuju Makkah, hampir di setiap kota yang ia singgahi terdapat kisah menarik tentang dirinya yang dapat menjadi renungan bagi kita, terutama keikhlasan dan ketawadhuannya.
Pernah satu ketika, di suatu kampung Ibrahim kehabisan bekal. Untungnya, ia bertemu dengan seorang kaya yang membutuhkan penjaga untuk kebun delimanya yang sangat luas. Ibrahim pun diterima sebagai penjaga kebun, tanpa disadari oleh orang tersebut kalau lelaki yang dipekerjakannya adalah Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang sudah lama ia kenal namanya. Ibrahim menjalankan tugasnya dengan baik tanpa mengurangi kuantitas ibadahnya.
Suatu hari, pdmilik kebun minta dipetikkan buah delima. Ibrahim melakukannya, tapi pemilik kebun malah memarahinya karena delima yang diberikannya rasanya asam. "Apa kamu tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam," tegumya. "Aku belum pernah merasakannya, Tuan," jawab Ibrahim. Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta. Ibrahim lantas shalat di kebun itu, tapi pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya. "Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding kamu." "Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi," jawabnya. Dia pun dipecat, lalu pergi.
Di perjalanan ia menjumpai seorang pria sedang sekarat karena kelaparan. Buah delima tadi pun diberikannya. Sementara itu, tuannya terus mencarinya karena belum membayar upahnya. Ketika bertemu, Ibrahim meminta agar gajinya dipotong karena delima yang ia berikan kepada orang sekarat tadi. "Apa engkau tidak mencuri selain itu?" tanya pemilik kebun. "Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu," tegas Ibrahim.
Setahun kemudian, pemilik kebun mendapat pekerja baru. Dia kembali meminta dipetikkan buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling manis. Pemilik kebun bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta karena mengaku tak pernah mencicipi delima, memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu. "Betapa dustanya dia," kata pemilik kebun.
Tukang kebun yang baru lantas berujar, "Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkan istananya karena zuhud." Pemilik kebun pun menyesali tindakannya, "Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui."
Menjelang kedatangannya di Kota Makkah, para pemimpin dan ulama bersama sama menunggunya. Namun tak seorang pun yang mengenali wajahnya. Ketika kafilah yang diikutinya memasuki gerbang Kota Makkah, seorang yang diutus menjemputnya bertanya kepada Ibrahim, "Apakah kamu mengenal Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang terkenal itu?" "Untuk apa kamu menanyakan si ahli bidah itu?" Ibrahim balik bertanya.
Mendapat jawaban yang tidak sopan seperti itu, orang tersebut lantas memukul Ibrahim, dan menyeretnya menghadap pemimpin Makkah. Saat diinterogasi, jawaban yang keluar dari mulutnya tetap sama, "Untuk apa kalian menanyakan si ahli bidah itu?" Ibrahim pun disiksa karena dia dianggap menghina seorang ulama agung. Tetapi, dalam hatinya Ibrahim bersyukur diperlakukan demikian, ia berkata, "Wahai Ibrahim, dulu waktu berkuasa kamu memperlakukan orang seperti ini. Sekarang, rasakanlah olehmu tangan-tangan penguasa ini."
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan seorang bekas penguasa seperti Ibrahim bin Adham, dari pengalamannya memperbalki diri, dari kesendiriannya menebus segala kesalahan dan kelalaian, dari keikhlasan, kezuhudan, dan ketawadhuannya yang tak ternilai.
Ibrahim bin Adham dan Sebutir Kurma
Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham rahimahullah berniat ziarah ke Masjid Al Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat masjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. Empat Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan Allah SWT,” kata malaikat yang satu.
“Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena empat bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi. Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama empat bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh Allah SWT gara- gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya. “Astaghfirullahal adzhim,” Ibrahim beristighfar. Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “Empat bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya ibrahim. “Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda itu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”
“Bagi saya tidak masalah. Insya Allah saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.” Ibrahim bertanya “Dimana alamat saudara-saudaramu? biar saya temui mereka satu persatu.”
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui saudara-saudaranya yang lain. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim.
Empat bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.”
“O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”Subhanallah…
Nasihat Ibrahim bin Adham
Ada kisah seorang lelaki yang mendatangi Ibrahim ibn Adham. Dia (Ibrahim) adalah seorang ahli tabib ahli jiwa. Lelaki itu berkata kepada Ibrahim, “Aku adalah orang yang menyakiti diri sendiri. Tunjukkanlah kepadaku hal-hal yang bisa membuatku jera. Ibrahim menasehatinya, “Jika kamu melakukan lima hal ini, kamu tidak akan termasuk orang-orang yang melakukan maksiat. Lelaki itu berkata (ia sangat bersemangat untuk mendengar nasehat si tabib), “Berikanlah apa (nasehat) yang engkau punyai wahai Ibrahim!” Maka Ibrahim menyebutkannya.
“Pertama, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah, janganlah kamu memakan sesuatupun dari rizkiNya.” Orang itu pun terheran-heran dan kemudian berkata dengan nada bertanya, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim padahal semua rizki datangnya dari Allah SWT?” Ibrahim menjawab, “Jika kamu mengetahui hal itu, apa pantas kamu memakan rizkiNya dan berbuat maksiat terhadap Nya.” Orang itu berkata, “Tidak, wahai Ibrahim.
Kemudian apa yang kedua?” Ibrahim melanjutkan, “Kedua, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah, janganlah kamu bertempat tinggal di negeriNya.” Maka orang itu pun terheran-heran -melebihi keheranannya yang pertama- dan bertanya, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim, padahal semua negeri adalah milik Allah?” Ibrahim menjelaskan, “Bila kamu mengetahui akan hal itu, apa pantas kamu tinggal di negeriNya dan berbuat maksiat kepadaNya?” Lelaki itu menjawab “Tidak, wahai Ibrahim. Sebutkan yang ketiga!” Ibrahim menyebutnya,
“Ketiga, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah maka carilah suatu tempat yang Allah tidak melihatmu. (Jika kamu mendapatkan tempat itu) maka lakukanlah maksiatmu kepada Allah!” Lelaki itu berkata, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim, padahal Allah Mahatahu segala rahasia dan Maha Mendengar derap kaki semut yang sedang berjalan di atas batu cadas yang keras pada malam yang gelap gulita?” Maka Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu mengetahui hal itu, apa pantas kamu berbuat maksiat kepadaNya?” Lelaki itu menjawab, “Tidak, wahai Ibrahim.
Lalu apa yang keempat?” Ibrahim berkata, “Keempat, jika datang malaikat maut untuk mencabut nyawamu maka katakan padanya, “Tundalah sampai batas waktu tertentu!” Lelaki itu pun keheranan, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai ibrahim, padahal Allah berfirman, “Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak dapat (pula) memajukannya?” (QS. Al-Munafiqun: 11) Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu mengetahui hal itu, bagaimana kamu mengharapkan keselamatan?” Lelaki itu berkata, “Benar.
Berikanlah yang kelima wahai Ibrahim!” Ibrahim melanjutkan, “Kelima, bila datang kepadamu malaikat Zabaniyyah -mereka adalah malaikat penjaga neraka Jahannam untuk menyeretmu ke neraka Jahannam janganlah engkau pergi bersama mereka.” Belum sempat Ibrahim mengatakan nasehat yang kelima, lelaki itu menangis sembari berkata , “Cukup Ibrahim! Aku mohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepadaNya.” Orang itu pun akhirnya menekuni ibadah sampai akhir hayatnya.
Belajar Memaafkan dari Ibrahim bin Adham
Diriwayatkan dari Ikrimah, Rasulullah Saw. bersabda, “Di hari kiamat ketika Allah menyerahkan catatan amal kepada manusia, yang pertama kali diberikan adalah catatan amal kebaikan. Lalu Allah bertanya kepada setiap orang yang diberikan catatan, “Apa yang kamu lihat?” Maka masing-masing orang menjawab, ‘Aku melihat banyak sekali kebaikan.’ Kemudian Allah bertanya kembali, “Adakah yang kurang?” Mereka menjawab, ‘Tidak!’
Kemudian Allah menyerahkan catatan keburukan ke setiap orang, lalu dibaca. Allah bertanya, “Apa yang kamu lihat?” Masing-masing menjawab, ‘Aku melihat keburukan yang banyak.’ Lalu Allah bertanya lagi, “Adakah yang bertambah?” Masing-masing menjawab, ‘Tidak!”
Kemudian Allah menyerahkan selembar catatan lagi dan setiap orang mukmin membacanya. Lalu Allah bertanya, “Apa yang kamu lihat?” Masing-masing menjawab, ‘Aku melihat catatan kebaikan yang banyak.’ Lalu Allah bertanya lagi, “Apakah kamu mengenali kebaikan-kebaikan itu?” Setiap orang menjawab, “Tidak!” Kemudian dijelaskan Allah, “Ini dari perbuatan orang yang menzhalimimu, menggangu dan mengambil hartamu tanpa sepengetahuanmu.”
Apa yang bisa dipahami dari hadis ini? Secara umum, kita sedang belajar mengenal sifat rahman (Maha pengasih) dan rahim (Maha Penyayang) Allah. Ketika menyerahkan catatan kebaikan, pertanyaan yang diajukan Allah adalah, “Adakah yang kurang?”. Allah menunjukkan bahwa tak ada kezhaliman dalam menyerahkan catatan. Semua kebaikan yang dilakukan dicatat dalam buku catatan, pada saat ‘Laporan Pertanggungjawaban’ (LPJ) di akhirat ditunjukkan Allah semuanya dengan rinci.
Demikian halnya juga dengan amal keburukan yang dilakukan tak luput dicatat di dalam catatan keburukan. Lalu ditanya, “Adakah yang bertambah?” Pertanyaan ini menunjukkan ke-Maha Pengasihnya Allah. Allah tak menginginkan adanya penambahan dalam catatan keburukan hamba-Nya.
Setelah Allah memberikan catatan amal kebaikan dan keburukan kepada orang-orang yang beriman, Allah memberikan catatan amal yang lain. Catatan amal yang menunjukkan laporan hasil pendapatan yang didapat tanpa pengetahuan orang-orang yang beriman. Sehingga menjadi ‘penambahan modal amal kebaikan’. Penambahan modal kebaikan itu berasal dari perbuatan orang yang menzhalimi, namun dimaafkan. Orang yang mencuri harta milik kita tanpa sepengetahuan kita.
Ibrahim bin Adham dan Bekas Budaknya
Ada kisah Ibrahim bin Adham yang layak dijadikan contoh. Sebelum bertaubat, ia memiliki 72 budak. Ketika tobat dan kembali ke jalan Allah, dimerdekakannya semua budak-budaknya. Salah satu budaknya bertemu dengannya, tapi dalam kondisi mabuk minuman keras.
“Hai, tolong antarkan aku kerumahku!”
“Ya!” kata Ibrahim bin Ad-ham. Tapi Ibrahim bin Adham membawanya ke perkuburan.
Ketika pemabuk tadi tahu dia berada di perkuburan, ia memukul dan menghajar Ibrahim bin Adham dengan sekuat-kuatnya. “Sudah kukatakan bawa aku ke rumahku, tapi kau bawa aku ke kuburan.”
“Wahai manusia bodoh! Inilah rumah sesungguhnya. Rumah-rumah yang lain adalah kiasan belaka.”
Diambilnya cemeti yang ada di kuda Ibrahim bin Adham lalu dicambuknya Ibrahim bin Adham. Setiap cambukan Ibrahim bin Adham berdoa, “Semoga Allah mengampunimu.”
Ketika melintas seseorang di perkuburan itu dan melihat apa yang tengah terjadi. Dikatakannya kepada pemabuk tadi.
“Hai, apa yang kau lakukan? Kau memukul tuan yang telah memerdekakanmu?”
Begitu mengetahuinya, pemabuk itu segera turun dari kudanya dan meminta maaf.
“Aku terima maafmu. Lupakanlah apa yang telah terjadi.”
“Wahai tuan! Kuhajar dan kusiksa kau, sedangkan kau mendoakan kebaikan bagiku. Setiap pukulan kau selalu berdoa, ‘Semoga Allah mengampunimu.”
“Bagaimana aku tak mendoakan yang baik, karena perbuatan menghajar dan menyiksa yang kau lakukan kepadaku bisa mengantarkanku masuk surga.”
Luar biasa apa yang dilakukan Ibrahim bhn Adham. Ia mampu menahan sakit demi bisa masuk ke dalam surga. Ketika dizhalimi, ia tetap mendoakannya dengan kebaikan. Perbuatan seperti ini layak ditiru. Ia melakukan apa pun karena Allah. Sehingga ketika dizhalimi, ia tetap mendoakan orang yang menzhaliminya dengan kebaikan.
Makanya, cukup pantas kita memasukkan doa harian kita. “Ya Allah, Engkaulah yang Maha Pantas dijadikan tujuan. Semoga hanya Engkau yang jadi tujuan setiap gerak langkahku di dunia ini, hingga aku pulang kepangkuan-Mu.”
Burung Sehat
Syaqiiq al-Balkhi adalah teman Ibrahim bin Adham yang dikenal ahli ibadah, zuhud dan tinggi tawakalnya kepada Allah. Hingga pernah sampai pada tataran enggan untuk bekerja. Penasaran dengan keadaan temannya, Ibrahim bin Adham bertanya, “Apa sebenarnya yang menyebabkan Anda bisa seperti ini?”
Syaqiiq menjawab, “Ketika saya sedang dalam perjalanan di padang yang tandus, saya melihat seekor burung yang patah kedua sayapnya. Lalu saya berkata dalam hati, aku ingin tahu, dari mana burung itu mendapatkan rizki. Maka aku duduk memperhatikannya dari jarak yang dekat. Tiba-tiba datanglah seekor burung yang membawa makanan di paruhnya. Burung itu mendekatkan makanan ke paruh burung yang patah kedua sayapnya untuk menyuapinya.
Maka saya berkata dalam hati, “Dzat yang mengilhami burung sehat untuk menyantuni burung yang patah kedua sayapnya di tempat yang sepi ini pastilah berkuasa untuk memberiku rejeki di manapun aku berada.” Maka sejak itu, aku putuskan untuk berhenti bekerja dan aku menyibukkan diriku dengan ibadah kepada Allah. Mendengar penuturan Syaqiiq tersebut Ibrahim berkata, “Wahai Syaqiiq, mengapa kamu serupakan dirimu dengan burung yang cacat itu? Mengapa Anda tidak berusaha menjadi burung sehat yang memberi makan burung yang sakit itu? Bukankah itu lebih utama? Bukankah Nabi bersabda,
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?” Sudah selayaknya bagi seorang mukmin memilih derajat yang paling tinggi dalam segala urusannya, sehingga dia bisa mencapai derajat orang yang berbakti? Syaqiiq tersentak dengan pernyataan Ibrahim dan ia menyadari kekeliruannya dalam mengambil pelajaran. Serta merta diraihnya tangan Ibrahim dan dia cium tangan itu sambil berkata, “Sungguh. Anda adalah ustadzku, wahai Abu Ishaq (Ibrahim).”
10 Nasihat Ibrahim bin Adham
Suatu ketika Ibrahim bin Adham, seorang alim yang terkenal zuhud dan wara’nya, melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat. Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Guru! Allah telah berjanji dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Kami telah berdoa setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai saat ini doa kami tidak dikabulkan?”
Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, “Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah.
Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya.
Kedua, kalian membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.
Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya.
Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya.
Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.
Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.
Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya.
Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri.
Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.
Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa.” Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia.”
Duduk Bertumpang Kaki
Seorang sufi ternama, Ibrahim bin Adham, dikenal orang tak pernah duduk dengan menumpangkan kakinya. Seorang muridnya keheranan dan bertanya, “Wahai Guru, mengapa kau tak pernah duduk dengan bertumpang kaki?”
“Aku pernah melakukan itu satu kali,” jawab Ibrahim, “Tapi kemudian aku dengar sebuah suara dari langit: Hai Anak Adham, apakah seorang hamba duduk seperti itu di hadapan tuannya?” Aku segera duduk tegak dan memohon ampun.”
Ketika Ibrahim Bin Adham Menangis
Suatu hari, seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta uang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya wang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika engkau tidak punya uang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan. Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya uang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang dapat kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak memptnyai amal salih apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.
Senin, 28 Maret 2016
Minggu, 06 Maret 2016
Syari'at - Ma'rifat
K. Ang Hidayah Asy-Syafi'ie
Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Ajjiluu bishsholaati qoblal faut wa ajjiluu bittaubaati qoblal maut !!
Shalat bisa dikerjakankan oleh semua usia dari anak-anak sampai kakek-nenek. Hanya saja, cukupkah shalat dikerjakan ? Sementara di dalam Al Qur-an ditegaskan bahwa shalat harus didirikan.
Alangkah indahnya apabila shalat dimaknai dari segi syari'at, thorikat, hakikat, dan ma'rifat.
Dari segi (alam) syari'at, shalat mengandung makna suatu perbuatan yang memiliki hukum wajib yang harus dikerjakan menurut aturan dan ketentuan yang sudah dibakukan oleh syara'. Setelah berniat melakukan suatu shalat, mulailah dengan takbirotul ihrom dan diakhiri dengan berucap salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Tentunya dengan melakukan gerakan-gerakan dan melafadzkan bacaan-bacaan yang sudah ditetapkan. Orang akan merasa berdosa apabila tidak mengerjakan atau melalaikan shalat.
Dari segi (alam) thorikat, shalat adalah jalan yang mesti dilalui untuk mencapai tujuan, menemuai-Nya. Setiap bacaan, gerakan, dan aturan shalat sudah mulai direalisasikan dan dibiasakan di dalam kehidupan sehari-harinya. Misal, seseorang sering dan memperbanyak membaca laa ilaaha illallaah dalam dzikirnya. Dia sedang merealisasikan sebagian bacaan attahiyat : asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan Rosuulullaah. Misal lain, seseorang membiasakan menjaga wudlunya (bersuci) setiap waktunya, baik ketika di rumah, di perjalanan, di kantor/tempat pekerjaan, ataupun di mana saja dia berada. Hal ini memiliki pengertian bahwa dia sedang merealisasikan salah satu yang menjadi syarat syah shalat.
Dari segi (alam) hakikat, shalat dimaknai sebagai sarana berkomunikasi dengan Sang Kholik, Allah Swt. Bagi orang yang sudah masuk ke alam hakikat ini, apabila mendengar suara adzan dia merasa Allah memanggilnya dengan kerinduan-Nya. Serta merta dia pun bersegera menjumpai-Nya dalam shalatnya. Dia merasa sedang berhadapan dan berdialog dengan-Nya. Atau, paling tidak, berkeyakinan bahwa Allah sedang menatapnya. Dalam kesehariannya dia merasa selalu diawasi oleh Allah Swt. Ketika melihat makhluk ciptaan-Nya, dia merasa Allah ada di sana.
Dari segi (alam) ma'rifat, seseorang dalam shalatnya benar-benar sedang merasakan nikmatnya, indahnya, dan bahagianya berkasih sayang penuh rindu dan cumbu rayu dengan Sang Kekasih, Allah Swt. Seperti, menikmati gula, terasa benar manisnya yang khas, Dia tidak ingin shalatnya cepat selesai, ingin berlama-lamaan. Walaupun salam telah mengakhiri shalatnya, dia selalu rindu untuk segera bertemu kembali dengan Kekasih yang mencintainya. Dalam kesehariannya dia berusaha selalu berbuat dan bersikap ihsan supaya Sang Kekasih tidak marah. Dia sayang kepada setiap insan. Dia tak mau dan tak mampu menyakiti hewan ataupun tumbuhan.
Mungkin diantara kita ada yang bangga dapat mengerjakan shalat selalu awal waktu dan berjamaah. Atau mungkin juga diantara kita merasa malu tatkala teringat dalam shalatnya betapa agung kasih-sayang Allah yang senantiasa tercurahkan walaupun kita tak dapat menghitung dosa yang pernah dlakukan.
Masih inginkah kita shalat dihadiahi dengan syurga ?
Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Ajjiluu bishsholaati qoblal faut wa ajjiluu bittaubaati qoblal maut !!
Shalat bisa dikerjakankan oleh semua usia dari anak-anak sampai kakek-nenek. Hanya saja, cukupkah shalat dikerjakan ? Sementara di dalam Al Qur-an ditegaskan bahwa shalat harus didirikan.
Alangkah indahnya apabila shalat dimaknai dari segi syari'at, thorikat, hakikat, dan ma'rifat.
Dari segi (alam) syari'at, shalat mengandung makna suatu perbuatan yang memiliki hukum wajib yang harus dikerjakan menurut aturan dan ketentuan yang sudah dibakukan oleh syara'. Setelah berniat melakukan suatu shalat, mulailah dengan takbirotul ihrom dan diakhiri dengan berucap salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Tentunya dengan melakukan gerakan-gerakan dan melafadzkan bacaan-bacaan yang sudah ditetapkan. Orang akan merasa berdosa apabila tidak mengerjakan atau melalaikan shalat.
Dari segi (alam) thorikat, shalat adalah jalan yang mesti dilalui untuk mencapai tujuan, menemuai-Nya. Setiap bacaan, gerakan, dan aturan shalat sudah mulai direalisasikan dan dibiasakan di dalam kehidupan sehari-harinya. Misal, seseorang sering dan memperbanyak membaca laa ilaaha illallaah dalam dzikirnya. Dia sedang merealisasikan sebagian bacaan attahiyat : asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan Rosuulullaah. Misal lain, seseorang membiasakan menjaga wudlunya (bersuci) setiap waktunya, baik ketika di rumah, di perjalanan, di kantor/tempat pekerjaan, ataupun di mana saja dia berada. Hal ini memiliki pengertian bahwa dia sedang merealisasikan salah satu yang menjadi syarat syah shalat.
Dari segi (alam) hakikat, shalat dimaknai sebagai sarana berkomunikasi dengan Sang Kholik, Allah Swt. Bagi orang yang sudah masuk ke alam hakikat ini, apabila mendengar suara adzan dia merasa Allah memanggilnya dengan kerinduan-Nya. Serta merta dia pun bersegera menjumpai-Nya dalam shalatnya. Dia merasa sedang berhadapan dan berdialog dengan-Nya. Atau, paling tidak, berkeyakinan bahwa Allah sedang menatapnya. Dalam kesehariannya dia merasa selalu diawasi oleh Allah Swt. Ketika melihat makhluk ciptaan-Nya, dia merasa Allah ada di sana.
Dari segi (alam) ma'rifat, seseorang dalam shalatnya benar-benar sedang merasakan nikmatnya, indahnya, dan bahagianya berkasih sayang penuh rindu dan cumbu rayu dengan Sang Kekasih, Allah Swt. Seperti, menikmati gula, terasa benar manisnya yang khas, Dia tidak ingin shalatnya cepat selesai, ingin berlama-lamaan. Walaupun salam telah mengakhiri shalatnya, dia selalu rindu untuk segera bertemu kembali dengan Kekasih yang mencintainya. Dalam kesehariannya dia berusaha selalu berbuat dan bersikap ihsan supaya Sang Kekasih tidak marah. Dia sayang kepada setiap insan. Dia tak mau dan tak mampu menyakiti hewan ataupun tumbuhan.
Mungkin diantara kita ada yang bangga dapat mengerjakan shalat selalu awal waktu dan berjamaah. Atau mungkin juga diantara kita merasa malu tatkala teringat dalam shalatnya betapa agung kasih-sayang Allah yang senantiasa tercurahkan walaupun kita tak dapat menghitung dosa yang pernah dlakukan.
Masih inginkah kita shalat dihadiahi dengan syurga ?
Sabtu, 05 Maret 2016
Aku Ingin Bertobat, Tetapi...???
K. Ang Hidayah Asy-Syafi'ie
“Aku ingin bertaubat hanya saja dosaku terlalu banyak. Aku pernah terjerumus dalam zina. Sampai-sampai aku pun hamil dan sengaja membunuh jiwa dalam kandungan. Aku ingin berubah dan bertaubat. Mungkinkah Allah mengampuni dosa-dosaku?!”
Sebagai nasehat dan semoga tidak membuat kita berputus dari rahmat Allah, cobalah kita lihat sebuah kisah yang pernah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Semoga kita bisa mengambil pelajaran-pelajaran berharga di dalamnya.
Kisah Taubat Pembunuh 100 Jiwa
Kisah ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya. Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.” Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.”1
Beberapa Faedah Hadits
Pertama: Luasnya ampunan Allah
Hadits ini menunjukkan luasnya ampunan Allah. Hal ini dikuatkan dengan hadits lainnya,
Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.”2
Kedua: Allah akan mengampuni setiap dosa meskipun dosa besar selama mau bertaubat
Selain faedah dari hadits ini, kita juga dapat melihat pada firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).
Ibnu Katsir mengatakan, ”Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagai buih di lautan. ”3
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah akan mengampuni setiap dosa walaupun itu dosa kekufuran, kesyirikan, dan dosa besar (seperti zina, membunuh dan minum minuman keras). Sebagaimana Ibnu Katsir mengatakan, ”Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah walaupun begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.”4
Ketiga: Janganlah membuat seseorang putus asa dari rahmat Allah
Ketika menjelaskan surat Az Zumar ayat 53 di atas, Ibnu Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang membuat seorang hamba berputus asa dari taubat setelah turunnya ayat ini, maka ia berarti telah menentang Kitabullah ‘azza wa jalla. Akan tetapi seorang hamba tidak mampu untuk bertaubat sampai Allah memberi taufik padanya untuk bertaubat.”5
Keempat: Seseorang yang melakukan dosa beberapa kali dan ia bertaubat, Allah pun akan mengampuninya
Sebagaimana disebutkan pula dalam hadits lainnya, dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diceritakan dari Rabbnya ‘azza wa jalla,
“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ [Ya Allah, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.”6 An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.
An Nawawi mengatakan, ”Seandainya seseorang berulang kali melakukan dosa hingga 100 kali, 1000 kali atau lebih, lalu ia bertaubat setiap kali berbuat dosa, maka pasti Allah akan menerima taubatnya setiap kali ia bertaubat, dosa-dosanya pun akan gugur. Seandainya ia bertaubat dengan sekali taubat saja setelah ia melakukan semua dosa tadi, taubatnya pun sah.”7
Ya Rabb, begitu luas sekali rahmat dan ampunan-Mu terhadap hamba yang hina ini …
Kelima: Diterimanya taubat seorang pembunuh
An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ini adalah madzhbab para ulama dan mereka pun berijma’ (bersepakat) bahwa taubat seorang yang membunuh dengan sengaja, itu sah. Para ulama tersebut tidak berselisih pendapat kecuali Ibnu ‘Abbas. Adapun beberapa perkataan yang dinukil dari sebagian salaf yang menyatakan taubatnya tidak diterima, itu hanyalah perkataan dalam maksud mewanti-wanti besarnya dosa membunuh dengan sengaja. Mereka tidak memaksudkan bahwa taubatnya tidak sah.”8
Keenam: Orang yang bertaubat hendaknya berhijrah dari lingkungan yang jelek
An Nawawi mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.”9
Ketujuh: Memperkuat taubat yaitu berteman dengan orang yang sholih
An Nawawi mengatakan, ”Hendaklah orang yang bertaubat mengganti temannya dengan teman-teman yang baik, sholih, berilmu, ahli ibadah, waro’dan orang-orang yang meneladani mereka-mereka tadi. Hendaklah ia mengambil manfaat ketika bersahabat dengan mereka.”10
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”11
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”12
Kedelapan: Keutamaan ilmu dan orang yang berilmu
Dalam hadits ini dapat kita ambil pelajaran pula bahwa orang yang berilmu memiliki keutamaan yang luar biasa dibanding ahli ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya, dari Abu Darda’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Dan keutamaan orang yang berilmu dibanding seorang ahli ibadah adalah bagaikan keutamaan bulan pada malam purnama dibanding bintang-bintang lainnya.”13
Al Qodhi mengatakan, ”Orang yang berilmu dimisalkan dengan bulan dan ahli ibadah dimisalkan dengan bintang karena kesempurnaan ibadah dan cahayanya tidaklah muncul dari ahli ibadah. Sedangkan cahaya orang yang berilmu berpengaruh pada yang lainnya.”14
Kesembilan: Orang yang berfatwa tanpa ilmu hanya membawa kerusakan
Lihatlah bagaimana kerusakan yang diperbuat oleh ahli ibadah yang berfatwa tanpa dasar ilmu. Ia membuat orang lain sesat bahkan kerugian menimpa dirinya sendiri. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
”Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan.”15
Syarat Diterimanya Taubat
Syarat taubat yang mesti dipenuhi oleh seseorang yang ingin bertaubat adalah sebagai berikut:
Pertama: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.
Kedua: Menyesali dosa yang telah dilakukan sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali.
Ketiga: Tidak terus menerus dalam berbuat dosa. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.
Keempat: Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut lagi karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat.
Kelima: Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.
Inilah syarat taubat yang biasa disebutkan oleh para ulama.
Penutup
Saudaraku yang sudah bergelimang maksiat dan dosa. Kenapa engkau berputus asa dari rahmat Allah? Lihatlah bagaimana ampunan Allah bagi setiap orang yang memohon ampunan pada-Nya. Orang yang sudah membunuh 99 nyawa + 1 pendeta yang ia bunuh, masih Allah terima taubatnya. Lantas mengapa engkau masih berputus asa dari rahmat Allah?!
Orang yang dulunya bergelimang maksiat pun setelah ia taubat, bisa saja ia menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Ia bisa menjadi muslim yang sholih dan muslimah yang sholihah. Itu suatu hal yang mungkin dan banyak sekali yang sudah membuktikannya. Mungkin engkau pernah mendengar nama Fudhail bin Iyadh. Dulunya beliau adalah seorang perampok. Namun setelah itu bertaubat dan menjadi ulama besar. Itu semua karena taufik Allah. Kami pun pernah mendengar ada seseorang yang dulunya terjerumus dalam maksiat dan pernah menzinai pacarnya. Namun setelah berhijrah dan bertaubat, ia pun menjadi seorang yang alim dan semakin paham agama. Semua itu karena taufik Allah. Dan kami yakin engkau pun pasti bisa lebih baik dari sebelumnya. Semoga Allah beri taufik.
Ingatlah bahwa orang yang berbuat dosa kemudia ia bertaubat dan Allah ampuni, ia seolah-olah tidak pernah berbuat dosa sama sekali. Dari Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdillah dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Orang yang bertaubat dari suatu dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.”16
Setiap hamba pernah berbuat salah, namun hamba yang terbaik adalah yang rajin bertaubat. Dari Anas, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semua keturunan Adam adalah orang yang pernah berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.”17
Orang yang bertaubat akan Allah ganti kesalahan yang pernah ia perbuat dengan kebaikan. Sehingga seakan-akan yang ada dalam catatan amalannya hanya kebaikan saja. Allah Ta’ala berfirman,
”Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon: 70)
Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Allah akan mengganti amalan kejelekan yang diperbuat seseorang dengan amalan sholih. Allah akan mengganti kesyirikan yang pernah ia perbuat dengan keikhlasan. Allah akan mengganti perbuatan maksiat dengan kebaikan. Dan Allah pun mengganti kekufurannya dahulu dengan keislaman.”18
Sekarang, segeralah bertaubat dan memenuhi syarat-syaratnya. Lalu perbanyaklah amalan kebaikan dengan melaksanakan yang wajib-wajib dan sempurnakan dengan shalat sunnah, puasa sunnah dan sedekah, karena amalan kebaikan niscaya akan menutupi dosa-dosa yang telah engkau perbuat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasehat berharga kepada Abu Dzar Al Ghifariy Jundub bin Junadah,
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.”19
Semoga Allah menerima setiap taubat kita. Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk menggapai ridho-Nya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
“Aku ingin bertaubat hanya saja dosaku terlalu banyak. Aku pernah terjerumus dalam zina. Sampai-sampai aku pun hamil dan sengaja membunuh jiwa dalam kandungan. Aku ingin berubah dan bertaubat. Mungkinkah Allah mengampuni dosa-dosaku?!”
Sebagai nasehat dan semoga tidak membuat kita berputus dari rahmat Allah, cobalah kita lihat sebuah kisah yang pernah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Semoga kita bisa mengambil pelajaran-pelajaran berharga di dalamnya.
Kisah Taubat Pembunuh 100 Jiwa
Kisah ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya. Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.” Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.”1
Beberapa Faedah Hadits
Pertama: Luasnya ampunan Allah
Hadits ini menunjukkan luasnya ampunan Allah. Hal ini dikuatkan dengan hadits lainnya,
Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.”2
Kedua: Allah akan mengampuni setiap dosa meskipun dosa besar selama mau bertaubat
Selain faedah dari hadits ini, kita juga dapat melihat pada firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).
Ibnu Katsir mengatakan, ”Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagai buih di lautan. ”3
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah akan mengampuni setiap dosa walaupun itu dosa kekufuran, kesyirikan, dan dosa besar (seperti zina, membunuh dan minum minuman keras). Sebagaimana Ibnu Katsir mengatakan, ”Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah walaupun begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.”4
Ketiga: Janganlah membuat seseorang putus asa dari rahmat Allah
Ketika menjelaskan surat Az Zumar ayat 53 di atas, Ibnu Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang membuat seorang hamba berputus asa dari taubat setelah turunnya ayat ini, maka ia berarti telah menentang Kitabullah ‘azza wa jalla. Akan tetapi seorang hamba tidak mampu untuk bertaubat sampai Allah memberi taufik padanya untuk bertaubat.”5
Keempat: Seseorang yang melakukan dosa beberapa kali dan ia bertaubat, Allah pun akan mengampuninya
Sebagaimana disebutkan pula dalam hadits lainnya, dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diceritakan dari Rabbnya ‘azza wa jalla,
“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ [Ya Allah, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.”6 An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.
An Nawawi mengatakan, ”Seandainya seseorang berulang kali melakukan dosa hingga 100 kali, 1000 kali atau lebih, lalu ia bertaubat setiap kali berbuat dosa, maka pasti Allah akan menerima taubatnya setiap kali ia bertaubat, dosa-dosanya pun akan gugur. Seandainya ia bertaubat dengan sekali taubat saja setelah ia melakukan semua dosa tadi, taubatnya pun sah.”7
Ya Rabb, begitu luas sekali rahmat dan ampunan-Mu terhadap hamba yang hina ini …
Kelima: Diterimanya taubat seorang pembunuh
An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ini adalah madzhbab para ulama dan mereka pun berijma’ (bersepakat) bahwa taubat seorang yang membunuh dengan sengaja, itu sah. Para ulama tersebut tidak berselisih pendapat kecuali Ibnu ‘Abbas. Adapun beberapa perkataan yang dinukil dari sebagian salaf yang menyatakan taubatnya tidak diterima, itu hanyalah perkataan dalam maksud mewanti-wanti besarnya dosa membunuh dengan sengaja. Mereka tidak memaksudkan bahwa taubatnya tidak sah.”8
Keenam: Orang yang bertaubat hendaknya berhijrah dari lingkungan yang jelek
An Nawawi mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.”9
Ketujuh: Memperkuat taubat yaitu berteman dengan orang yang sholih
An Nawawi mengatakan, ”Hendaklah orang yang bertaubat mengganti temannya dengan teman-teman yang baik, sholih, berilmu, ahli ibadah, waro’dan orang-orang yang meneladani mereka-mereka tadi. Hendaklah ia mengambil manfaat ketika bersahabat dengan mereka.”10
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”11
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”12
Kedelapan: Keutamaan ilmu dan orang yang berilmu
Dalam hadits ini dapat kita ambil pelajaran pula bahwa orang yang berilmu memiliki keutamaan yang luar biasa dibanding ahli ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya, dari Abu Darda’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Dan keutamaan orang yang berilmu dibanding seorang ahli ibadah adalah bagaikan keutamaan bulan pada malam purnama dibanding bintang-bintang lainnya.”13
Al Qodhi mengatakan, ”Orang yang berilmu dimisalkan dengan bulan dan ahli ibadah dimisalkan dengan bintang karena kesempurnaan ibadah dan cahayanya tidaklah muncul dari ahli ibadah. Sedangkan cahaya orang yang berilmu berpengaruh pada yang lainnya.”14
Kesembilan: Orang yang berfatwa tanpa ilmu hanya membawa kerusakan
Lihatlah bagaimana kerusakan yang diperbuat oleh ahli ibadah yang berfatwa tanpa dasar ilmu. Ia membuat orang lain sesat bahkan kerugian menimpa dirinya sendiri. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
”Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan.”15
Syarat Diterimanya Taubat
Syarat taubat yang mesti dipenuhi oleh seseorang yang ingin bertaubat adalah sebagai berikut:
Pertama: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.
Kedua: Menyesali dosa yang telah dilakukan sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali.
Ketiga: Tidak terus menerus dalam berbuat dosa. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.
Keempat: Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut lagi karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat.
Kelima: Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.
Inilah syarat taubat yang biasa disebutkan oleh para ulama.
Penutup
Saudaraku yang sudah bergelimang maksiat dan dosa. Kenapa engkau berputus asa dari rahmat Allah? Lihatlah bagaimana ampunan Allah bagi setiap orang yang memohon ampunan pada-Nya. Orang yang sudah membunuh 99 nyawa + 1 pendeta yang ia bunuh, masih Allah terima taubatnya. Lantas mengapa engkau masih berputus asa dari rahmat Allah?!
Orang yang dulunya bergelimang maksiat pun setelah ia taubat, bisa saja ia menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Ia bisa menjadi muslim yang sholih dan muslimah yang sholihah. Itu suatu hal yang mungkin dan banyak sekali yang sudah membuktikannya. Mungkin engkau pernah mendengar nama Fudhail bin Iyadh. Dulunya beliau adalah seorang perampok. Namun setelah itu bertaubat dan menjadi ulama besar. Itu semua karena taufik Allah. Kami pun pernah mendengar ada seseorang yang dulunya terjerumus dalam maksiat dan pernah menzinai pacarnya. Namun setelah berhijrah dan bertaubat, ia pun menjadi seorang yang alim dan semakin paham agama. Semua itu karena taufik Allah. Dan kami yakin engkau pun pasti bisa lebih baik dari sebelumnya. Semoga Allah beri taufik.
Ingatlah bahwa orang yang berbuat dosa kemudia ia bertaubat dan Allah ampuni, ia seolah-olah tidak pernah berbuat dosa sama sekali. Dari Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdillah dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Orang yang bertaubat dari suatu dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.”16
Setiap hamba pernah berbuat salah, namun hamba yang terbaik adalah yang rajin bertaubat. Dari Anas, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semua keturunan Adam adalah orang yang pernah berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.”17
Orang yang bertaubat akan Allah ganti kesalahan yang pernah ia perbuat dengan kebaikan. Sehingga seakan-akan yang ada dalam catatan amalannya hanya kebaikan saja. Allah Ta’ala berfirman,
”Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon: 70)
Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Allah akan mengganti amalan kejelekan yang diperbuat seseorang dengan amalan sholih. Allah akan mengganti kesyirikan yang pernah ia perbuat dengan keikhlasan. Allah akan mengganti perbuatan maksiat dengan kebaikan. Dan Allah pun mengganti kekufurannya dahulu dengan keislaman.”18
Sekarang, segeralah bertaubat dan memenuhi syarat-syaratnya. Lalu perbanyaklah amalan kebaikan dengan melaksanakan yang wajib-wajib dan sempurnakan dengan shalat sunnah, puasa sunnah dan sedekah, karena amalan kebaikan niscaya akan menutupi dosa-dosa yang telah engkau perbuat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasehat berharga kepada Abu Dzar Al Ghifariy Jundub bin Junadah,
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.”19
Semoga Allah menerima setiap taubat kita. Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk menggapai ridho-Nya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Kisah Tentang Kantong Uang Ajaib
Zaman dahulu kala, ada sepasang suami istri yang tinggal di gubuk kecil. Mereka sangat miskin sehingga setiap hari mereka harus memotong dua ikat kayu bakar dan memanggulnya di punggung mereka untuk dijual di pasar.
Suatu hari pasutri tersebut turun dari gunung dengan membawa kayu bakar. Mereka meletakkan satu ikat di halaman dan merencanakan untuk menjualnya di pasar agar uangnya dapat dibelikan beras. Sedangkan ikatan lainnya, mereka letakkan di dapur untuk digunakan sendiri.
Ketika mereka bangun keesokan harinya, ikatan yang mereka letakkan di halaman secara misterius hilang. Tidak ada yang dapat mereka lakukan, kecuali menjual ikatan yang seharusnya akan digunakan sendiri oleh mereka. Pada hari itu juga, mereka memotong dua ikat kayu bakar seperti biasanya. Mereka meletakkan satu ikat di halaman untuk dijual dan satu ikat lagi untuk digunakan sendiri. Tetapi keesokan harinya, ikatan kayu bakar itu kembali hilang. Kejadian seperti ini terulang terus menerus, dan suaminya mulai berpikir ada yang aneh dibalik peristiwa ini. Pada hari kelima, dia membuat lubang di dalam ikatan kayu bakar yang diletakkan di halaman tersebut dan menyembunyikan diri di dalamnya.
Dari luar, ikatan kayu bakar tersebut terlihat seperti biasanya.
Tengah malam, sebuah tali yang sangat besar turun dari langit, menempel pada ikatan kayu bakar tersebut dan kemudian terangkat ke atas langit, dengan sang suami yang masih berada dalam ikatan kayu bakar tersebut. Setibanya di surga, dia melihat seorang tua berambut putih, yang kelihatannya sangat baik, mendekati ikatan tersebut. Orang tua tersebut melepaskan ikatan kayu bakar tersebut dan menemukan pria tersebut di dalamnya, dan bertanya, ”Orang lain hanya memotong satu ikat kayu bakar setiap harinya. Mengapa kamu memotong dua ikat?” Sang suami memberi hormat dan berkata,”Kami tidak punya uang. Itulah alasannya mengapa isteri saya dan saya memotong dua ikat kayu bakar setiap harinya. Satu ikat untuk digunakan sendiri dan satu ikat lagi kami bawa ke pasar untuk dijual. Sehingga kami dapat membeli beras untuk memasak bubur.”
Orang tua tersebut tersenyum dan berkata kepada pemotong kayu tersebut dengan nada yang sangat ramah,” Saya telah tahu sejak lama bahwa kalian adalah pasangan yang baik hati dan selalu hidup hemat dan bekerja keras. Saya akan memberikan kepada kalian sebuah barang berharga. Bawalah barang ini dan dia akan memberikan apa pun yang kalian perlukan dalam hidup ini.”
Setelah orang tua tersebut selesai berbicara, datanglah tujuh peri, membawa pemotong kayu tersebut ke tempat yang sangat indah. Atap emas dan genteng yang berkilau, menyilaukan mata pada saat dia masuk kedalamnya, sehingga dia tak dapat membuka matanya.
Di dalam istana tersebut terdapat banyak barang terpajang yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Kantong uang dalam berbagai bentuk dan ukuran digantung di satu ruangan. Peri tersebut bertanya kepadanya,”Mana yang anda sukai? Pilihlah apapun yang anda sukai dan bawalah pulang ke rumah.”
Pemotong kayu tersebut sangat senang. ”Saya ingin kantong uang tersebut, kantong yang penuh dengan barang berharga. Berikan pada saya kantong yang bulat dan penuh tersebut.” Dia memilih yang terbesar dan membawanya.
Seketika, orang tua berambut putih tersebut masuk dan dengan ekspersi aneh di wajahnya berkata kepada pemotong kayu tersebut, ”Kamu tidak boleh mengambil yang satu itu. Saya akan memberikan kantong yang kosong kepada kamu. Setiap hari anda dapat mengambil satu tael perak dan tidak boleh lebih.” Pemotong kayu tersebut dengan enggan menyetujui. Dia mengambil kantong uang yang kosong tersebut, dengan bergantung pada tali tersebut, dia kemudian turun ke bumi.
Setibanya di rumah, dia memberikan kantong uang tersebut kepada isterinya dan menceritakan keseluruhan kejadian tersebut. Isterinya sangat germbira. Setiap hari, mereka pergi untuk memotong kayu seperti biasanya. Tetapi ketika mereka kembali ke rumah, mereka akan mengunci pintu dan membuka kantong uang tersebut, yang secara cepat sebongkah perak akan bergemerincing keluar.
Sebongkah perak tersebut benar-benar pas satu tael. Setiap hari satu tael perak dan tidak lebih, akan keluar dari kantong tersebut. Isterinya kemudian menyimpannya setiap hari, satu tael demi satu tael. Waktu berlalu. Suatu hari suaminya berkata,”Mari kita beli lembu.” Isterinya tidak setuju. Beberapa hari kemudian, suaminya berkata kembali, ”Bagaimana jika kita beli lahan beberapa hektar?” Isterinya juga tidak setuju. Beberapa hari berlalu, dan isterinya kemudian mengajukan usul, “Mari kita beli pondok jerami yang kecil.” Suaminya sudah sangat ingin memakai uang yang telah mereka tabung dan berkata, ”Karena kita telah memiliki banyak uang, mengapa kita tidak bangun saja rumah bata yang besar?” Isterinya tidak dapat menghalangi suaminya dan secara enggan menyetujui ide tersebut.
Suaminya kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli batu bata, ubin dan kayu dan menyewa tukang kayu dan tukang bangunan. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi pergi ke gunung untuk memotong kayu bakar lagi.
Kemudian tibalah hari, dimana simpanan uang perak mereka hampir kering, tetapi rumah baru tersebut belum juga selesai. Telah lama dalam pikiran suaminya untuk meminta kantong uang tersebut menghasilkan uang perak yang lebih banyak.
Dengan tanpa sepengetahuan isterinya, dia membuka kantong tersebut untuk kedua kalinya dalam hari tersebut. Dan secara cepat, sebongkah perak kedua bergemerincing keluar. Dia membuka kantong tersebut untuk ketiga kalinya, dan mendapatkan uang perak ketiganya dalam hari tersebut.
Dia kemudian berpikir, ”Jika terus menerus seperti ini, rumah ini akan selesai dengan cepat!” Dia telah melupakan peringatan orang tua berambut putih tersebut. Tetapi ketika dia membuka kantong uangnya untuk yang keempat kalinya, kantong tersebut kosong! Tidak ada perak atau apapun yang keluar.
Kantong tersebut telah menjadi sebuah kantong tua. Ketika dia berbalik untuk melihat rumah batanya yang belum selesai, rumah tersebut juga telah hilang. Yang tertinggal hanyalah gubuk tua. Pemotong kayu tersebut merasa sangat sedih.
Isterinya datang dan menghiburnya, ”Kita tidak dapat bergantung pada kantong uang ajaib. Mari kita kembali ke gunung dan memotong kayu bakar. Ini cara terbaik untuk menghidupi diri kita.” Sejak saat itu, pasutri tersebut kembali ke gunung untuk memotong kayu bakar dan hidup dan bekerja seperti dahulu kala.
Tahu Belum Tentu Mengerti
K. Ang Hidayah Asy-Syafi'ie
Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan ”tertidur.’ ‘ Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan ”tertidur.’ ‘
Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.
Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar!
Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah ”rahmat terselubung’ ‘ karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Anda baru sadar nikmatnya bekerja.
kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.
Kematian mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata, ”Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!” Anda protes, bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya berkata tegas, ”Pertunjukan sudah selesai, listriknya
tidak akan pernah hidup kembali.”
Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati.
Hidup ini seringkali menipu dan me nina bobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.
Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin, ”Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalam an spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalam an manusiawi.” Manusia bukanlah ”makhluk bumi” melainkan ”makhluk langit.” Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan ”rumah” untuk mencari ”rumah” yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak
pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.
Coba Anda resapi paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya. Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut, itu sudah cukup! Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulka n kekayaan — apalagi dengan menyalahgunakan jabatan — kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi.
Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah:
Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan ”tertidur.’ ‘ Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan ”tertidur.’ ‘
Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.
Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar!
Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah ”rahmat terselubung’ ‘ karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Anda baru sadar nikmatnya bekerja.
kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.
Kematian mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata, ”Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!” Anda protes, bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya berkata tegas, ”Pertunjukan sudah selesai, listriknya
tidak akan pernah hidup kembali.”
Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati.
Hidup ini seringkali menipu dan me nina bobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.
Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin, ”Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalam an spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalam an manusiawi.” Manusia bukanlah ”makhluk bumi” melainkan ”makhluk langit.” Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan ”rumah” untuk mencari ”rumah” yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak
pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.
Coba Anda resapi paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya. Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut, itu sudah cukup! Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulka n kekayaan — apalagi dengan menyalahgunakan jabatan — kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi.
Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah:
Belajarlah MENDENGARKAN. Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.
Nasehat Kehidupan
K. ang Hidayah Asy-Syafi'i
Pertama, orang yang banyak bicara tanpa manfaat, jangan terlalu banyak berharap bisa memperoleh hati yang terjaga dan jiwa yang bersih. Biasanya orang yang banyak bicara adalah orang yang sedikit akalnya.
Kedua, orang yang banyak makan, jangan banyak berharap akan memperoleh ilmu dan hikmah. Perut yang kekenyangan akan menyebabkan kemalasan dan pikiran menjadi tumpul.
Ketiga, orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk duduk-duduk dengan manusia lain, jangan banyak berharap akan memperoleh manisnya rasa beribadah kepada Allah. Ia hanya bisa menggunjing dan membicarakan kekurangan orang lain, sementara kekurangannya sendiri ditutup-tutupi.
Keempat, orang yang terlalu cinta kepada dunia, jangan banyak berharap akan bisa memperoleh kematian yang tenang pada akhir hayatnya. Ia lebih memikirkan dunianya dari pada akhiratnya.
Kelima, orang yang jahil dalam ilmu pengetahuan, jangan banyak berharap akan memperoleh hati yang senantiasa terjaga. Ia berbuat sesuatu didasari kebodohan dan nafsu belaka.
Keenam, orang yang memilih bersahabat dengan orang dzalim, jangan banyak berharap bisa memperoleh istiqamah dan keteguhan hati serta kemantapan dalam menjalankan kewajiban agamanya. Ia tidak punya pendirian dan selalu terpengaruh oleh mereka.
Ketujuh, orang yang mencari keridhaan manusia, jangan banyak berharap akan bisa memperoleh keridhaan Allah. Ia rendahkan diri di hadapan sesama manusia, sementara kepada Allah ia congkak dan tidak patuh.
Pertama, orang yang banyak bicara tanpa manfaat, jangan terlalu banyak berharap bisa memperoleh hati yang terjaga dan jiwa yang bersih. Biasanya orang yang banyak bicara adalah orang yang sedikit akalnya.
Kedua, orang yang banyak makan, jangan banyak berharap akan memperoleh ilmu dan hikmah. Perut yang kekenyangan akan menyebabkan kemalasan dan pikiran menjadi tumpul.
Ketiga, orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk duduk-duduk dengan manusia lain, jangan banyak berharap akan memperoleh manisnya rasa beribadah kepada Allah. Ia hanya bisa menggunjing dan membicarakan kekurangan orang lain, sementara kekurangannya sendiri ditutup-tutupi.
Keempat, orang yang terlalu cinta kepada dunia, jangan banyak berharap akan bisa memperoleh kematian yang tenang pada akhir hayatnya. Ia lebih memikirkan dunianya dari pada akhiratnya.
Kelima, orang yang jahil dalam ilmu pengetahuan, jangan banyak berharap akan memperoleh hati yang senantiasa terjaga. Ia berbuat sesuatu didasari kebodohan dan nafsu belaka.
Keenam, orang yang memilih bersahabat dengan orang dzalim, jangan banyak berharap bisa memperoleh istiqamah dan keteguhan hati serta kemantapan dalam menjalankan kewajiban agamanya. Ia tidak punya pendirian dan selalu terpengaruh oleh mereka.
Ketujuh, orang yang mencari keridhaan manusia, jangan banyak berharap akan bisa memperoleh keridhaan Allah. Ia rendahkan diri di hadapan sesama manusia, sementara kepada Allah ia congkak dan tidak patuh.
MANGKUK TAK BERALAS
Seorang raja bersama pengiringnya keluar dari istananya untuk menikmati udara pagi. Di keramaian, ia berpapasan dengan seorang pengemis. Sang raja menyapa pengemis ini : Apa yang engkau inginkan dariku?
Si pengemis itu tersenyum dan berkata : Tuanku bertanya, seakan-akan tuanku dapat memenuhi permintaan hamba.
Sang raja terkejut, ia merasa tertantang : Tentu saja aku dapat memenuhi permintaanmu. Apa yang engkau minta, katakanlah! Maka menjawablah sang pengemis : Berpikirlah dua kali, wahai tuanku, sebelum tuanku menjanjikan apa-apa.
Rupanya sang pengemis bukanlah sembarang pengemis. Namun raja tidak merasakan hal itu. Timbul rasa angkuh dan tak senang pada diri raja, karena mendapat nasihat dari seorang pengemis. Sudah aku katakan, aku dapat memenuhi permintaanmu. Apapun juga! Aku adalah raja yang paling berkuasa dan kaya raya.
Dengan penuh kepolosan dan kesederhanaan si pengemis itu mengangsurkan mangkuk penadah sedekah : Tuanku dapat mengisi penuh mangkuk ini dengan apa yang tuanku inginkan. Bukan main! Raja menjadi geram mendengar ‘tantangan’ pengemis dihadapannya.
Segera ia memerintahkan bendahara kerajaan yang ikut dengannya untuk mengisi penuh mangkuk pengemis kurang ajar ini dengan emas! Kemudian bendahara menuangkan emas dari pundi-pundi besar yang di bawanya ke dalam mangkuk sedekah sang pengemis. Anehnya, emas dalam pundi-pundi besar itu tidak dapat mengisi penuh mangkuk sedekah. Tak mau kehilangan muka di hadapan rakyatnya, sang raja terus memerintahkan bendahara mengisi mangkuk itu. Tetapi mangkuk itu tetap kosong. Bahkan seluruh perbendaharaan kerajaan : emas, intan berlian, ratna mutumanikam telah habis dilahap mangkuk sedekah itu. Mangkuk itu seolah tanpa dasar, berlubang.
Dengan perasaan tak menentu, sang raja jatuh bersimpuh di kaki si pengemis bukan pengemis biasa, terbata-bata ia bertanya : Sebelum berlalu dari tempat ini, dapatkah tuan menjelaskan terbuat dari apakah mangkuk sedekah ini? Pengemis itu menjawab sambil tersenyum : Mangkuk itu terbuat dari keinginan manusia yang tanpa batas.
Itulah yang mendorong manusia senantiasa bergelut dalam hidupnya. Ada kegembiraan, gairah memuncak di hati, pengalaman yang mengasyikkan kala engkau menginginkan sesuatu. Ketika akhirnya engkau telah mendapatkan keinginan itu, semua yang telah kau dapatkan itu, seolah tidak ada lagi artinya bagimu. Semuanya hilang ibarat emas intan berlian yang masuk dalam mabgkuk yang tak beralas itu. Kegembiraan, gairah, dan pengalaman yang mengasyikkan itu hanya tatkala dalam proses untuk mendapatkan keinginan. Begitu saja seterusnya, selalu kemudian datang keinginan baru.
Orang tidak pernah merasa puas. Ia selalu merasa kekurangan. Anak cucumu kelak mengatakan : powet tends to corrupt; kekuasaan cenderung untuk berlaku tamak.
Raja itu bertanya lagi :
Adakah cara untuk menutup alas mangkuk itu? Tentu ada, yaitu rasa syukur kepada Allah SWT. Jika engkau pandai bersyukur, Allah akan menambah nikmat padamu. Ucap sang pengemis itu, sambil ia berjalan kemudian menghilang dari mata khalayak.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Se-sungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14] : 7).
Orang Bijak dengan Sekantung Garam
Alkisah di suatu tempat terdapatlah seorang yang dikenal karena kebijaksanaannya dalam menyelesaikan suatu persoalan, banyak orang-orang dating kepada beliau untuk meminta nasehat dan mendengarkan petuah-petuah bijak darinya. Suatu ketika datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung suatu masalah dan dating kepada orang bijak tersebut, dia mengungkapkan semua rasa gundah gulananya dalam menghadapi kehidupan ini. Setelah mendengar semua permasalahan yang sedang dihadapi pemuda tersebut orang bijak tersebut mengangguk-angguk dan tanpa berkata apa-apa dia mengambil sekantung garam dari dalam sakunya. Dia taburkan garam tersebut ke sebuah gelas yang berisi air tawar setelah itu diadukknya air tersebut sehingga tercampurlah kedua zat tersebut.
Begitu selesai dicampur diberikannya air garam tersebut ke pemuda itu,
“Anakku, minumlah air ini.” Perintah si orang bijak.
Dengan patuh si pemuda tersebut meminumnya
“Bagaimana rasanya anakku?” Tanya si orang bijak.
“rasanya pahit sekali wahai orang bijak”. Jawab si pemuda
Lalu si orang bijak tersebut mengambil gelas yang dibawa si pemuda dan mengajak si pemuda untuk beranjak dari tempat mereka semula, mereka berjalan menuju sebuah telaga yang berair sangat jernih. Si orang bijak lalu menaburkan sekantung garam lagi ke telaga tersebut, mengambil sebuah kayu dan mengaduk tempat dia menaburkan sekantung garam itu. Lalu dia mengambil gelas yang dibawanya mengisinya dengan air telaga itu dan memberikannya lepada pemuda itu untuk diminumnya. Setelah itu bertanyalah si orang bijak
“Bagaimana rasanya anakku?”
“Segar wahai orang bijak”. Jawab si pemuda.
“Anakku, pahitnya kehidupan adalah seperti pahitnya sekantung garam, tidak kurang dan tidak lebih. Yang menyebabkan rasa pahitnya berbeda adalah tergantung dari dimana tempat kita meletakkannya, bila kita letakkan di hati yang sesempit gelas maka rasanya akan pahit sekali tetapi bila kita letakkan di hati yang seluas telaga ini maka rasanya akan tetap segar.”
Si Pemuda mendengar dengan penuh hikmat, lalu si orang bijak itu melanjutkan.
“Jadi, bila kau merasakan pahitnya kehidupan dan kegagalan dalam hidupmu, hanya satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu untuk menerimanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan. Perasaanmu laksana wadah, kalbumu adalah tempat menampung segalanya, jadi jangan buat hatimu laksana gelas, buatlah laksana telaga yang mampu menampung setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran serta kebahagiaan.”
Terbukalah pemikiran si pemuda tersebut dan mereka pun beranjak dari telaga tersebut, sekantung garam tetap berada di saku si orang bijak untuk meredakan keresahan jiwa orang-orang lain yang dating kepadanya. Alhamdulillah
Ambil...! Atau Bersiaplah Kehilangan
K. Ang Hidayah Asy-Syafi'i
Dalam sebuah kelas pelatihan, saya mengambil selembar kertas polos kemudian menggunting-guntingnya menjadi beberapa bagian. Ada guntingan besar ada juga yang kecil. Tapi jumlahnya sengaja saya buat tak sama dengan jumlah peserta dalam kelas itu, dua puluh orang. Kemudian saya meminta kepada peserta untuk mengambil masing-masing satu guntingan kertas yang tersedia di meja depan. “Silahkan ambil satu!” demikian instruksi yang saya berikan.
Dapat diduga, ada yang antusias maju dengan gerak cepat dan mengambil bagiannya, ada yang berjalansantai, ada juga yang meminta bantuan temannya untuk mengambilkan. Dua tiga orang bahkan terlihatbermalasan untuk mengambil, mereka berpikir toh semuanya kebagian guntingan kertas tersebut. Hasilnya? Empat orang terakhir tak mendapatkan guntingan kertas. Delapan orang pertama ke depanmendapatkan guntingan besar-besar, yang berjalan santai dan yang meminta diambilkan harus relamendapatkan yang kecil.
Lalu saya katakana kepada mereka, “inilah hidup. Anda ambil kesempatan yang tersedia atau Anda akan kehilangan kesempatan itu. Anda tak melakukannya, akan banyak orang lain yang melakukannya”.Pagi ini di kereta saya mendapati seorang wanita hamil yang berdiri agak jauh. Saya sempat berpikir bahwa orang yang paling dekat lah yang `wajib’ memberinya tempat duduk. Tapi sedetik kemudian saya bangun dan segera memanggil ibu itu untuk duduk. Ini perbuatan baik, jika saya tak mengambil kesempatan ini orang lainlah yang melakukannya. Dan belum tentu esok hari saya masih memiliki kesempatan seperti ini.
Soal rezeki misalnya, saya percaya ia tak pernah datang sendiri menghampiri orang-orang yang lelaptertidur meski matahari sudah terik. “Bangun pagi, rezekinya dipatok ayam tuh!” Orang tua dulu sering berucap seperti itu. Dan entah kenapa hingga detik ini saya tak pernah bisa menyanggah ucapan orangtua perihal rezeki itu. Saya percaya bahwa orang-orang yang lebih cepat berupaya meraihnya lah yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Sementara mereka yang bersantai-santai atau bahkan bermalas-malasan, terdapat kemungkinan kehabisan rezeki.
Contoh kecil, datanglah terlambat dari jam kantor Anda yang semestinya. Perusahaan tidak hanya akan mengurangi gaji Anda akibat keterlambatan Anda, bahkan kinerja Anda dianggap minus dan itu mempengaruhi penilaian perusahaan terhadap Anda. Bisa jadi Anda tidak mendapatkan promosi tahun ini, sementara rekan Anda yang tak pernah terlambat lebih berpeluang. Saya sering mendengar teman saya berkomentar negatif tentang apa yang dikerjakan orang lain, “Ah, kalau cuma tulisan begini sih saya juga bisa melakukannya” atau “Saya bisa melakukan yang lebih baik dari orang itu”. Kepadanya saya katakan, saya yakin Anda bisa melakukannya. Masalahnya, sejak tadi saya hanya melihat Anda terus berbicara dan tak melakukan apa pun.
Sementara orang-orang di luar sana langsung berbuat tanpa perlu banyak bicara. Buktikan, jika Andasanggup! Terus berbicara dan mengomentari hasil kerja orang lain tidak akan membuat Anda diakuikeberadaannya. Hanya orang-orang yang berbuatlah yang diakui keberadaannya. Kepada peserta di kelas pelatihan tersebut saya jelaskan, simulasi tadi juga berlaku untuk urusan ibadah. Saya tidak berhak mengatakan bahwa orang yang lebih tepat waktu akan mendapatkan pahala lebih besar, karena itu hak Allah dan juga tergantung dengan kualitas ibadahnya itu sendiri.
Tapi bukankah setiap orang tua akan lebih menyukai anaknya yang tanggap dan cepat menghampiri ketika dipanggil ketimbang anak lainnya yang menunda-nunda? Jika demikian, buatlah Allah suka kepada Anda. Karena suka mungkin saja awal dari cinta. Semoga.
Begitu memasuki mobil mewahnya, seorang direktur bertanya pada sopir pribadinya, “Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?” Si sopir menjawab, “Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai.”Merasa penasaran dengan jawaban tersebut, direktur ini bertanya lagi, “Bagaimana kamu bisa begitu yakin?”. Supirnya menjawab, “Begini, pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai, karena itu saya selalu menyukai apapun yang saya dapatkan”.
Jawaban singkat tadi merupakan wujud perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.
Ada dua hal yang sering membuat kita tak bersyukur. Pertama, kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Katakanlah Anda sudah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang baik. Tapi Anda masih merasa kurang. Pikiran Anda dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila takmendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita miliki kita tak pernah menjadi “kaya” dalam arti yang sesungguhnya.
Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang “kaya”. Orang yang “kaya” bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki. Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaantak tenteram. Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup. Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, danorang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan.
Seorang pengarang pernah mengatakan, “Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi.” Ini perwujudan rasa syukur. Ada cerita menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria karena masih bisa mempergunakan tangannya. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai mengucap syukur.
Hal kedua yang sering membuat kita tak bersyukur adalah adanya kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita. Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri.
Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi.
Dalam sebuah kelas pelatihan, saya mengambil selembar kertas polos kemudian menggunting-guntingnya menjadi beberapa bagian. Ada guntingan besar ada juga yang kecil. Tapi jumlahnya sengaja saya buat tak sama dengan jumlah peserta dalam kelas itu, dua puluh orang. Kemudian saya meminta kepada peserta untuk mengambil masing-masing satu guntingan kertas yang tersedia di meja depan. “Silahkan ambil satu!” demikian instruksi yang saya berikan.
Dapat diduga, ada yang antusias maju dengan gerak cepat dan mengambil bagiannya, ada yang berjalansantai, ada juga yang meminta bantuan temannya untuk mengambilkan. Dua tiga orang bahkan terlihatbermalasan untuk mengambil, mereka berpikir toh semuanya kebagian guntingan kertas tersebut. Hasilnya? Empat orang terakhir tak mendapatkan guntingan kertas. Delapan orang pertama ke depanmendapatkan guntingan besar-besar, yang berjalan santai dan yang meminta diambilkan harus relamendapatkan yang kecil.
Lalu saya katakana kepada mereka, “inilah hidup. Anda ambil kesempatan yang tersedia atau Anda akan kehilangan kesempatan itu. Anda tak melakukannya, akan banyak orang lain yang melakukannya”.Pagi ini di kereta saya mendapati seorang wanita hamil yang berdiri agak jauh. Saya sempat berpikir bahwa orang yang paling dekat lah yang `wajib’ memberinya tempat duduk. Tapi sedetik kemudian saya bangun dan segera memanggil ibu itu untuk duduk. Ini perbuatan baik, jika saya tak mengambil kesempatan ini orang lainlah yang melakukannya. Dan belum tentu esok hari saya masih memiliki kesempatan seperti ini.
Soal rezeki misalnya, saya percaya ia tak pernah datang sendiri menghampiri orang-orang yang lelaptertidur meski matahari sudah terik. “Bangun pagi, rezekinya dipatok ayam tuh!” Orang tua dulu sering berucap seperti itu. Dan entah kenapa hingga detik ini saya tak pernah bisa menyanggah ucapan orangtua perihal rezeki itu. Saya percaya bahwa orang-orang yang lebih cepat berupaya meraihnya lah yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Sementara mereka yang bersantai-santai atau bahkan bermalas-malasan, terdapat kemungkinan kehabisan rezeki.
Contoh kecil, datanglah terlambat dari jam kantor Anda yang semestinya. Perusahaan tidak hanya akan mengurangi gaji Anda akibat keterlambatan Anda, bahkan kinerja Anda dianggap minus dan itu mempengaruhi penilaian perusahaan terhadap Anda. Bisa jadi Anda tidak mendapatkan promosi tahun ini, sementara rekan Anda yang tak pernah terlambat lebih berpeluang. Saya sering mendengar teman saya berkomentar negatif tentang apa yang dikerjakan orang lain, “Ah, kalau cuma tulisan begini sih saya juga bisa melakukannya” atau “Saya bisa melakukan yang lebih baik dari orang itu”. Kepadanya saya katakan, saya yakin Anda bisa melakukannya. Masalahnya, sejak tadi saya hanya melihat Anda terus berbicara dan tak melakukan apa pun.
Sementara orang-orang di luar sana langsung berbuat tanpa perlu banyak bicara. Buktikan, jika Andasanggup! Terus berbicara dan mengomentari hasil kerja orang lain tidak akan membuat Anda diakuikeberadaannya. Hanya orang-orang yang berbuatlah yang diakui keberadaannya. Kepada peserta di kelas pelatihan tersebut saya jelaskan, simulasi tadi juga berlaku untuk urusan ibadah. Saya tidak berhak mengatakan bahwa orang yang lebih tepat waktu akan mendapatkan pahala lebih besar, karena itu hak Allah dan juga tergantung dengan kualitas ibadahnya itu sendiri.
Tapi bukankah setiap orang tua akan lebih menyukai anaknya yang tanggap dan cepat menghampiri ketika dipanggil ketimbang anak lainnya yang menunda-nunda? Jika demikian, buatlah Allah suka kepada Anda. Karena suka mungkin saja awal dari cinta. Semoga.
Begitu memasuki mobil mewahnya, seorang direktur bertanya pada sopir pribadinya, “Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?” Si sopir menjawab, “Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai.”Merasa penasaran dengan jawaban tersebut, direktur ini bertanya lagi, “Bagaimana kamu bisa begitu yakin?”. Supirnya menjawab, “Begini, pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai, karena itu saya selalu menyukai apapun yang saya dapatkan”.
Jawaban singkat tadi merupakan wujud perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.
Ada dua hal yang sering membuat kita tak bersyukur. Pertama, kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Katakanlah Anda sudah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang baik. Tapi Anda masih merasa kurang. Pikiran Anda dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila takmendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita miliki kita tak pernah menjadi “kaya” dalam arti yang sesungguhnya.
Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang “kaya”. Orang yang “kaya” bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki. Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaantak tenteram. Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup. Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, danorang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan.
Seorang pengarang pernah mengatakan, “Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi.” Ini perwujudan rasa syukur. Ada cerita menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria karena masih bisa mempergunakan tangannya. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai mengucap syukur.
Hal kedua yang sering membuat kita tak bersyukur adalah adanya kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita. Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri.
Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi.
Menjaga Stamina Iman
Seseorang ahli sukan menjaga stamina untuk memastikan dapat bertahan dan cergas sehingga ke akhir sesuatu perlawanan. Untuk menjaga stamina ahli sukan akan banyak berlatih dan menghabiskan masa di gimnasium, berenang, berbasikal, berjogging dan sebagainya.
Begitu juga di dalam kehidupan kita yang sementara ini, pastikanlah akhir hidup kita dalam keadaan beriman dengan sebenar-benarnya kepada Allah. Bagaimanakah cara untuk memastikan iman kita sentiasa kuat, segar dan berstamina?
Sudah menjadi lumrah kehidupan, diuji dengan pelbagai permasalahan hidup yang menekan jiwa dan perasaan. Kesenangan yang sering melekakan kita. Hiburan yang melalaikan. Godaan wanita, sentiasa sibuk dengan mengejar harta benda, pangkat dan kuasa. Hawa nafsu yang selalu memujuk ke arah kejahatan. Nafsu yang suka untuk menangguh-nangguhkan kerja, bersenang-senang, bermalas-malas, merasa aman dan berseronok-seronok. Semua ini menyebabkan iman kita menjadi lemah dan ‘letih’.
Justeru itu, kita perlu memastikan stamina iman kita berterusan sehingga ke akhir hayat kita. Antara beberapa cara untuk menjaga stamina iman seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah adalah seperti berikut:-
Hendaklah sentiasa bermunajat (memohon doa kepada Allah dengan suara yang perlahan ketika bersendirian). Berdoa dengan penuh harapan dan mengingati Allah dalam setiap ketika samada senang atau susah, ketika bersendirian atau dikhalayak ramai.
Sentiasa membaca dan merenung isi kandungan Al Quran. Ia akan membuatkan hati ini kembali menjadi baik. Amalkan membaca dan meneliti terjemahan Al Quran agar hati tidak menjadi keras.
Lakukan solat fardhu secara berjemaah. Allah telah menjamin orang yang menjaga solat fardhu berjemaah tidak akan dihina dan direndahkan.
Melaksanakan ibadah sunat rawatib (solat sunat sebelum atau sesudah solat fardhu). Setiap kali kita sujud kepada Allah, setiap itu juga Allah akan mengangkat darjat kita.
Bergaul dan mencintai orang-orang soleh.
Sabda Rasulullah:
“Seseorang itu sesuai dengan agama temannya, maka hendaknya salah seorang di antaramu memperhatikan siapa yang dia berkawan?.” (HR. Ahmad)
“Hendaknya kamu jangan bergaul kecuali dengan orang yang beriman dan hendaknya orang yang memakan makananmu itu hanyalah orang yang bertaqwa.” (HR. At Tirmidzi).
6. Muraqabatullah (merasakan pengawasan Allah). Kita mengetahui bahawa Allah sentiasa bersama kita. Allah berfirman yang bermaksud:
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahsiakan); dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Surah Al Mulk ayat 14)
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Surah Al Mujadilah ayat 7)
Begitu juga di dalam kehidupan kita yang sementara ini, pastikanlah akhir hidup kita dalam keadaan beriman dengan sebenar-benarnya kepada Allah. Bagaimanakah cara untuk memastikan iman kita sentiasa kuat, segar dan berstamina?
Sudah menjadi lumrah kehidupan, diuji dengan pelbagai permasalahan hidup yang menekan jiwa dan perasaan. Kesenangan yang sering melekakan kita. Hiburan yang melalaikan. Godaan wanita, sentiasa sibuk dengan mengejar harta benda, pangkat dan kuasa. Hawa nafsu yang selalu memujuk ke arah kejahatan. Nafsu yang suka untuk menangguh-nangguhkan kerja, bersenang-senang, bermalas-malas, merasa aman dan berseronok-seronok. Semua ini menyebabkan iman kita menjadi lemah dan ‘letih’.
Justeru itu, kita perlu memastikan stamina iman kita berterusan sehingga ke akhir hayat kita. Antara beberapa cara untuk menjaga stamina iman seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah adalah seperti berikut:-
Hendaklah sentiasa bermunajat (memohon doa kepada Allah dengan suara yang perlahan ketika bersendirian). Berdoa dengan penuh harapan dan mengingati Allah dalam setiap ketika samada senang atau susah, ketika bersendirian atau dikhalayak ramai.
Sentiasa membaca dan merenung isi kandungan Al Quran. Ia akan membuatkan hati ini kembali menjadi baik. Amalkan membaca dan meneliti terjemahan Al Quran agar hati tidak menjadi keras.
Lakukan solat fardhu secara berjemaah. Allah telah menjamin orang yang menjaga solat fardhu berjemaah tidak akan dihina dan direndahkan.
Melaksanakan ibadah sunat rawatib (solat sunat sebelum atau sesudah solat fardhu). Setiap kali kita sujud kepada Allah, setiap itu juga Allah akan mengangkat darjat kita.
Bergaul dan mencintai orang-orang soleh.
Sabda Rasulullah:
“Seseorang itu sesuai dengan agama temannya, maka hendaknya salah seorang di antaramu memperhatikan siapa yang dia berkawan?.” (HR. Ahmad)
“Hendaknya kamu jangan bergaul kecuali dengan orang yang beriman dan hendaknya orang yang memakan makananmu itu hanyalah orang yang bertaqwa.” (HR. At Tirmidzi).
6. Muraqabatullah (merasakan pengawasan Allah). Kita mengetahui bahawa Allah sentiasa bersama kita. Allah berfirman yang bermaksud:
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahsiakan); dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Surah Al Mulk ayat 14)
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Surah Al Mujadilah ayat 7)
Ingin Hidup Lebih Bermakna
K. Ang Hidayah Asy-Syafi'ie
1. Beribadah dengan benar.
Jika hidup tanpa ibadah yang benar ibarat hidup tanpa pondasi, bangunan tanpa pondasi akan roboh Dengan beribadah dengan benar Insya Allah akan membuat kita semakin tawadhu dan kokoh kepada Allah
2. Berakhlak Baik.
Ibadah bagus siang malam, tapi selesai sholat mulut kotor, tidak jujur, apalah artinya ibadah, kalau tidak dibarengi akhlak baik.
3. Belajar tiada henti.
Akhlak sudah baik, ibadah bagus tapi itu tidak cukup karena masalah akan bertambah, potensi konflik bertambah,kebutuhan semua bertambah, bagaimana mungkin menyikapi segala yang makin ruwet dengan ilmu yang tidak bertambah Ciri sukses adalah orang-orang yang cinta ilmu dengan belajar.
4. Bekerja keras dengan cerdas dan ikhlas.
Yang harus standar ada pada diri kita adalah bekerja optimal dengan pemikiran yang cerdas karena ada yang kerja keras tetapi akal tidak digunakan akibatnya cuma jadi pekerja keras saja
5. Bersahaja dalam hidup.
Ada orang yang bekerja keras tetapi sia-sia, karena ditipu oleh keborosan, bermegah-megah, diperdaya, dikutuk oleh orang lain dan menjadi kedengkian. Kenapa? Karena tidak bersahaja, padahal akibat gemar bersahaja maka kemampuan keuangan kita lebih tinggi diatas kebutuhan sehingga bisa menyimpan uang, bersadaqoh, dan berinvestasi, budaya masyarakat kita diharapkan bukan budaya punya barang, tapi budaya berinvestasi akibatnya selalu punya nilai tambah.
6. Bantu sesama
Alat ukur sukses kita setelah bersahaja adalah punya kelebihan untuk memajukan sanak saudara anak paman, tetangga kiri, tetangga kanan, depan belakang, anak pembantu. Kesuksesan kita mulai diukur dengan kemampuan membantu orang lain, membuat lapangan kerja sebanyak mungkin, kita harus terus berbuat dengan kerja keras membantu banyak orang, sehingga orang lain lebih maju lagi dengan mepunyai tata nilai yang sama, ibadah yang bagus, akhlak yang bagus, terus berusaha untuk belajar menambah ilmu dan bekerja keras.
Dengan saling tolong-menolong Insya Allah akan terjadi sinergi, agar bergeraknya bangsa ini seimbang tidak hanya satu dua orang, karena alat ukur kesuksesannya sama, pola sama, kita mengharapkan kebangkitan ,kalau ada mahasiswa yang pintar lihat juga tetangganya terbawa pintar atau tidak? kalau ada dosen brilian jangan lihat dosennya tapi lihatlah keluarganya, lihat tetangganya, lihat sanak saudaranya, kalau hanya dia sendiri yang maju belum begitu sukses, kalau ada pengusaha kaya brilian punya perusahaan raksasa, lihat kiri kanannya, lihat kesejahteraan kawannya. Kalau dia yang sukses sendirian berarti belum sukses. Alat ukur sukses bukan dengan melejit sendiri, tapi bagaimana kita mengangkat dan membantu yang lain.
7. Bersihkan hati selalu.
Mengapa? Allah tidak menerima amal, kecuali ikhlas, jangan merasa ujub ,dengan tidak merasa berjasa,dengan tidak merasa paling bisa,dengan tidak merasa paling mulia, tetapi semuanya karena Allah, Alhamdullilah. Semua ini adalah karunia Allah kita harus merasa beruntung karena dijadikan jalan; jalan rezeki bagi tetangga, jalan ilmu bagi mahasiswa, jalan kesuksesan bagi semuanya, Allah-lah Yang Memberi. Inilah orang yang akan sukses, karena dia tidak menjadi sombong, apalah artinya kita mendapatkan banyak hal kalau kita tidak mendapat ridlo dari Allah karena kesombongan kita. Dengan beribadah dengan benar, membuat kita semakin tawadhu , kokoh mengabdi kepada Allah, hati tentram, kehidupan akan seimbang.
Tenang dalam Setiap Sikap
Saudaraku yang baik, ketenangan menjadi sesuatu yang dibutuhkan setiap orang. Terutama ketika sedang menghadapi masalah atau saat hendak mengambil keputusan. Orang yang tenang tidak pernah galau, panik tergesa-gesa, tidak emosional, tidak overacting. Orang tenang akan bisa menerima informasi lebih banyak, hingga dia bisa lebih memahami. Sedangkan orang yang emosional pendek kemampuan memahaminya, akibatnya kalau merespon akan tidak bagus karena keterbatasan pemahamannya.
Ketenangan pun akan membawa kewibawaan, atau karisma tersendiri bagi pemiliknya. Ia akan disegani oleh teman dan lingkungannya. Sebaliknya, orang yang overacting tidak akan memiliki kharisma. Terutama, kepada para calon pemimpin dalam skala apapun, ia harus berlatih mengendalikan diri, tetap tenang dalam kondisi bagaimanapun sulitnya. Dan, tenang bukan berarti lamban. Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling tenang, tetapi berjalannya sangat gesit. Karena ketenangan tidak ada kaitannya dengan waktu, melainkan dengan pengendalian diri, artinya dia tetap gesit, tangkas tidak ada gurau berlebih, atau berteriak-teriak. Pribadi yang kalem senyum berukir jernih, tidak pula banyak bicara kalau memang tidak perlu bicara. Akibatnya, orang yang tenang mendapat ilmu yang lebih banyak, mendapatkan kemampuan memilih keputusan lebih baik.
Namun, ketenangan harus diupayakan agar tidak berujung menjadi sombong. Cirinya adalah ketika ia tidak peduli kepada orang lain. Dia diam tapi tidak mau mendengarkan. Malah mungkin asyik melakukan kegiatan yang lain (saat orang lain berbicara padanya). Atau, ada orang yang diam karena dia tengah memikirkan bantahan kepada orang lain, bukannya mengemas manfaat dari pembicaraan yang didengarnya.
Sehingga, tenangya kita responsif, tidak justru pelit. Reponsif seseorang memang bisa dipengaruhi oleh banyaknya keinginan, demografi (asal tempat menetapnya), lingkungan, tekanan kesulitan. Namun itu bisa diubah kalau memang ingin berubah. Nabi Muhammad SAW sendiri tertawa bila orang lain tengah melucu. Demikian pula bagi seorang pemimpin, keputusan terbaik adalah ketika ia memang memiliki akses informasi lengkap. Makin lengkap informasi makin akurat keputusannya. Dan informasi itu sendiri tidak boleh diambil hanya dari satu pihak. Kita harus belajar dari kedua belah pihak, baru mengambil keputusan. Dan yang harus kita sadari adalah tidak ada keputusan tanpa resiko, semua keputusan ada resikonya. Kita hanya perlu menghitung resiko yang paling minimal.
Sebaik-baiknya Manusia
Sungguh beruntung bagi siapapun yang dikaruniai ALLOH kepekaan untuk mengamalkan aneka pernik peluang kebaikan yang diperlihatkan ALLOH kepadanya. Beruntung pula orang yang dititipi ALLOH aneka potensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula kesanggupan memanfaatkannya untuk sebanyak-banyaknya umat manusia.
Karena ternyata derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauhmana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda,
“Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (H.R. Bukhari).
Seakan hadis ini mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauhmana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauhmana nilai manfaat diri ini? Kalau menurut Emha Ainun Nadjib, harusnya tanyakan pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makhruh, atau malah manusia haram?
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau adanya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang ‘manusia wajib’, diantaranya dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara.
Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau ia berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasihsayang.
Sama sekali bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena ALLOH, membenci karena ALLOH, dan marahnya pun karena ALLOH SWT, subhanallah demikian indah hidupnya.
Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang.
Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga kalbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh manfaat dan kalau tidak ada, siapapun akan merasa kehilangan. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula.
Kalau orang yang sunah, keberadaannya bermanfaat, tapi kalaupun tidak ada tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya, kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga kalbu siapapun.
Sedangkan orang yang mubah ada dan tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa manfaat, dan tidak juga membawa mudharat.
Adapun orang yang makruh, keberadaannya justru membawa mudharat dan kalau dia tidak ada tidak berpengaruh. Artinya, kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi seketika klakson dibunyikan tanda bahwa ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.
Seorang anak yang makruh, kalau pulang sekolah justru masalah pada bermunculan, dan kalau tidak pulang suasana malah menjadi aman tentram. Ibu yang makruh diharapkan anak-anaknya untuk segera pergi arisan daripada ada di rumah. Sedangkan karyawan yang makruh, kehadirannya di tempat kerja hanya melakukan hal yang sia-sia daripada bersungguh-sungguh menunaikan tugas kerja.
Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jikasaja dia pergi ngantor, justru perlengkapan kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.
Masya ALLOH, tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau malah hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makhruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?
Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya manfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah atau seorang gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya nih, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja?
Nampaknya, saat bercermin seyogyanya tidak hanya memperhatikan wajah saja, tapi pandanglah akhlak dan perbuatan yang telah kita lakukan. Sayangnya, jarang orang berani jujur dengan tidak membohongi diri, seringnya malah merasa pinter padahal bodoh, merasa kaya padahal miskin, merasa terhormat padahal hina. Padahal untuk berakhlak baik kepada manusia, awalnya dengan berlaku jujur kepada diri sendiri.
Kalaupun mendapati orang tua kita berakhlak buruk. Sadarilah bahwa darah dagingnya melekat pada diri kita, karenanya kita harus berada di barisan paling depan untuk membelanya demi keselamatan dunia dan akhiratnya. Bagi orang tua yang belum Islam, kewajiban seorang anaklah yang bertanggung jawab mengikhtiarkannya jalan hidayah. Apabila orang tua berlumur dosa dan belum mau melakukan shalat, maka seorang anaklah yang berada pada barisan pertama membantu orang tua kita menjadi seorang ahli ibadah dan ahli taubat.
Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya hutang budi pada orang tua kita. Keburukan yang ada pada mereka, jangan menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, “kenapa saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?” misalnya. Atau adapula anak yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orang tuanya. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan. Lebih baik kita tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, insya ALLOH itulah rizki kita.
Begitu pula terhadap lingkungan, kita harus punya akhlak tersendiri. Seperti pada binatang, kalau tidak perlu tidak usah kita menyakitinya. Ada riwayat seorang ibu ahli ibadah, tapi ALLOH malah mencapnya sebagai ahli neraka. Mengapa? Ternyata karena si ibu ahli ibadah ini pernah mengurung kucing dalam sebuah tempat, sehingga si kucing tidak mendapatkan jalan keluar untuk mencari makan, padahal oleh si ibu tidak pula diberi makan, sampai akhirnya kucing itu mati. Karenanya, walau si ibu ini ahli ibadah, tapi ALLOH melaknatnya karena akhlak pada makhluknya jelek.
Kadang aneh kita ini, ketika duduk di taman nan hijau, entah sadar atau tidak kita cabuti rumput atau daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal rumput, daun, dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semuanya sedang bertasbih kepada-Nya. Yang paling baik adalah jangan sampai ada makhluk apapun di lingkungan kita yang tersakiti. Termasuk ketika menyiram atau memetik bunga, tanaman, atau tumbuhan lainnya, hendaklah dengan hati-hati, karena tanaman juga mengerti apa yang dilakukan kita kepadanya. Dikisahkan ketika Nabi SAW pindah mimbar, yang asalnya menyandar pada sebuah pohon kurma, maka pohon kurma itu diriwayatkan sangat sedih dan menangis, karena ia telah ditinggalkan sebagai alat bantu Rasulullah SAW dalam menyampaikan ilmu kepada para sahabatnya.
Kejadian lain adalah ketika seorang hamba yang shalih dihampiri seekor singa yang mengaum-ngaum seakan hendak menerkamnya. Tentu saja semua orang yang melihat kejadian ini berlari ketakutan. Anehnya, hamba yang shalih ini sama sekali tidak kelihatan merasa takut, kenapa? Karena dia yakin bahwa singa juga makhluk dalam genggaman ALLOH dan sama-sama sedang bertasbih kepada-Nya. Seraya mengajak berbicara layaknya pada makhluk yang bisa diajak bicara, “Mau apa kesini? Kalau tidak ada kewajiban dari ALLOH dan hanya untuk mengganggu masyarakat, alangkah baiknya engkau pergi”, maka pergilah singa itu, subhanallah. Demikianlah, orang yang takutnya hanya kepada ALLOH, makhluk pun tunduk kepadanya.
Seperti halnya ketika ada ular di halaman rumah, maka bagi orang yang akhlaknya baik dan dia merasa tidak terganggu, sama sekali dia tidak akan membunuhnya, malah ditolongnya si ular ini untuk bisa kembali ke habitatnya, itu yang lebih baik. Kalaupun dirasa mengganggu sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dibunuh, maka ia akan membunuhnya dengan cara terbaik, dan tidak lupa disebutnya asma ALLOH. Jadilah proses membunuh ular ini sebagai ladang amal.
Betapa indah pribadi yang penuh pancaran manfaat, ia bagai cahaya matahari yang menyinari kegelapan, menjadikannya tumbuh benih-benih, bermekarannya tunas-tunas, merekahnya bunga-bunga di taman, hingga menggerakkan berputarnya roda kehidupan. Demikianlah, cahaya pribadi kita hendaknya mampu menyemangati siapapun, bukan hanya diri kita, tetapi juga orang lain dalam berbuat kebaikan dengan full limpahan energi karunia ALLOH Azza wa Jalla, Zat yang Maha Melimpah energi-Nya, subhanallah. Ingatlah, hidup hanya sekali dan sebentar saja, sudah sepantasnya kita senantiasa memaksimalkan nilai manfaat diri ini, yakni menjadi seperti yang disabdakan Nabi SAW, sebagai khairunnas. Sebaik-baik manusia! Insya ALLOH. ***
Pantang Menjadi Beban
Semoga Allah memberi kemampuan kepada kita untuk membaca potensi yang telah Allah berikan. Menggali dan mengembangkan diri kita dengan baik sehingga hidup yang sekali-kalinya ini tidak menjadi beban bagi orang lain, bahkan hidup terhormat karena bisa meringankan beban orang lain.Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaatnya. Benar, dalam hidup ini kita pasti membutuhkan orang lain. Itu pasti! Tetapi menikmati hidup dengan membebani orang lain adalah hidup yang tidak mulia. Kita sepakat, para peminta cenderung lebih rendah daripada para dermawan. Orang yang mau meminjam cenderung lebih rendah dibanding dengan orang yang memberi pinjaman. Orang yang berharap pertolongan kepada manusia lebih rendah posisinya dibanding dengan orang yang memiliki kemampuan menolong banyak orang.
Saudaraku, menjadi manusia yang mandiri adalah manusia yang akan memiliki harga diri. Mandiri membuat kita lebih tentram diri. Bangsa mandiri adalah bangsa yang akan punya harga diri. Dalam Alquran ditegaskan, Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu gigih mengubah nasibnya sendiri. Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang mengancam, memboikot, menghalangi kita. Kita diberi kemampuan oleh Allah untuk mengubah nasib kita. Berarti, kemampuan kita untuk mandiri dalam mengarungi hidup ini, merupakan kunci yang diberikan oleh Allah untuk sukses dunia dan Insya Allah akhirat kelak.
Keuntungan mandiri, kita akan punya wibawa sendiri. Sehebat-hebat peminta-minta pasti tidak akan berwibawa. Lihat saja, misalkan, seorang aparat yang berpenampilan gagah tapi gemar melakukan pungutan yang tidak semestinya, pasti akan jatuh wibawanya. Oleh karena itu, kalau kita ingin menjadi negeri yang memiliki harga diri kita harus menjadi negeri mandiri. Keuntungan lainnya, seperti yang dikemukakan tadi, kita makin percaya diri dalam menghadapi hidup ini. Orang-orang yang terlatih menghadapi masalah sendiri akan berbeda semangatnya dalam mengarungi hidup ini dibanding dengan orang yang selalu bersandar kepada orang lain.
Kalau negara kita bersandar kepada lembaga-lembaga lain, maka kita harus mau mendengar mereka. Kita menjadi “tidak bebas”. Ini bahaya! Dan kalau kita bersandar kepada selain Allah, kita akan takut sandarannya hilang. Maka orang-orang yang mandiri cenderung lebih tenang dan lebih tentram dalam menghadapi hidup ini. Selain dia siap mengarungi, dia juga memiliki mental yang mantap. Ingat, mandiri itu adalah sikap mental.
Banyaknya kasus korupsi di negara kita, sebenarnya mencerminkan bahwa mental miskin juga mental yang sangat tidak mandiri masih ada. Maunya bergantung kepada fasilitas, bergantung kepada kekuasaan, dan sebagainya. Lantas, apakah langkah yang harus ditempuh untuk menjadi pribadi mandiri?
Mandiri itu awalnya memang dari mental seseorang. Jadi seseorang harus memiliki tekad yang kuat untuk mandiri. “Saya harus menjadi manusia terhormat dan tidak boleh jadi benalu!” Oleh karena itu, kita harus punya keberanian. Berani mencoba dan berani memikul risiko. Orang yang bermental mandiri tidak akan menganggap kesulitan sebagai hambatan, melainkan sebagai tantangan dan peluang.
1. Beribadah dengan benar.
Jika hidup tanpa ibadah yang benar ibarat hidup tanpa pondasi, bangunan tanpa pondasi akan roboh Dengan beribadah dengan benar Insya Allah akan membuat kita semakin tawadhu dan kokoh kepada Allah
2. Berakhlak Baik.
Ibadah bagus siang malam, tapi selesai sholat mulut kotor, tidak jujur, apalah artinya ibadah, kalau tidak dibarengi akhlak baik.
3. Belajar tiada henti.
Akhlak sudah baik, ibadah bagus tapi itu tidak cukup karena masalah akan bertambah, potensi konflik bertambah,kebutuhan semua bertambah, bagaimana mungkin menyikapi segala yang makin ruwet dengan ilmu yang tidak bertambah Ciri sukses adalah orang-orang yang cinta ilmu dengan belajar.
4. Bekerja keras dengan cerdas dan ikhlas.
Yang harus standar ada pada diri kita adalah bekerja optimal dengan pemikiran yang cerdas karena ada yang kerja keras tetapi akal tidak digunakan akibatnya cuma jadi pekerja keras saja
5. Bersahaja dalam hidup.
Ada orang yang bekerja keras tetapi sia-sia, karena ditipu oleh keborosan, bermegah-megah, diperdaya, dikutuk oleh orang lain dan menjadi kedengkian. Kenapa? Karena tidak bersahaja, padahal akibat gemar bersahaja maka kemampuan keuangan kita lebih tinggi diatas kebutuhan sehingga bisa menyimpan uang, bersadaqoh, dan berinvestasi, budaya masyarakat kita diharapkan bukan budaya punya barang, tapi budaya berinvestasi akibatnya selalu punya nilai tambah.
6. Bantu sesama
Alat ukur sukses kita setelah bersahaja adalah punya kelebihan untuk memajukan sanak saudara anak paman, tetangga kiri, tetangga kanan, depan belakang, anak pembantu. Kesuksesan kita mulai diukur dengan kemampuan membantu orang lain, membuat lapangan kerja sebanyak mungkin, kita harus terus berbuat dengan kerja keras membantu banyak orang, sehingga orang lain lebih maju lagi dengan mepunyai tata nilai yang sama, ibadah yang bagus, akhlak yang bagus, terus berusaha untuk belajar menambah ilmu dan bekerja keras.
Dengan saling tolong-menolong Insya Allah akan terjadi sinergi, agar bergeraknya bangsa ini seimbang tidak hanya satu dua orang, karena alat ukur kesuksesannya sama, pola sama, kita mengharapkan kebangkitan ,kalau ada mahasiswa yang pintar lihat juga tetangganya terbawa pintar atau tidak? kalau ada dosen brilian jangan lihat dosennya tapi lihatlah keluarganya, lihat tetangganya, lihat sanak saudaranya, kalau hanya dia sendiri yang maju belum begitu sukses, kalau ada pengusaha kaya brilian punya perusahaan raksasa, lihat kiri kanannya, lihat kesejahteraan kawannya. Kalau dia yang sukses sendirian berarti belum sukses. Alat ukur sukses bukan dengan melejit sendiri, tapi bagaimana kita mengangkat dan membantu yang lain.
7. Bersihkan hati selalu.
Mengapa? Allah tidak menerima amal, kecuali ikhlas, jangan merasa ujub ,dengan tidak merasa berjasa,dengan tidak merasa paling bisa,dengan tidak merasa paling mulia, tetapi semuanya karena Allah, Alhamdullilah. Semua ini adalah karunia Allah kita harus merasa beruntung karena dijadikan jalan; jalan rezeki bagi tetangga, jalan ilmu bagi mahasiswa, jalan kesuksesan bagi semuanya, Allah-lah Yang Memberi. Inilah orang yang akan sukses, karena dia tidak menjadi sombong, apalah artinya kita mendapatkan banyak hal kalau kita tidak mendapat ridlo dari Allah karena kesombongan kita. Dengan beribadah dengan benar, membuat kita semakin tawadhu , kokoh mengabdi kepada Allah, hati tentram, kehidupan akan seimbang.
Tenang dalam Setiap Sikap
Saudaraku yang baik, ketenangan menjadi sesuatu yang dibutuhkan setiap orang. Terutama ketika sedang menghadapi masalah atau saat hendak mengambil keputusan. Orang yang tenang tidak pernah galau, panik tergesa-gesa, tidak emosional, tidak overacting. Orang tenang akan bisa menerima informasi lebih banyak, hingga dia bisa lebih memahami. Sedangkan orang yang emosional pendek kemampuan memahaminya, akibatnya kalau merespon akan tidak bagus karena keterbatasan pemahamannya.
Ketenangan pun akan membawa kewibawaan, atau karisma tersendiri bagi pemiliknya. Ia akan disegani oleh teman dan lingkungannya. Sebaliknya, orang yang overacting tidak akan memiliki kharisma. Terutama, kepada para calon pemimpin dalam skala apapun, ia harus berlatih mengendalikan diri, tetap tenang dalam kondisi bagaimanapun sulitnya. Dan, tenang bukan berarti lamban. Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling tenang, tetapi berjalannya sangat gesit. Karena ketenangan tidak ada kaitannya dengan waktu, melainkan dengan pengendalian diri, artinya dia tetap gesit, tangkas tidak ada gurau berlebih, atau berteriak-teriak. Pribadi yang kalem senyum berukir jernih, tidak pula banyak bicara kalau memang tidak perlu bicara. Akibatnya, orang yang tenang mendapat ilmu yang lebih banyak, mendapatkan kemampuan memilih keputusan lebih baik.
Namun, ketenangan harus diupayakan agar tidak berujung menjadi sombong. Cirinya adalah ketika ia tidak peduli kepada orang lain. Dia diam tapi tidak mau mendengarkan. Malah mungkin asyik melakukan kegiatan yang lain (saat orang lain berbicara padanya). Atau, ada orang yang diam karena dia tengah memikirkan bantahan kepada orang lain, bukannya mengemas manfaat dari pembicaraan yang didengarnya.
Sehingga, tenangya kita responsif, tidak justru pelit. Reponsif seseorang memang bisa dipengaruhi oleh banyaknya keinginan, demografi (asal tempat menetapnya), lingkungan, tekanan kesulitan. Namun itu bisa diubah kalau memang ingin berubah. Nabi Muhammad SAW sendiri tertawa bila orang lain tengah melucu. Demikian pula bagi seorang pemimpin, keputusan terbaik adalah ketika ia memang memiliki akses informasi lengkap. Makin lengkap informasi makin akurat keputusannya. Dan informasi itu sendiri tidak boleh diambil hanya dari satu pihak. Kita harus belajar dari kedua belah pihak, baru mengambil keputusan. Dan yang harus kita sadari adalah tidak ada keputusan tanpa resiko, semua keputusan ada resikonya. Kita hanya perlu menghitung resiko yang paling minimal.
Sebaik-baiknya Manusia
Sungguh beruntung bagi siapapun yang dikaruniai ALLOH kepekaan untuk mengamalkan aneka pernik peluang kebaikan yang diperlihatkan ALLOH kepadanya. Beruntung pula orang yang dititipi ALLOH aneka potensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula kesanggupan memanfaatkannya untuk sebanyak-banyaknya umat manusia.
Karena ternyata derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauhmana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda,
“Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (H.R. Bukhari).
Seakan hadis ini mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauhmana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauhmana nilai manfaat diri ini? Kalau menurut Emha Ainun Nadjib, harusnya tanyakan pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makhruh, atau malah manusia haram?
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau adanya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang ‘manusia wajib’, diantaranya dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara.
Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau ia berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasihsayang.
Sama sekali bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena ALLOH, membenci karena ALLOH, dan marahnya pun karena ALLOH SWT, subhanallah demikian indah hidupnya.
Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang.
Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga kalbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh manfaat dan kalau tidak ada, siapapun akan merasa kehilangan. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula.
Kalau orang yang sunah, keberadaannya bermanfaat, tapi kalaupun tidak ada tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya, kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga kalbu siapapun.
Sedangkan orang yang mubah ada dan tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa manfaat, dan tidak juga membawa mudharat.
Adapun orang yang makruh, keberadaannya justru membawa mudharat dan kalau dia tidak ada tidak berpengaruh. Artinya, kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi seketika klakson dibunyikan tanda bahwa ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.
Seorang anak yang makruh, kalau pulang sekolah justru masalah pada bermunculan, dan kalau tidak pulang suasana malah menjadi aman tentram. Ibu yang makruh diharapkan anak-anaknya untuk segera pergi arisan daripada ada di rumah. Sedangkan karyawan yang makruh, kehadirannya di tempat kerja hanya melakukan hal yang sia-sia daripada bersungguh-sungguh menunaikan tugas kerja.
Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jikasaja dia pergi ngantor, justru perlengkapan kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.
Masya ALLOH, tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau malah hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makhruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?
Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya manfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah atau seorang gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya nih, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja?
Nampaknya, saat bercermin seyogyanya tidak hanya memperhatikan wajah saja, tapi pandanglah akhlak dan perbuatan yang telah kita lakukan. Sayangnya, jarang orang berani jujur dengan tidak membohongi diri, seringnya malah merasa pinter padahal bodoh, merasa kaya padahal miskin, merasa terhormat padahal hina. Padahal untuk berakhlak baik kepada manusia, awalnya dengan berlaku jujur kepada diri sendiri.
Kalaupun mendapati orang tua kita berakhlak buruk. Sadarilah bahwa darah dagingnya melekat pada diri kita, karenanya kita harus berada di barisan paling depan untuk membelanya demi keselamatan dunia dan akhiratnya. Bagi orang tua yang belum Islam, kewajiban seorang anaklah yang bertanggung jawab mengikhtiarkannya jalan hidayah. Apabila orang tua berlumur dosa dan belum mau melakukan shalat, maka seorang anaklah yang berada pada barisan pertama membantu orang tua kita menjadi seorang ahli ibadah dan ahli taubat.
Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya hutang budi pada orang tua kita. Keburukan yang ada pada mereka, jangan menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, “kenapa saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?” misalnya. Atau adapula anak yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orang tuanya. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan. Lebih baik kita tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, insya ALLOH itulah rizki kita.
Begitu pula terhadap lingkungan, kita harus punya akhlak tersendiri. Seperti pada binatang, kalau tidak perlu tidak usah kita menyakitinya. Ada riwayat seorang ibu ahli ibadah, tapi ALLOH malah mencapnya sebagai ahli neraka. Mengapa? Ternyata karena si ibu ahli ibadah ini pernah mengurung kucing dalam sebuah tempat, sehingga si kucing tidak mendapatkan jalan keluar untuk mencari makan, padahal oleh si ibu tidak pula diberi makan, sampai akhirnya kucing itu mati. Karenanya, walau si ibu ini ahli ibadah, tapi ALLOH melaknatnya karena akhlak pada makhluknya jelek.
Kadang aneh kita ini, ketika duduk di taman nan hijau, entah sadar atau tidak kita cabuti rumput atau daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal rumput, daun, dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semuanya sedang bertasbih kepada-Nya. Yang paling baik adalah jangan sampai ada makhluk apapun di lingkungan kita yang tersakiti. Termasuk ketika menyiram atau memetik bunga, tanaman, atau tumbuhan lainnya, hendaklah dengan hati-hati, karena tanaman juga mengerti apa yang dilakukan kita kepadanya. Dikisahkan ketika Nabi SAW pindah mimbar, yang asalnya menyandar pada sebuah pohon kurma, maka pohon kurma itu diriwayatkan sangat sedih dan menangis, karena ia telah ditinggalkan sebagai alat bantu Rasulullah SAW dalam menyampaikan ilmu kepada para sahabatnya.
Kejadian lain adalah ketika seorang hamba yang shalih dihampiri seekor singa yang mengaum-ngaum seakan hendak menerkamnya. Tentu saja semua orang yang melihat kejadian ini berlari ketakutan. Anehnya, hamba yang shalih ini sama sekali tidak kelihatan merasa takut, kenapa? Karena dia yakin bahwa singa juga makhluk dalam genggaman ALLOH dan sama-sama sedang bertasbih kepada-Nya. Seraya mengajak berbicara layaknya pada makhluk yang bisa diajak bicara, “Mau apa kesini? Kalau tidak ada kewajiban dari ALLOH dan hanya untuk mengganggu masyarakat, alangkah baiknya engkau pergi”, maka pergilah singa itu, subhanallah. Demikianlah, orang yang takutnya hanya kepada ALLOH, makhluk pun tunduk kepadanya.
Seperti halnya ketika ada ular di halaman rumah, maka bagi orang yang akhlaknya baik dan dia merasa tidak terganggu, sama sekali dia tidak akan membunuhnya, malah ditolongnya si ular ini untuk bisa kembali ke habitatnya, itu yang lebih baik. Kalaupun dirasa mengganggu sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dibunuh, maka ia akan membunuhnya dengan cara terbaik, dan tidak lupa disebutnya asma ALLOH. Jadilah proses membunuh ular ini sebagai ladang amal.
Betapa indah pribadi yang penuh pancaran manfaat, ia bagai cahaya matahari yang menyinari kegelapan, menjadikannya tumbuh benih-benih, bermekarannya tunas-tunas, merekahnya bunga-bunga di taman, hingga menggerakkan berputarnya roda kehidupan. Demikianlah, cahaya pribadi kita hendaknya mampu menyemangati siapapun, bukan hanya diri kita, tetapi juga orang lain dalam berbuat kebaikan dengan full limpahan energi karunia ALLOH Azza wa Jalla, Zat yang Maha Melimpah energi-Nya, subhanallah. Ingatlah, hidup hanya sekali dan sebentar saja, sudah sepantasnya kita senantiasa memaksimalkan nilai manfaat diri ini, yakni menjadi seperti yang disabdakan Nabi SAW, sebagai khairunnas. Sebaik-baik manusia! Insya ALLOH. ***
Pantang Menjadi Beban
Semoga Allah memberi kemampuan kepada kita untuk membaca potensi yang telah Allah berikan. Menggali dan mengembangkan diri kita dengan baik sehingga hidup yang sekali-kalinya ini tidak menjadi beban bagi orang lain, bahkan hidup terhormat karena bisa meringankan beban orang lain.Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaatnya. Benar, dalam hidup ini kita pasti membutuhkan orang lain. Itu pasti! Tetapi menikmati hidup dengan membebani orang lain adalah hidup yang tidak mulia. Kita sepakat, para peminta cenderung lebih rendah daripada para dermawan. Orang yang mau meminjam cenderung lebih rendah dibanding dengan orang yang memberi pinjaman. Orang yang berharap pertolongan kepada manusia lebih rendah posisinya dibanding dengan orang yang memiliki kemampuan menolong banyak orang.
Saudaraku, menjadi manusia yang mandiri adalah manusia yang akan memiliki harga diri. Mandiri membuat kita lebih tentram diri. Bangsa mandiri adalah bangsa yang akan punya harga diri. Dalam Alquran ditegaskan, Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu gigih mengubah nasibnya sendiri. Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang mengancam, memboikot, menghalangi kita. Kita diberi kemampuan oleh Allah untuk mengubah nasib kita. Berarti, kemampuan kita untuk mandiri dalam mengarungi hidup ini, merupakan kunci yang diberikan oleh Allah untuk sukses dunia dan Insya Allah akhirat kelak.
Keuntungan mandiri, kita akan punya wibawa sendiri. Sehebat-hebat peminta-minta pasti tidak akan berwibawa. Lihat saja, misalkan, seorang aparat yang berpenampilan gagah tapi gemar melakukan pungutan yang tidak semestinya, pasti akan jatuh wibawanya. Oleh karena itu, kalau kita ingin menjadi negeri yang memiliki harga diri kita harus menjadi negeri mandiri. Keuntungan lainnya, seperti yang dikemukakan tadi, kita makin percaya diri dalam menghadapi hidup ini. Orang-orang yang terlatih menghadapi masalah sendiri akan berbeda semangatnya dalam mengarungi hidup ini dibanding dengan orang yang selalu bersandar kepada orang lain.
Kalau negara kita bersandar kepada lembaga-lembaga lain, maka kita harus mau mendengar mereka. Kita menjadi “tidak bebas”. Ini bahaya! Dan kalau kita bersandar kepada selain Allah, kita akan takut sandarannya hilang. Maka orang-orang yang mandiri cenderung lebih tenang dan lebih tentram dalam menghadapi hidup ini. Selain dia siap mengarungi, dia juga memiliki mental yang mantap. Ingat, mandiri itu adalah sikap mental.
Banyaknya kasus korupsi di negara kita, sebenarnya mencerminkan bahwa mental miskin juga mental yang sangat tidak mandiri masih ada. Maunya bergantung kepada fasilitas, bergantung kepada kekuasaan, dan sebagainya. Lantas, apakah langkah yang harus ditempuh untuk menjadi pribadi mandiri?
Mandiri itu awalnya memang dari mental seseorang. Jadi seseorang harus memiliki tekad yang kuat untuk mandiri. “Saya harus menjadi manusia terhormat dan tidak boleh jadi benalu!” Oleh karena itu, kita harus punya keberanian. Berani mencoba dan berani memikul risiko. Orang yang bermental mandiri tidak akan menganggap kesulitan sebagai hambatan, melainkan sebagai tantangan dan peluang.
Langganan:
Postingan (Atom)
KHUTBAH JUM'AH
NASAB HABIB BA ALAWI SEPERTI MALAM LIKURAN
Para habaib sering mengungkapkan narasi bahwa, nasab para habib Ba Alawi sudah terang benderang bagaikan matahari di sianghari. Jika di sian...
-
UMUR NU BAROKAH مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًامِنْ اَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ "Saha jalma anu ka-ayaan dina poe ieu leuwih alus tiba...
-
Bismillahirohmanirahim 🍁 🌻 Imam Syafi’i adalah adalah seorang ulama besar yang banyak melakukan dialog dan pandai dalam berdebat. S...
-
Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli dan Tajalli Tasawuf adalah salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang...