“Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.”
(Q.S. Ar-Ra’du 13 : 8)
Ayat-ayat Allah ada yang tertulis dalam kitab suci Al Quran dan ada pula yang tidak tertulis di dalamnya, yaitu yang terbentang di seluruh jagat raya. Ayat 8 dari surat ke-13 di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan kadar ukuran yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, tidak ada ayat Allah, baik yang tertulis maupun yang terbentang itu ada atau terjadi begitu saja, tanpa disengaja. Semuanya sudah direncanakan, diperhitungkan, dan diatur oleh-Nya, bukan merupakan sesuatu yang kebetulan.
Apabila disengaja, tentu ada maksud dan tujuannya. Maksud dan tujuan Allah membuat itu semua ada yang bisa langsung dipahami oleh manusia namun ada juga yang memerlukan penafsiran. Saat manusia melakukan penafsiran, bisa jadi makna sebenarnya dari ayat-ayat Allah itu tersingkap, tetapi mungkin juga penafsiran itu tidak atau belum mencapai makna sebenarnya. Namun yang pasti, manusia memang diperintahkan untuk terus menelaah dan mengkaji ayat-ayat Allah.
Demikian juga dengan ayat-ayat Allah yang berupa angka dan bilangan, baik yang terdapat di dalam Al Quran ataupun yang ada di alam semesta ini. Planet yang beredar mengelilingi matahari berjumlah 9, satu tahun terdiri atas 12 bulan, satu minggu ada 7 hari. Umat Islam diperintahkan shalat wajib sehari semalam 5 kali, apabila berjamaah pahalanya 27 derajat. Seusai shalat, kita disuruh berdikir masing-masing 33 kali.
Tentu ada makna di balik angka-angka tersebut.
Pertanyaannya, bisakah manusia menafsirkannya?
Bagaimana hukumnya?
Angka-Angka Bermakna
Fenomena 165
Di dalam Flying Book yang ditulis oleh KH. Fahmi Basya, bilangan 165 ditafsirkan memiliki arti yang khusus. Angka 1 berarti Tuhan, tertuang dalam konsep Ihsan. 6 berarti Rukun Iman dan 5 merupakan Rukun Islam. Angka 165 itu ternyata juga muncul ketika kita melaksanakan zikir di setiap ba’da shalat fardhu. Nabi memerintahkan kita untuk berzikir dengan mengucap Subhanallaah sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allaahu Akbar juga 33 kali. Dalam hadis sahih riwayat Muslim dari Abu Hurairah juga dari Qutaibah, Rasul bersabda, “Sukakah kamu kuajarkan suatu amal yang dapat memperoleh pahala orang-orang dahulu serta mendahului orang-orang sesudah kamu dan tidak akan ada orang yang lebih mulia dari kamu melainkan orang yang mengamalkan seperti amalmu, sabda Rosul: Hendaklah kamu tasbih, takbir dan tahmid masing-masing 33 kali setiap selesai shalat.”
Apabila setiap selesai shalat masing-masing ucapan zikir itu dilafalkan sebanyak 33 kali, maka dalam sehari semalam atau lima kali shalat fardhu maka kita mengucapkan zikir-zikir itu masing-masing sebanyak 33 x 5 = 165. Jadi, ditafsirkan bahwa zikir-zikir ba’da shalat merupakan pengokoh Islam, Iman, dan Ihsan kita. Dengan konsisten mengucapkan zikir-zikir itu secara ikhlas dan khusyu, berarti kita menjaga dan memperkuat ke-Islam-an, ke-Iman-an, dan sikap Ihsan kita.
Selain itu, angka 165 juga muncul dalam fenomena lima bilangan ganjil pertama. Di dalam hadis disebutkan bahwa Allah menyukai yang ganjil. Apabila kita menjumlahkan lima bilangan ganjil pertama yang dipangkat dua maka akan kita dapatkan hasilnya sebagai berikut:
12 + 32 + 52 + 72 + 92
= 1 + 9 + 25 + 49 + 81
= 165
Juga apabila kita perhatikan surat ke-1 dalam Al Quran, yaitu Al Fatihah, terjemah ayat ke-5 berbunyi, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Tafsirannya, menyembah dan memohon pertolongan tertuang dalam rukun Islam. Sedangkan ayat ke-6 nya berarti “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus”, tafsirannya, untuk menempuh jalan yang lurus harus berbekal Rukun Iman.
Peringatan Ahad
Ahad berarti satu, juga merupakan nama salah satu hari. Berkaitan dengan hal ini, apabila kita coba perhatikan beberapa kejadian pada tahun 2004 yang lalu, akan kita temukan sebuah rangkaian ‘pertanda’ tentang pesan tertentu yang disampaikan oleh Allah kepada manusia. Pada tahun itu, Hari Raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijah yang bertepatan dengan tanggal 1 Februari jatuh pada hari Ahad. Demikian juga dengan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal yang bertepatan dengan tanggal 14 November, jatuh pada hari Ahad. Maulid Nabi Muhammad saw. tanggal 12 Robiul Awal yang bertepatan dengan tanggal 2 Mei pun ternyata jatuh pada hari Ahad. Juga peristiwa Isra’ Miraj tanggal 27 Rajab yang bertepatan dengan tanggal 12 September dan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram yang bertepatan dengan tanggal 22 Februari, keduanya juga terjadi pada hari Ahad. Dan yang paling akhir, ada sebuah peristiwa yang menggemparkan seisi dunia yang merenggut ratusan ribu korban jiwa, yaitu bencana gempa bumi dan Tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember, ternyata juga terjadi pada hari Ahad.
Apakah peristiwa-peristiwa besar yang sama-sama terjadi pada hari Ahad tersebut terjadi secara kebetulan? Pasti tidak. Sepertinya bumi yang terus berotasi dan berevolusi ini melalui kejadian-kejadian tersebut sedang mengumandangkan kalimat ‘Ahad’, ‘Ahad’, ‘Ahad’, ‘Ahad’, … ‘Ahad’. Lantas apakah atau siapakah ‘Ahad’ itu. Jawabnnya adalah Allah. “Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa (Ahad). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’.” (Q.S. Al Ikhlash 112: 1-4)
Peristiwa-peristiwa Ahad itu sepertinya menjadi peringatan bagi manusia untuk kembali mengingat Allah Yang Maha Ahad. Zaman sekarang ini memang semakin banyak orang yang berbuat maksiat dan melalaikan perintah Allah. Sehingga, barangkali Allah pun memperingatkan kita melalui peristiwa-peristiwa tersebut. “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Yunus 10: 5)
27 Derajat
Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa pahala shalat berjamaah adalah 27 derajat lebih tinggi dibandingkan shalat sendiri. Tentang hal ini, Agus Mustofa dalam buku Pusaran Energi Ka’bah menyatakan bahwa ketika kita shalat –di mana di dalamnya kita banyak membaca ayat Al Quran, berzikir, dan menyebut nama Allah– sesungguhnya kita sedang memancarkan energi positif dari dalam diri kita. Energi itu berupa getaran-getaran sebagaimana digambarkan dalam firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal”(Q.S. Al Anfal 8: 2)
Menurut Agus, saat belum melakukan shalat, energi itu tidak terpancar. Tetapi ketika kita sudah memulainya, energi itu akan terpancar baik secara vertikal maupun horisontal. Agus mengibaratkan hal itu dengan lampu yang dinyalakan dengan tenaga baterai. Lampu yang dinyalakan hanya dengan satu baterai tentu kalah terang dengan yang dinyalakan dengan lebih banyak baterai. Demikian juga dengan orang yang melaksanakan shalat. Jika kita shalat sendirian, energi yang kita pancarkan hanya memiliki kekuatan satu pancaran saja. Tetapi kalau kita sholat berjamaah, maka masing-masing orang memancarkan energinya masing-masing dan bergabung menjadi energi yang jauh lebih besar. Hal ini persis seperti sejumlah baterai yang digabungkan secara serial untuk menghidupkan lampu. Baterai-baterai yang terhubung secara serial itu harus bersentuhan satu sama lain agar energinya bisa tersalur dan bergabung. Demikian juga halnya dengan shalat berjamaah, Rasul memerintahkan kita untuk merapatkan barisan sampai bersentuhan satu sama lain, tapi bukan berarti berdesak-desakkan. Hal ini ditafsirkan agar energi positif yang terpancar masing-masing jamaah bisa tersalurkan dan bergabung menjadi pancaran energi yang lebih besar. Begitu juga denga shalat berjamaah di Masjidil Haram yang dikatakan oleh Rasul berpahala 100 ribu kali lipat dibandingkan shalat sendiri di tempat lain. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena adanya pancaran-pancaran energi positif dari jutaan jamaah yang melaksanakan shalat di seputar Ka’bah dan Masjidil Haram, ditambah dengan pancaran energi dari sekian banyak umat Islam yang melaksanakan shalat di berbagai penjuru dunia yang semuanya menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram.
Kelipatan 19
Fenomena angka 19 dan kelipatannya di dalam Al Quran memang sudah cukup lama dibicarakan orang. Berikut adalah beberapa di antaranya yang dikutip dari buku Matematika Islam yang ditulis oleh KH. Fahmi Basya, dosen mata kuliah Matematika Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Apabila kita hitung jumlah huruf nyata dalam kalimat basmalah, akan kita lihat ada 19 huruf nyata di dalamnya. Selain itu, angka 19 atau kelipatannya juga banyak muncul dalam Al Quran (lihat Tabel).
Tabel di atas baru sebagian saja yang dikutip, karena dalam tulisan Fahmi Basya ada 26 poin dalam tabel tersebut. Masih berkaitan dengan angka 19, apabila kita menghitung ruas tulang jari-jari tangan dan kaki kita maka masing-masing memiliki 19 ruas tulang.
Kita memiliki dua tangan dan dua kaki, jumlah ruas tulang tersebut adalah 19 x 4 = 76. Adapun surat ke-76 di dalam Al Quran adalah Al Insan yang berarti manusia. Sehingga, apabila kita perhatikan nomor surat, nama surat, dan jumlah ruas tulang, ternyata memiliki hubungan satu sama lain yang berkaitan dengan bilangan 19.
Pengulangan 7
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung.” (Q.S. Al Hijr 15: 87). Sebagian besar ulama menafsirkan bahwa tujuh ayat yang diulang-ulang itu adalah surat Al Fatihah. Dan faktanya memang benar, tujuh ayat dalam surat Al Fatihah itu memang diulang-ulang oleh seluruh umat Islam ketika melakukan shalat.
Namun, apabila kita perhatikan fenomena lainnya, akan kita temukan fenomena pengulangan 7 lainnya. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al Baqarah 2: 29) Di dalam ayat tersebut, Allah menyebut tentang adanya tujuh langit. Dan ternyata ayat yang membicarakan tentang tujuh langit di dalam Al Quran jumlahnya juga tujuh ayat. yaitu dalam surat Al Baqarah 2: 29, Al Mukminuun 23: 17, Fushshilat 41: 12, Ath-Thalaq 65: 12, Al Mulk 67: 3, Nuh 71: 15, dan An Naba’ 78: 12.
Selain itu, kalau kita perhatikan dengan saksama, ternyata angka tujuh memiliki keunikan tersendiri. Apabila kita bagi sebuah bilangan (berapa pun yang tak habis dibagi tujuh) dengan angka tujuh, hasil yang akan diperoleh adalah pola angka-angka unik di belakang koma. Pola angka tersebut akan selalu berulang setelah angka satu. Jadi, angka tujuh memang benar-benar memiliki fenomena pengulangan.
4 Ruku 4 Sujud
KH. Fahmi Basya menjelaskan bahwa ketika kita telah melakukan 1 rakaat dalam shalat, sesungguhnya kita sudah melakukan satu putaran yang terdiri atas satu kali ruku dan dua kali sujud. Saat ruku kita membentuk sudut 90° dari posisi berdiri tegak. Sedangkan saat sujud kita membentuk sudut 90°+45°=135° dari posisi tegak. Sehingga 1 ruku ditambah dua sujud adalah 90° + 135° + 135° = 360° atau satu lingkaran penuh.
Namun, ada shalat yang satu rakaatnya terdiri atas dua ruku dan dua sujud, yaitu Shalat Gerhana. Aisyah r.a. berkata, “Pada masa Rasulullah saw. masih hidup pernah terjadi gerhana matahari. Maka Rasulullah saw. menyuruh orang banyak shalat berjamaah. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah saw. datang lalu bertakbir dan shalat 4 kali ruku dan 4 kali sujud dalam dua rakaat.” (Sahih Muslim)
Oleh KH. Fahmi Basya, perputaran dalam Shalat Gerhana yang terdiri atas dua rakaat dengan 4 ruku dan 4 sujud itu dihitung sebagai berikut.
Rakaat 1 = 360º + 90º (karena 2 x rukuk)
= 0º + 90º = 90º
Rakaat 2 = 360º + 90º (karena 2x rukuk)
= 0º + 90º = 90º
——————————————————————————— +
= 180º = Garis Lurus
Maknanya, dalam Shalat Gerhana berarti kita membentuk sudut 180º atau garis lurus. Hal ini sama dengan posisi matahari, bumi, dan bulan saat terjadi gerhana, yaitu membentuk satu garis lurus.
Para Penafsir
Fenomena Sains Al Quran
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka penafsiran ayat-ayat Al Quran yang berkaitan dengan masalah fenomena alam semesta pun semakin berkembang. Apabila para mufasir zaman dahulu menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan sains hanya sebatas menggunakan penjelasan ayat-ayat yang lain atau hadis Nabi atau Qoul sahabat, maka pada zaman sekarang sudah banyak sekali ilmuwan yang menyingkap kandungan ayat-ayat Al Quran melalui hasil kajian ilmiahnya.
Misalnya, ketika ada ayat yang membahas proses kejadian manusia di dalam rahim ibu, maka ilmu kedokteran sekarang ini sudah membuktikan kebenaran ayat tersebut. Contoh lainnya, ada ayat yang berbunyi, “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman 55: 19-21). Ternyata sekarang sudah terbukti bahwa di dasar Laut Merah terdapat sumber mata air tawar yang mengalir terus dan tidak bercampur dengan air laut di sekitarnya yang asin. Juga tentang ayat, “Maka apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman 55: 37-38). Terbukti ayat itu benar, ketika teleskop Hubble memotret gambar Big Bang yang memang seperti kilauan berbentuk bunga mawar merah.
Menurut Drs HM. Hasyim Manan, MA., Pembantu Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, penafsiran-penafsiran ayat Al Quran tentang alam semesta seperti itu telah dirintis oleh ulama besar, yaitu Syekh Tantawi Jauhari. Kajian ini berkembang pesat di tangan generasi berikutnya. Dapat kita temukan nama-nama semisal Muhammad Mukhtar yang menulis kitab Riyad al Mukhtar dan Dr. Abdul Aziz Pasha Ismail dengan tulisannya Sunan Allah al Kauniyah.
Dewasa ini, seiring terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin banyak pula para ahli di bidang tertentu yang mencoba menafsirkan Al Quran. Kita tentu mengenal nama Harun Yahya yang banyak menyingkap berbagai kebenaran ayat Al Quran melalui berbagai penelitian ilmiahnya. Bahkan, kini sudah tersaji tidak hanya dalam bentuk buku, tetapi juga dalam bentuk tayangan film dokumenter atau video.
Di Indonesia, ada nama Agus Mustofa, seorang alumnus jurusan Teknik Nuklir Universitas Gadjahmada Jogjakarta yang menulis beberapa buku hasil penafsirannya terhadap beberapa ayat Al Quran dalam kacamata sains. Buku-bukunya antara lain “Pusaran Energi Ka’bah”, “Terpesona di Sidratul Muntaha”, dan “Ternyata Kita Bersatu dengan Allah”. Juga ada Ir. H. Bambang Pranggono, alumni Arsitektur dan MBA Institut Teknologi Bandung yang juga mantan Dekan dan pendiri Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung (UNISBA), menulis buku “Percikan Sains dalam Al Quran”. Dan ada pula KH. Fahmi Basya, alumnus Fakultas MIPA Universitas Indonesia yang menulis buku “Matematika Islam”.
Khusus mengenai KH. Fahmi Basya, beliau adalah penggagas dan pengajar mata kuliah Matematika Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Matematika Islam secara resmi menjadi mata kuliah di UIN sejak tahun 2002 setelah kurang lebih 16 tahun menjadi materi Stadium General di sana. KH. Fahmi Basya, kelahiran Padang 3 Februari 1952, mulai menuangkan pemikiran dan penelaahannya dalam bentuk makalah atau tulisan sederhana. Selanjutnya ia membuat apa yang dinamakannya Flying Book, yaitu kumpulan tulisan dan presentasinya yang dituangkan dalam bentuk file Power Point. File-file tersebut disebarluaskan baik melalui internet ataupun diperbanyak dalam bentuk CD.
Di antara materi-materi yang dibahasnya adalah tentang “Roda Gigi Shalat”, “Umur Nabi”, “Kota Al Quran”, “Rumah Lebah Segi Enam”, “Grafik Asli Basmalah”, dll. Selain dalam bentuk tulisan, ia pun melengkapi hasil pemikiran dan temuannya dengan gambar atau lukisan karyanya sendiri. Sebagian besar lukisannya berkaitan erat dengan hasil penelitiannya tentang ayat-ayat Al Quran dan ajaran Islam yang berhubungan dengan matematika. Karya-karya lukisannya banyak tertuang dalam materinya yang berjudul “Bumi itu Al Quran”
Perlu, Tapi Harus Hati-Hati!
Wawancara Ust. Aam Amiruddin
Bagaimana pendapat Anda tentang penafsiran angka-angka yang ada di dalam Al Qur’n oleh ilmuwan jaman sekarang?
Dalam menafsirkan agama atau ayat-ayat Al Quran, paling tidak ada dua macam pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan salafi dan pendekatan bil hikmah. Pendekatan salafi adalah menafsirkan ayat Al Quran dengan menggunakan ayat-ayat Al Quran yang lain, atau dengan hadis Nabi, atau dengan qaul (perkataan) para sahabat. Adapun penafsiran bil hikmah contohnya adalah seperti apa yang disebutkan dalam pertanyaan tadi. Tafsir bil hikmah dilakukan dengan berusaha mencari alasan-alasan logis tentang isi Al Quran. Tafsir bil hikmah disebut juga dengan tafsir bir ro’yi, yaitu menafsirkan agama dengan logika dan rasio.
Bagaimana kedudukan tafsir bil hikmah ini?
Tentang tafsir bil hikmah ini, para ahli membaginya menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat mamduh dan madzmum. Mamduh berarti terpuji, artinya hasil penafsiran itu senafas dan sejalan dengan Al Quran, Sunnah, serta Qoul sahabat. Sedangkan madzmum berarti tercela, artinya yang menonjol dalam penafsiran ini justru rasionalitasnya yang malah mereduksi nilai yang dikandung sebenarnya. Contohnya, haramnya daging babi menurut penafsiran seperti ini adalah karena di dalam tubuh babi itu terdapat cacing pita. Namun, ketika sekarang telah ditemukan cara untuk membasmi cacing pita, bisa jadi kesimpulannya adalah bahwa daging babi itu menjadi halal. Maka, penafsiran seperti ini tidaklah tepat. Artinya, apabila di kemudian hari logika-logika dalam sebuah penafsiran bisa dipatahkan dengan logika-logika yang baru, maka yang rusak justru adalah agamanya. Jadi, dalam batasan tertentu tafsir bil hikmah itu bagus tetapi jangan sampai kebablasan karena akan merusak agama.
Landasan pemikiran apa yang digunakan para mufasir dalam dalam tafsir bil hikmah?
Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah itu tidak sia-sia dan dibalik penciptaan itu pasti ada ilmu atau hikmahnya. Pemikiran yang juga bersumber dari ayat Al Quran ini dijadikan landasan untuk mengeksplorasi secara rasional berbagai ayat, termasuk di dalamnya ibadah-ibadah yang sudah berjalan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan dianggap sebagai proses menuju pada kebenaran. Oleh karenanya, dalam tataran pemikiran seperti ini sering terjadi lontaran kritik dari mereka yang sangat berpegang teguh kepada fiqih atau para ulama salafi. Orang yang menggunakan tafsir bil hikmah ini seringkali didebat oleh orang-orang yang menggunakan metode salafi karena dianggap terlalu mengada-ada dan seolah menjadikan agama itu seperti mainan yang akan mencemarkan atau mereduksi nilai agama itu sendiri.
Bukankah Nabi Ibrahim a.s. dalam proses ‘mencari’ Tuhan juga melakukan kesalahan?
Hal itu memang benar, tetapi kita tidak bisa memosisikan diri kita seperti Nabi Ibrahim a.s. ketika beliau berupaya ‘menemukan’ Tuhan. Beliau adalah seorang Nabi, sedang kita bukan Nabi. Ketika Nabi Ibrahim berbuat kesalahan, beliau lalu dibimbing dan diluruskan oleh Tuhan sehingga justru menjadi hikmah bagi umat-umat yang berikutnya. Namun, apabila kita yang melakukan kesalahan seperti itu, maka siapa yang akan meluruskannya dan siapa yang akan mendapatkan hikmah?
Kebenaran Al Quran itu mutlak, sedangkan kebenaran tafsir itu relatif. Pendapat Anda?
Saya setuju bahwa kebenaran tafsir itu relatif dan kebenaran firman Allah itu absolut. Pada saat manusia mencoba memikirkan firman Allah dan mengambil kesimpulan dari apa yang dia baca, maka kesimpulan itu kebenarannya bersifat relatif dan terus berkembang. Tafsir itu adalah produk manusia. Tapi yang perlu diperhatikan adalah ada bagian dari firmah Allah swt. yang perlu ditafsirkan seiring perkembangan zaman, namun ada pula bagian yang sudah sangat jelas dan tidak perlu ditafsirkan lagi karena justru malah akan membiaskan makna sebenarnya. Jadi, kalaupun tetap ada penafsiran bil hikmah atas ayat-ayat yang sudah jelas, maka itu fungsinya sebagai hikmah atau pengayaan pemahaman saja; tentu saja tetap harus sejalan dan tidak menyalahi kandungan ayat itu sendiri.
Apakah syarat-syarat untuk menjadi mufasir?
Pada prinsipnya, kalau ada orang ingin menafsirkan Al Quran, saya sangat setuju apabila dia harus mengerti bahasa yang digunakan dalam Al Quran, yaitu bahasa Arab. Mana mungkin kita akan menafsirkan ayat kalau kita tidak memahami makna substansi dari ayat itu. Oleh karena itu para ulama tafsir dan juga Imam Syafi’i menetapkan salah satu kriteria orang yang berhak menafsirkan Al Quran adalah menguasai bahasa Arab. Ada ayat Al Quran yang menegaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab. Selain itu, juga harus menguasai Al Quran dan Ulumul Quran (ilmu-ilmu Al Quran), hadis, dan Ulumul Hadis. Hal-hal tersebut merupakan sebagian kriteria bagi orang-orang yang murni ingin menafsirkan Al Quran. Namun, apabila ada orang yang menguasai bidang ilmu tertentu, misalnya ilmu fisika, ingin mencoba berbagi ilmu dan pemahaman dalam bentuk menafsirkan ayat Al Quran, seharusnya ia tidak melakukannya secara individual melainkan berada dalam satu kelompok yang di dalamnya ada yang berkompeten dalam Ulumul Quran. Hal seperti ini sejalan dengan apa yang digagas oleh DR. Yusuf Qordhowi yang pernah mengatakan bahwa inilah saatnya bagi kita untuk melakukan ijtihad secara kolektif.
Jadi, apakah setiap orang boleh berijtihad untuk melakukan penafsiran?
Bisa, asalkan sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan inteklektual untuk menjawab persoalan-persoalan terkini dengan bersumber kepada Al Quran dan sunnah. Misalnya apabila saya seorang ekonom, maka saya boleh berijtihad dalam bidang ekonomi. Kalau saya seorang sosiolog, saya akan berijtihad dalam bidang sosiologi. Artinya, saya mencoba membaca firman Allah dan hadis Nabi lalu dari situ saya memberikan pemikiran di bidang yang saya kuasai. Namun, apabila kita berijtihad tidak sesuai dengan bidangnya maka itu tidak tepat. Jadi, pada dasarnya semua ilmuwan memiliki peluang untuk berijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran sesuai dengan kapasitas ilmunya masing-masing. Yang salah adalah kalau seseorang melakukan penafsiran tidak sesuai dengan bidangnya; secara ilmiah dan akademis pun itu tidak tepat.
Apakah ada batasan bahwa ayat-ayat tertentu tidak boleh ditafsirkan?
Pada dasarnya semua ayat Al Quran perlu ditafsirkan. Namun prinsipnya, ada ayat yang cukup ditafsirkan dengan ayat yang lain, atau dengan hadis atau dengan Qoul sahabat. Dan ada pula ayat yang tidak ada tafsirannya dalam ketiga hal tersebut. Maka disinilah kita dituntut untuk berijtihad secara kreatif untuk memahami ayat-ayat semacam itu dengan tetap sejalan dengan ayat-ayat yang lain.
Sisi positif dan negatif dari tafsir bil hikmah?
Hal positifnya kita akan semakin merasakan kebenaran agama Islam dan juga Al Quran. Dilihat dari sudut manapun, Islam dan Al Quran akan tampak seperti mutiara di mana kita akan senantiasa mendapatkan serta menemukan hal yang baru. Negatifnya kalau penafsiran itu sampai kebablasan, jusru akan mereduksi kandungan ayat itu sendiri. Hal ini patut diwaspadai sehingga setiap orang yang ingin menafsirkan sesuatu, dia harus tahu diri atau tahu kapasitasnya. Dan yang paling tahu tentang hal itu adalah dirinya sendiri yang bersumber dari hati nurani terdalam. Layakkah saya menafsirkan ayat ini?
Saran Anda?
Seperti sudah saya sampaikan tadi bahwa tafsir bil hikmah pada sisi tertentu memang sangat diperlukan untuk memahami ayat-ayat yang tidak ditafsirkan oleh ayat-ayat lainnya. Kehati-hatian harus diperhatikan dalam melakukan penafsiran ini, karena penafsiran yang kebablasan malah akan mereduksi kandungan ayat yang sebenarnya. Dalam menyikapinya, kita pun sepatutnya kembalikan pada akal sehat dan hati nurani masing-masing dengan tetap berlandaskan pada ayat Al Quran dan hadis. Wallahu A’lam.
Hati-Hati, Teliti, dan Terus Menggali
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Q.S. Al Baqarah 2: 164)
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa dalam segala apa yang diciptakan oleh Allah swt. terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran-Nya bagi orang-orang yang mau berpikir. Dengan kata lain, Allah memerintahkan kita untuk memikirkan berbagai macam fenomena alam semesta. Tentang makna ayat tersebut, Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menyatakan bahwa sekiranya manusia hatinya membeku karena tidak mau memperhatikan fenomena alam ini, lalu hatinya berubah dan mau memperhatikan fenomena alam ini dengan perasaan yang baru dan pandangan yang penuh penyelidikan seperti seseorang yang baru saja mengunjungi alam ini, memperhatikan dengan sungguh-sungguh tiap gerak dan gemerisiknya suara, tentulah akan tergetar jiwanya dan terbukalah baginya segala keajaiban yang menyelubungi alam semesta ini.
Untuk memahami berbagai tanda kebesaran Allah dalam fenomena alam semesta, tentu diperlukan adanya ilmu dan pengetahuan. Kita perlu untuk belajar dan berpikir baru kemudian bisa sampai pada sebuah kesimpulan. Adalah salah apabila kita langsung menyimpulkan tentang suatu fenomena tanpa mempelajari dan memikirkannya secara mendalam terlebih dahulu.
Tentang hal tersebut, dalam buku “Matematika Islam”, KH. Fahmi Basya memberikan sebuah ilustrasi. Katakanlah kita mempunyai selembar kertas yang sangat tipis sekali, tebalnya hanya 1/1000 milimeter. Kertas itu kemudian kita potong menjadi dua bagian, lalu kita dempetkan dan kita potong lagi menjadi dua bagian sekaligus. Kemudian kita dempetkan lagi hasilnya lalu kita potong lagi menjadi dua bagian sekaligus. Dan begitu seterusnya, kita mendempetkan dan memotongnya menjadi dua bagian sekaligus. Pertanyaannya, berapa kira-kira tinggi kertas itu jika ditumpuk setelah potongan yang ke-50? Apakah kurang dari ½ meter ataukah lebih dari ½ meter? Lantas kalau ada orang yang mengatakan bahwa sampai potongan ke-50, tumpukan kertas itu meninggi terus ke angkasa melewati bulan, apakah kita percaya? Hampir dapat dipastikan, kita menjawabnya tidak, karena kertas asalnya benar-benar sangat tipis yaitu hanya 1/1000 milimeter.
Tapi, tak ada salahnya apabila kita mencoba untuk menghitungnya secara sederhana seperti perhitungan berikut ini.
1. Potongan pertama = 1+1 = 2 = 21 (dua pangkat satu)
2. Potongan kedua = 2+2 = 4 = 22 (dua pangkat dua)
3. Potongan ketiga = 4+4 = 8 = 23 (dua pangkat tiga)
4. Potongan keempat = 8+8 = 16 = 24 (dua pangkat empat)
n. Potongan ke-n = = 2n
50. Potongan ke-50 = … = 250 = 1.125.899.900.000.000
Maka tinggi tumpukan kertas itu menjadi:
1/1000 mm x 1.125.899.900.000.000 = 1.125.899.900.000 mm
= 1.125.899.900 m
= 1.125.899,9 km
Dengan memperhatikan ilustrasi dan perhitungan yang disampaikan KH. Fahmi Basya itu maka kita dapati bahwa setelah potongan ke-50, tumpukan kertas itu ternyata tingginya lebih dari sejuta kilometer, padahal tinggi bulan dari bumi hanya 380.000 km. Artinya, tumpukan kertas itu melebihi tingginya bulan. Berarti pula kesimpulan awal yang kita tetapkan secara sepintas namun dengan cukup yakin itu ternyata salah.
Ijtihad Kolektif
Untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dari suatu fenomena atau permasalahan, kita perlu berijtihad. Ijtihad, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ust. Aam Amiruddin, berarti mencurahkan segala kemampuan inteklektual untuk menjawab persoalan-persoalan terkini dengan bersumber kepada Al Quran dan sunnah. Kemampuan intelektual ini tentu saja yang bersesuaian dengan permasalahan yang dihadapi.
Seorang pengemudi becak yang tidak memiliki latar belakang pendidikan memadai tentu saja dianggap tidak tepat apabila berijtihad untuk menafsirkan ayat Al Quran tentang fenomena astronomi. Begitu juga seorang insinyur teknik bangunan tidak layak untuk menafsirkan proses kejadian manusia yang diceritakan di dalam Al Quran. Dan tak dapat disangkal pula, seorang pakar yang menafsirkan sesuatu yang memang termasuk dalam bidang kajiannya pun tetap saja memiliki peluang berbuat salah dalam memahami makna ayat yang sebenarnya.
Oleh karenanya, salah satu solusi terbaik dalam hal ini, di zaman sekarang, adalah dengan melakukan apa yang diungkapkan Dr. Yusuf Qordhowi yang juga diamini oleh Ust. Aam Amiruddin, yaitu berijtihad menafsirkan sesuatu secara kolektif. Artinya, penafsiran itu dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing, tentu saja yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan. Hal ini bagus untuk dilakukan agar hasil penafsiran itu benar-benar matang dan mendalam serta meminimalisir kemungkinan malah mereduksi makna sebenarnya seperti kasus penafsiran haramnya babi karena cacing pita. Selain itu juga untuk menghilangkan kesan menjadikan agama sebagai bahan mainan seperti yang dikritik oleh para ulama salafi, dan yang paling utama adalah lebih mendekatkan atau mencapai makna yang sebenarnya seperti yang dikehendaki oleh Sang Pencipta.
Gali Terus
Di dalam salah satu tulisannya yang berkaitan dengan masalah penafsiran dan fenomena angka di dalam Al Quran, Prof. Komaruddin Hidayat menyatakan, bagaimana mungkin Nabi Muhammad saw. menerima dan menyusun Al Quran dalam kurun waktu 23 tahun dengan rumusan dan kalkulasi matematis, kalau saja tanpa campur tangan Jibril atas bimbingan Allah? Menurutnya, temuan-temuan semacam itu penting digarisbawahi mengingat seringkali para orientalis menganggap Al Quran sebagai karangan Muhammad belaka. Namun keraguan itu menjadi absurd ketika dibuktikan bahwa secara matematis banyak ditemukan adanya keajaiban yang sulit dibayangkan hal itu produk seorang yang ummi, yang hidup di padang pasir pada abad ke-6.
Prof. Komaruddin menambahkan pula bahwa sesungguhnya Al Quran selalu membuka diri untuk diinterogasi, ditanya, digali, dibantah, didebat, dan entah diapakan lagi sepanjang perjalanannya sejak diwahyukan sampai sekarang. Bagi mereka yang memiliki kedalaman ilmu kedokteran, maka Al Quran membuka diri untuk diajak dialog seputar kedokteran. Bagi mereka yang menguasai ilmu pertanian, kelautan, astronomi, ilmu jiwa, ataupun cabang ilmu lainnya, Al Quran membuka diri untuk dikaji, digali, bahkan diinterogasi. Dan nyatanya hingga saat ini semakin banyak sarjana Muslim yang menguasai berbagai disiplin keilmuan, mereka malah semakin respek dan yakin bahwa Al Quran adalah Kalam Ilahi yang di dalamnya mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang tidak pernah habis-habisnya digali.
Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Ust. Aam Amiruddin bahwa pada dasarnya semua ayat Al Quran memang perlu ditafsirkan. Terlebih, dari sudut mana pun kita memandang Al Quran, kita akan melihatnya seperti mutiara yang senantiasa menampakkan hal yang baru untuk dikaji dan didalami.
Pada akhirnya, kita pun sebagai umat Islam perlu untuk terus belajar dan belajar; menggali kandungan ayat-ayat Allah baik yang tersurat di dalam Al Quran ataupun yang ada di alam semesta ini guna memperteguh keimanan dan ketawaan kita kepada Allah swt. Bukan saja secara kolektif, tapi justru secara individu pun kita harus lebih giat mengkaji dan memahami ayat-ayat Allah secara sungguh-sungguh. Diri kita secara individulah yang akhirnya akan menentukan kesimpulan. Mengikuti kesimpulan orang lain juga merupakan sebuah kesimpulan individu. Yang penting, bukan merupakan taqlid buta tetapi sesuatu yang berdasarkan pemahaman melalui proses belajar dan berpikir yang mendalam.
Wallaahu A’lam
Selasa, 23 Februari 2016
Shalawat Fulus
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻭَﺳَﻠِّﻢْ ﻭَﺑَﺎﺭِﻙْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ
ﺍْﻟﻤَﺒْﻌُﻮْﺙِ ﺻَﻼَﺓً ﺗُﺠِﻌُﻠِﻲ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦَ ﺍْﻻَﻣْﻮَﺍﻝِ
ﻭَﺍْﻟﻤَﺮْﻛُﻮْﺏِ ﻭَﺍْﻟﻤَﻄْﻌُﻮْﻡِ ﻭَﺍْﻟﻤَﻠْﺒُﻮْﺱِ ﻭَﺍْﻟﻔُﻠُﻮْﺱِ
ﻟِﻜُﻞِّ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻖِ ﻭَﺍْﻟﺠُﺮُﻭْﺱِ ﻓِﻲ ﺍْﻟﻘِﻴَﺎﻡِ ﻭَﺍْﻟﺠُﻠُﻮْﺱِ
ﻭَﻋَﻠﻰَ ﺁﻟـِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ ﺑِﻌَﺪَﺩِ ﺃَﻧْﻮَﺍﻉٍ ﺍﻟﻨَّﻔَﺲِ ﻭَ
ﺍﻟﻨُﻔُﻮْﺱِ ﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻚَ ﻳَﺎ ﺍَﺭْﺣَﻢَ ﺍﻟﺮَﺍﺣِﻤِﻴْﻦَ
Allahumma sholli wa sallim wa
baarik ‘alaa Sayyidinaa
Muhammadinil mab’uuts(i),
sholaatan tuji‘ulii bihaa minal
amwaali wal markuubi, wal
math’uumi wal malbuusi, wal-
fuluus(i), li kullith thoriiqi wal
juruus(i), fil qiyaami wal julus(i),
wa ‘alaa aalihi wa shohbihi bi
‘adaadi anwaa’in-nafasi wan
nufuus(i), birohmatika ya arhamar
roohimin.
Artinya : Ya Allah, limpahkanlah
rahmat, keselamatan dan
keberkahan kepada junjungan
kami Nabi Muhammad saw.
yang diutus, dengan sholawat
yang dapat mendatangkan/
menjadikan dengannya kepada
saya kekayaan/harta, kendaraan,
makanan, pakaian, dan uang, dari
tiap-tiap jalan (usaha) dan
perkataan, dalam keadaan berdiri
dan duduk, dan sampaikan juga
sholawat atas keluarga Nabi
Muhammad saw. dan
sahabatnya dengan sebanyak
macam bilangan nafas dan jiwa-
jiwa manusia, dengan rahmat
(pertolongan)-Mu ya Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Shalawat Fulus
Shalawat tersebut dibaca
semampunya, sebanyak mungkin,
boleh dibaca sehabis sholat, atau
saat senggang, atau dibaca di
malam hari, kalau dapat dibaca
11x setiap habis shalat lima
waktu, tetapi yang lebih utama
dibaca 100x dalam sehari
semalamnya.
Shalawat Fulus
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻭَﺳَﻠِّﻢْ ﻭَﺑَﺎﺭِﻙْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ
ﺍْﻟﻤَﺒْﻌُﻮْﺙِ ﺻَﻼَﺓً ﺗُﺠِﻌُﻠِﻲ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦَ ﺍْﻻَﻣْﻮَﺍﻝِ
ﻭَﺍْﻟﻤَﺮْﻛُﻮْﺏِ ﻭَﺍْﻟﻤَﻄْﻌُﻮْﻡِ ﻭَﺍْﻟﻤَﻠْﺒُﻮْﺱِ ﻭَﺍْﻟﻔُﻠُﻮْﺱِ
ﻟِﻜُﻞِّ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻖِ ﻭَﺍْﻟﺠُﺮُﻭْﺱِ ﻓِﻲ ﺍْﻟﻘِﻴَﺎﻡِ ﻭَﺍْﻟﺠُﻠُﻮْﺱِ
ﻭَﻋَﻠﻰَ ﺁﻟـِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ ﺑِﻌَﺪَﺩِ ﺃَﻧْﻮَﺍﻉٍ ﺍﻟﻨَّﻔَﺲِ ﻭَ
ﺍﻟﻨُﻔُﻮْﺱِ ﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻚَ ﻳَﺎ ﺍَﺭْﺣَﻢَ ﺍﻟﺮَﺍﺣِﻤِﻴْﻦَ
Allahumma sholli wa sallim wa
baarik ‘alaa Sayyidinaa
Muhammadinil mab’uuts(i),
sholaatan tuji‘ulii bihaa minal
amwaali wal markuubi, wal
math’uumi wal malbuusi, wal-
fuluus(i), li kullith thoriiqi wal
juruus(i), fil qiyaami wal julus(i),
wa ‘alaa aalihi wa shohbihi bi
‘adaadi anwaa’in-nafasi wan
nufuus(i), birohmatika ya arhamar
roohimin.
Artinya : Ya Allah, limpahkanlah
rahmat, keselamatan dan
keberkahan kepada junjungan
kami Nabi Muhammad saw.
yang diutus, dengan sholawat
yang dapat mendatangkan/
menjadikan dengannya kepada
saya kekayaan/harta, kendaraan,
makanan, pakaian, dan uang, dari
tiap-tiap jalan (usaha) dan
perkataan, dalam keadaan berdiri
dan duduk, dan sampaikan juga
sholawat atas keluarga Nabi
Muhammad saw. dan
sahabatnya dengan sebanyak
macam bilangan nafas dan jiwa-
jiwa manusia, dengan rahmat
(pertolongan)-Mu ya Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Shalawat Fulus
Shalawat tersebut dibaca
semampunya, sebanyak mungkin,
boleh dibaca sehabis sholat, atau
saat senggang, atau dibaca di
malam hari, kalau dapat dibaca
11x setiap habis shalat lima
waktu, tetapi yang lebih utama
dibaca 100x dalam sehari
semalamnya.
ﺍْﻟﻤَﺒْﻌُﻮْﺙِ ﺻَﻼَﺓً ﺗُﺠِﻌُﻠِﻲ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦَ ﺍْﻻَﻣْﻮَﺍﻝِ
ﻭَﺍْﻟﻤَﺮْﻛُﻮْﺏِ ﻭَﺍْﻟﻤَﻄْﻌُﻮْﻡِ ﻭَﺍْﻟﻤَﻠْﺒُﻮْﺱِ ﻭَﺍْﻟﻔُﻠُﻮْﺱِ
ﻟِﻜُﻞِّ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻖِ ﻭَﺍْﻟﺠُﺮُﻭْﺱِ ﻓِﻲ ﺍْﻟﻘِﻴَﺎﻡِ ﻭَﺍْﻟﺠُﻠُﻮْﺱِ
ﻭَﻋَﻠﻰَ ﺁﻟـِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ ﺑِﻌَﺪَﺩِ ﺃَﻧْﻮَﺍﻉٍ ﺍﻟﻨَّﻔَﺲِ ﻭَ
ﺍﻟﻨُﻔُﻮْﺱِ ﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻚَ ﻳَﺎ ﺍَﺭْﺣَﻢَ ﺍﻟﺮَﺍﺣِﻤِﻴْﻦَ
Allahumma sholli wa sallim wa
baarik ‘alaa Sayyidinaa
Muhammadinil mab’uuts(i),
sholaatan tuji‘ulii bihaa minal
amwaali wal markuubi, wal
math’uumi wal malbuusi, wal-
fuluus(i), li kullith thoriiqi wal
juruus(i), fil qiyaami wal julus(i),
wa ‘alaa aalihi wa shohbihi bi
‘adaadi anwaa’in-nafasi wan
nufuus(i), birohmatika ya arhamar
roohimin.
Artinya : Ya Allah, limpahkanlah
rahmat, keselamatan dan
keberkahan kepada junjungan
kami Nabi Muhammad saw.
yang diutus, dengan sholawat
yang dapat mendatangkan/
menjadikan dengannya kepada
saya kekayaan/harta, kendaraan,
makanan, pakaian, dan uang, dari
tiap-tiap jalan (usaha) dan
perkataan, dalam keadaan berdiri
dan duduk, dan sampaikan juga
sholawat atas keluarga Nabi
Muhammad saw. dan
sahabatnya dengan sebanyak
macam bilangan nafas dan jiwa-
jiwa manusia, dengan rahmat
(pertolongan)-Mu ya Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Shalawat Fulus
Shalawat tersebut dibaca
semampunya, sebanyak mungkin,
boleh dibaca sehabis sholat, atau
saat senggang, atau dibaca di
malam hari, kalau dapat dibaca
11x setiap habis shalat lima
waktu, tetapi yang lebih utama
dibaca 100x dalam sehari
semalamnya.
Batu, Kerikil dan Pasir
Oleh Ang Hidayatus Shibyan AS
Seorang guru filsafat ketika sedang memberikan kuliah mengeluarkan sebuah botol kosong. Kemudian ia mengeluarkan beberapa batu yang kemudian diisikannya ke botol itu. Ketika sudah dua batu diisikan, sudah tak ada tempat lagi bagi batu ketiga. Ia bertanya pada mahasiswanya apakah botol itu sudah penuh? para siswanya menjawab "ya".
Kemudian ia mengambil kerikil kecil. Dimasukkannya kerikil itu ke botol dan botol itu dikocok-kocoknya. Kerikil-kerikil itu akhirnya masuk bergulir memenuhi ruang di antara batu-batu itu. Sekali lagi ia bertanya apakah botol itu penuh? para siswanya menjawab ya. Lalu sang guru mengambil pasir dan menuangkannya ke botol. Setelah botol itu diguncang-guncangkan beberapa kali, pasir itu masuk mengisi ruang yang masih tersisa memenuhi botol.
“Sekarang,” kata sang guru, “Saya ingin kalian tahu bahwa botol ini mengibaratkan hidup kalian.
Batu-batu ini adalah hal-hal yang paling penting dalam hidup kalian yaitu , suami,istri anak-anak,ayah dan ibu atau yg dikenal dengan keluarga , dan juga kesehatan kalian,
Kerikil-kerikil ini adalah hal-hal lain yang juga penting dalam hidup kalian, misalnya keluarga yang agak jauh atau kerabat,pekerjaan, pengetahuan, ketrampilan Anda.
Pasir adalah hal-hal lain seperti orang lain yg tak ada hubungan kluarga, teman ,hobby dan kesenangan kalian.
Bila kalian memasukkan kerikil dan pasir terlebih dahulu maka tak ada ruang lagi buat batu. Begitu juga dengan hidup kalian. Bila kalian mencurahkan seluruh energi dan waktu kalian untuk hal-hal yang kecil, materi, kedudukan, kesenangan, maka kalian tak mempunyai ruang lagi untuk hal yang benar-benar penting dalam hidup kalian.
Berikan prioritas pada hal yang terpenting.
----------------
Keberhasilan yang sejati bukanlah karena kaya harta atau dapat kedudukan tinggi tapi keberhasilan yang sejati adalah bisa menjadikan keluarganya harmonis dan bahagia
----------------
[التحريم:6]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Seorang guru filsafat ketika sedang memberikan kuliah mengeluarkan sebuah botol kosong. Kemudian ia mengeluarkan beberapa batu yang kemudian diisikannya ke botol itu. Ketika sudah dua batu diisikan, sudah tak ada tempat lagi bagi batu ketiga. Ia bertanya pada mahasiswanya apakah botol itu sudah penuh? para siswanya menjawab "ya".
Kemudian ia mengambil kerikil kecil. Dimasukkannya kerikil itu ke botol dan botol itu dikocok-kocoknya. Kerikil-kerikil itu akhirnya masuk bergulir memenuhi ruang di antara batu-batu itu. Sekali lagi ia bertanya apakah botol itu penuh? para siswanya menjawab ya. Lalu sang guru mengambil pasir dan menuangkannya ke botol. Setelah botol itu diguncang-guncangkan beberapa kali, pasir itu masuk mengisi ruang yang masih tersisa memenuhi botol.
“Sekarang,” kata sang guru, “Saya ingin kalian tahu bahwa botol ini mengibaratkan hidup kalian.
Batu-batu ini adalah hal-hal yang paling penting dalam hidup kalian yaitu , suami,istri anak-anak,ayah dan ibu atau yg dikenal dengan keluarga , dan juga kesehatan kalian,
Kerikil-kerikil ini adalah hal-hal lain yang juga penting dalam hidup kalian, misalnya keluarga yang agak jauh atau kerabat,pekerjaan, pengetahuan, ketrampilan Anda.
Pasir adalah hal-hal lain seperti orang lain yg tak ada hubungan kluarga, teman ,hobby dan kesenangan kalian.
Bila kalian memasukkan kerikil dan pasir terlebih dahulu maka tak ada ruang lagi buat batu. Begitu juga dengan hidup kalian. Bila kalian mencurahkan seluruh energi dan waktu kalian untuk hal-hal yang kecil, materi, kedudukan, kesenangan, maka kalian tak mempunyai ruang lagi untuk hal yang benar-benar penting dalam hidup kalian.
Berikan prioritas pada hal yang terpenting.
----------------
Keberhasilan yang sejati bukanlah karena kaya harta atau dapat kedudukan tinggi tapi keberhasilan yang sejati adalah bisa menjadikan keluarganya harmonis dan bahagia
----------------
[التحريم:6]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
ISRA' & MI'RAJ DALAM PERSPEKTIF AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
Bait tentang Isra' & Mi'raj dalam Kitab Aqidatul Awam karya Sayyid Ahmad Al-Marzuqi Al-Makky :
وَقَبْلَ هِجْرَةِ النَّبِيِّ الْإِسْرَا - مِنْ مَّكَّةٍ لَيْلاً لِقُدْسٍ يُدْرَى
وَبَعْدَ إِسْرَاءٍ عُرُوْجٌ لِلسَّمَا – حَــتَّى رَأَى النَّبِـيُّ رَبـًّــا كَلَّــمَا
مِنْ غَيْرِ كَيْفٍ وَانْحِصَارٍ وَافْتَرَضْ – عَلَيْهِ خَمْسًا بَعْدَ خَمْسِيْنَ فَرَضْ
وَبَلَّغَ الْأُمَّةَ بِالْإِسْرَاءِ – وَفَرْضِ خَمْسَةٍ بِلَا امْتِرَاءٍ
قَدْ فَازَ صِدِّيْقٌ بِتَصْدِيْقٍ لَهُ – وَبِالْعُرُوْجِ الصِّدْقُ وَافَى أَهْلَهُ
"Nabi Muhammad Isra' sebelum Hijrah, dari Mekah ke Baitul Maqdis pada malam hari".
"Setelah Isra beliau Mi'raj ke langit, sehingga beliau melihat Tuhan berkata (kepadanya)".
"Tidak dengan cara (percakapan pada umumnya) dan tanpa batasan tempat. Kemudian Allah mewajibkannya 5 waktu Sholat setelah sebelumnya (diwajibkan) dalam 50 waktu".
"Kemudian beliau menyampaikan (Kabar) Isra' dan kewajiban Sholat 5 waktu kepada Ummat Islam tanpa adanya keraguan".
"Telah beruntung Ash-Shiddiq (Abu Bakar) dengan membenarkannya, maka dengan Mi'raj ini beliau menjaga keluarganya (dengan Iman yang sempurna)".
Syeikh Muhammad Bin Ali Ba'athiyyah dalam Kitabnya Mujazul Kalam ketika mengomentari bait ke 46-50 dari Nadzom Aqidatul Awam tersebut menuturkan:
Di antara hal yang wajib diyakini oleh setiap Muslim dengan keyakinan yang teguh adalah peristiwa Isra' (perjalanan di malam hari) Nabi Muhammad SAW dari Mekah Al-Mukarromah ke Baitul Maqdis sebelum Hijrah ke Madinah.
Sedangkan dalam hal ini, meyakini Peristiwa Isra' merupakan hal yang harus diketahui dalam Agama Islam. Sehingga barang siapa yang mengingkarinya akan Kafir, karena Peristiwa ini telah termaktub dalam Firman Allah SWT :
سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهُ. (الإسراء : 1)
"Maha suci Dzat yang telah memperjalankan hambanya pada malam hari dari Masjidi Al-Haram ke Masjid Al-Aqsho yang telah kami berkahi sekitarnya". (QS. Al-Isra' : 1)
Kemudian setelah Isra', Nabi Muhammad SAW dimi'rajkan (dinaikkan) ke langit dengan Ruh dan Jasadnya dalam keadaan sadar (bukan mimpi) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah bahwasannya Nabi Muhammad SAW itu Mi'raj dalam keadaan mimpi. Atau Riwayat dari Sayyidah Aisyah r.a. :
"مَا فَقَدَ جَسَدُ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِرَاشَهُ".
"Sungguh jasad Nabi Muhammad SAW tidak pergi dari tempat tidurnya".
Akan tetapi menurut Ulama' mengenai riwayat dari Sayyidah Aisyah r.a. ini ketika Nabi Muhammad SAW sudah menetap di Madinah, atau kemungkinan pernah terjadi Mi'raj yang serupa tapi hanya dengan Ruhnya saja, dan inilah yang dikabarkan oleh Sayyidah Aisyah r.a. Sedangkan Mi'raj yang terjadi ketika Nabi SAW di Mekkah umur Sayyidah Aisyah r.a. masih terlampau kecil sekitar 4 tahun sehingga beliau tidak mengetahuinya.
Sedangkan dalam hal ini para pendahulu dari kalangan Sahabat bahkan telah menjadi Ijma' (kesepakatan bersama) semua Ulama di abad ke 2 Hijriyah sesugguhnya Mi'rajnya Nabi Muhammad SAW itu dengan Ruh dan Jasadnya dalam keadaan terjaga (sadar), dan barang siapa yang mengingkarinya maka ia dianggap Fasiq.
Kemudian Ulama' berpeda pendapat tentang tempat sampainya Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Mi'raj ini dalam beberapa pendapat di antaranya ada yang menyatakan sampai ke Surga, ada pula yang menyatakan sampai ke 'Arsy bahkan jauh lebih itu di atasnya 'Arsy sampai di batas Jagat Raya (Sidratul Muntaha). (Syarah Al-Aqidah Ath-Thohawiyah karya Syeikh Abdul Ghoni Al-Hanafi Ad-Dimasyqi halaman 75)
Setelah Nabi Muhammad SAW sampai di tempat Mi'raj tersebut beliau melihat Allah SWT, kemudian Allah berfirman secara langsung kepadanya. Dan hal ini (melihat Allah) termasuk hal yang Khusus yang tidak terjadi kepada siapapun di dunia ini kecuali Nabi Muhammad SAW. (Silahkan merujuk pada Kitab Al-Bajuri 'Ala Al-Jauharah)
Imam Al-Qurthubi berkata :
"قال عبد الله بن الحارث : اجتمع ابن عباس وأبي بن كعب, فقال ابن عباس: أما نحن بنو هاشم فنقول رأى ربه مرتين. ثم قال ابن عباس : أتعجبون أن الخلة تكون لإبراهيم, والكلام لموسى, والرؤية لمحمد صلى الله عليه وآله وسلم وعليهم أجمعين. قال : فكبر أبي بن كعب حتى جاوبته الجبال, ثم قال : إن الله قسم رؤيته وكلامه بين محمد وموسى عليهما السلام, فكلم موسى ورآه محمد صلى الله عليه وسلم. وحكى عبد الرزاق : أن الحسن كان يحلف بالله لقد رأى محمد ربه. وحكاه أبو عمر الطلمنكي عن عكرمة وحكاه بعض المتكلمين عن ابن مسعود والأول عنه أشهر. وحكى ابن إسحاق أن مروان سأل أبا هريرة : هل رأى محمد ربه؟ فقال : نعم. وحكى عن النقاش عن أحمد بن حنبل أنه قال : أنا أقول بحديث ابن عباس : بعينه رآه رآه ... حتى انقطع نفسه يعني نفس أحمد. إهـ الجامع لأحكام القرآن للقرطبي ج 7/156.
"Abdullah Bin Al-Harits berkata : Telah berkumpul Ibnu Abbas dan Ubay Bin Ka'ab, kemudian Ibnu Abbas berkata : Adapun kami Bani Hasyim berkata bahwasannya Nabi Muhammad SAW telah melihat Tuhannya dua kali. Kemudian Ibnu Abbas berkata lagi : Tidakkah kalian kagum sesungguhnya gelar Al-Khalil (Sang Kekasih) diperoleh Nabi Ibrahim a.s., kemudian gelar Al-kalim (Yang diajak bicara) diperoleh Nabi Musa a.s., sedangkan melihat Allah SWT diperoleh Nabi Muhammad SAW. Al-Harits berkata : Maka bertakbirlah Ubay Bin Ka'ab seraya berkata : Sesungguhnya Allah telah membagi Ru'yah & Kalamnya antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa a.s., Allah berbicara pada Nabi Musa a.s. dan memperlihatkan Nabi Muhammad SAW kepadaNya".
"Abdurrazzaq berkata : Sesungguhnya Al-Hasan telah bersumpah atas Nama Allah bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah melihat Tuhannya. Abu Umar Ath-Tholamanki meriwayatkan dari Ikrimah, dari sebagian Mutakallimin (Ulama' Ahli Kalam/Aqidah) dari Ibnu Mas'ud r.a. sedangkan yang riwayat yang pertama lebih masyhur".
"Ibnu Ishaq meriwayatkan sesungguhnya Marwan bertanya kepada Abu Hurairah : Apakah Nabi Muhammad SAW telaj melihat Tuhannya? Maka Abu hurairah menjawab : Benar".
"An-Naqqosy telah meriwayatkan dari Imam Ahmad Bin Hanbal, sesungguhnya beliau berkata : Aku berkata dengan Haditsnya Ibnu Abbas : Dengan matanya sungguh (Nabi Muhammad SAW) telah melihatNya. Sampai-sampai nafas Imam Ahmad terputus ketika mengucapkannya".
Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an Juz 7 Halaman 156 karya Imam Ath-Thobary.
Adapun Dalil secara Akal tentang diperbolehkannya melihat Allah SWT adalah : Sesungguhnya Allah itu Dzat yang wujud (ada), dan setiap yang wujud itu boleh/bisa untuk dilihat. Sehingga pada kesimpulannya Allah bisa dilihat. Sedangkan menurut Ahlussunnah Wal Jama'ah melihat Allah SWT di akherat itu diperoleh juga bagi orang-orang yang beriman berdasarkan dalil dari Al-Qur'an dan Hadits.
Dalil dari Al-Qur'an :
وُجُوْهٌ يَّوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ. (القيامة : 22-23)
"Wajah-wajah (orang-orang Mu'min) pada hari itu berseri-seri, memandang kepada Tuhannya". (QS. Al-Qiyamah : 22-23)
لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوْا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ... (يونس : 26)
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah)". (QS. Yunus : 26)
Kata (الْحُسْنَى : Al-Husna) dalam ayat ini diterjemahkan oleh kebanyakan Ahli Tafsir dengan makna "Surga", sedangkan kata (زِيَادَةٌ: Ziyadah) diterjemahkan dengan makna "Melihat Allah".
Dalil dari Hadits :
"إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ فِي لَيْلَةِ الْبَدْرِ ..." رواه الترمذي
"Sungguh kalian (Mu'minin) akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat Bulan pada malam Purnama…" HR. Imam Tirmidzi
Kemudian ada pula do'a yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah SAW :
"وَارْزُقْنَا النَّظْرَ إِلَى وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ ..."
"Dan anugrahilah kami untuk melihat Dzat-Mu yang mulia…"
Dari Ijma' :
Sesungguhnya Para Sahabat Nabi Muhammad SAW telah bersepakat (Ijma') tentang bolehnya melihat Dzat Allah kelak di Akherat. Imam Malik r.a. berkata : "Ketika Allah menutup para musuhNya maka mereka tidak bisa melihatNya".
Andai kata Orang Mu'min itu tidak bisa melihat Tuhan mereka di Akherat niscaya allah tidak akan mencela orang-orang kafir dari keterhalangan mereka untuk melihat Dzat-Nya. Sebagaimana Firman Allah SWT yang berikut ini :
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ. (المطففين : 15)
"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya pada hari itu mereka (orang kafir) terhalang dari (melihat) Tuhannya". (QS. Al-Muthoffifin : 15)
Imam Syafi'i r.a. berkata :
"لما حجب قوما بالسخط, دل على أن قوما يرونه بالرضا".
"Ketika suatu kaum (Kafir) dihalangi karena kemaran (Allah) hal ini menunjukkan kaum lainnya (Mu'minin) melihatNya dengan Ridha".
Sedangkan Ru'yah (melihat) ini terjadi tidak seperti kita melihat teman kita, tidak pula serupa dengan cara penglihatan yang terjadi pada Mahluk lainnya dengan saling berhadapan dan menempati arah dan tempat. Serta tanpa batasan bagi yang terlihat dari yang melihatnya sekiranya diliputi. Karena bagi Allah itu sangat Mustahil jika dibatasi dengan tempat, ruang dan arah. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an :
"لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ". (الأنعام : 103)
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah yang Maha Lembut lagi Maha teliti." (QS. Al-An'am : 103)
Melihat Dzat Allah SWT ini bisa didapat oleh semua orang yang beriman baik dari kalangan Manusia maupun kalangan Jin, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan Ahli Fatroh (orang yang hidup di antara masa dua Rasul, tidak menemui yang pertama dan tidak pula menemui yang ke dua seperti masa antara Nabi Isa a.s dan nabi Muhammad SAW) dan Malaikat juga bisa melihat Allah. Sedangkan orang-orang yang Munafik dan Kafir tidak bisa melihatNya sebagaimana Firman Allah SWT :
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ. (المطففين : 15)
"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya pada hari itu mereka (orang kafir) terhalang dari (melihat) Tuhannya". (QS. Al-Muthoffifin : 15)
Sebab mereka (Munafik & Kafir) tidak termasuk dari orang-orang yang dimuliakan oleh Allah. Jadi pada kesimpulannya melihat Allah SWT itu sesuatu yang mungkin terjadi sebagaimana Firman Allah SWT kepada Nabi Musa a.s. di saat beliau meminta kepada Allah untuk melihatnya :
"رَبِّ أَرِنِيْ أَنْظُرُ إِلَيْكَ, قَالَ لَنْ تَرَىنِيْ وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَىنِيْ". (الأعراف : 143 )
"Wahai Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku bisa melihat Engkau, (Allah) berfirman : "Engkau tidak akan melihat-Ku, akan tetapi lihat kepada Gunung itu apabila ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku". (QS. Al-A'raf 143)
Dalam ayat ini terdapat 2 pembahasan, yang pertama : Apabila melihat Allah SWT itu terlarang di dunia niscaya Nabi Musa a.s. tidak akan meminta hal tersebut, sebab beliau adalah Nabi yang mengetahui apa saja yang Wajib, yang Mustahil dan yang Jaiz (boleh) bagi Allah SWT. Sedangkan tidak boleh (tidak mungkin) bagi seorang Nabi untuk tidak mengetahui tentang urusan Ketuhanan.
Yang kedua adalah : Sesungguhnya melihat Allah SWT dalam konteks ayat tersebut dikaitkan/digantungkan dengan sesuatu yang mungkin terjadi yaitu "Tetapnya Gunung tersebut pada tempatnya", sedangkan sesuatu yang digantungkan dengan sesuatu yang mungkin itu bisa saja terjadi.
Kemudian ada pengingkaran dari Kalangan Mu'tazilah tentang kebolehan melihatnya seorang hamba kepada Tuhanya berdasarkan ayat tadi dengan dalih kata (لَنْ تَرَىنِيْ) "Engkau tidak akan melihat-Ku" menunjukkan ketidak-mampuan untuk melihat selamanya. Akan tetapi argument mereka telah dibantah bahwasannya Ayat tersebut tidak menunjukkan terkecuali untuk menafikan adanya Ru'yah di masa mendatang saja, tidak pula menafikan Ru'yah untuk selamanya. Andai kata melihat Allah itu terlarang, niscaya Allah akan berfirman kepada Nabi Musa dengan redkasi kata (لَنْ أُرَى) yang artinya : "Selamanya Aku tidak dapat dilihat".
Nah, ketika Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya, kemudian Tuhan berfirman dengannya seraya mewajibkan Sholat di 5 waktu yaitu Dzuhur, 'Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh yang pada awalnya diwajibkan dalam 50 waktu. Ketika beliau bertemu dengan Nabi Musa a.s., Nabi Musa berkata : "Kembalilah ke Tuhanmu, sungguh Ummatmu tidak akan mampu atas hal tersebut (Sholat di 50 waktu)". Sampai pada akhirnya Nabi Muhammad mondar-mandir antara Nabi Musa dan Tuhannya hingga Allah SWT meringankan beban Sholat menjadi 5 waktu sebagaimana yang diriwayatkan oleh banyak Imam Hadits dalam kitab-kitab mereka seperti Shohih Al-Bukhari, Shohih Muslim, Sunan al-Bayhaqi, Sunan Ibnu Majah, Shohih Ibnu Hibban dll.
(Catatan Tambahan : Ketika Nabi Muhammad SAW naik turun dari tempatnya berdialog dengan Allah SWT ke langit tempat menemui Nabi Musa a.s. banyak orang beranggapan bahwasannya Allah berada di langit, hal ini sangat salah besar. Sidratul Muntaha hanyalah tempat mulia yang dikhususkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad SAW berbicara dengan-Nya, sebagaimana Allah SWT mengajak bicara Nabi Musa a.s. di Lembah Sinai. Sebab Allah tidak butuh pada tempat dan arah sebagaimana yang diyakini dalam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah-Red).
Kemudian, di antara hal yang wajib diyakini pula oleh orang Mu'min adalah sesungguhnya Nabi Muhammad SAW menyampaikan kabar tentang Isra' dan Mi'raj serta kewajiban Sholat di 5 waktu. Sedangkan Sholat yang pertama kali nampak dalam Agama Islam adalah Sholat Dzuhur, sebab ini adalah Sholat yang pertama kali diajarkan oleh Malaikat Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun alas an belum diwajibkannya Sholat Shubuh (setelah mendapatkan perintah Sholat di malam harinya) itu dikarenakan ketidaktahuan dalam pelaksanaannya, sedangkan Sholat 5 waktu tersebut baru dijelaskan ketika sudah memasuki waktu Dzuhur.
Keadaan Manusia Dalam Menanggapi Kabar Isra' & Mi'raj
Keesokan harinya, setelah Rasulullah SAW mengalami peristiwa Isra' & Mi'raj pada malam hari beliau mengumpulkan orang-orang untuk menyampaikan tentang kabar tersebut. Bahkan pada waktu itu Orang Kafir Quraisy ingin menguji kebenaran peristiwa Isra' & Mi'raj dengan harapan Nabi Muhammad SAW terbungkam dengan ucapannya sendiri. Akhirnya Rasulullah SAW menunjukkan kepada mereka dengan beberapa pertanda, di antaranya : Sampainya Kafilah mereka sebelum terbenamnya Matahari, akan tetapi kala itu kedatangan Kafilah terlambat sehingga ditahanlah Matahari tersebut (oleh Malaikat Jibril) hingga akhirnya mereka sampai.
Pertanda lain yang disebutkan dalam Kitab-Kitab Hadits dan Siroh adalah penggambaran tentang Masjid Al-Aqsha dan pintu-pintunya. Kala itu Rasulullah SAW memasuki Masjid Al-Aqsha di malam hari sehingga tidak bisa menggambarkan (menyifati) sebab belum melihat sebelumnya. Manakala orang-orang Kafir meminta agar Rasulullah menceritakan tentang Sifat/Bentuk Masjid Al-Aqsha, maka Allah mengangkat Masjid Al-Aqsha ke penglihatan Nabi Muhammad SAW sehingga bisa memberikan gambaran detail tentang Masjid tersebut.
Di saat sebagian orang ingkar akan kabar Isra' dan Mi'raj bahkan menjadi murtad karena lemahnya Iman mereka, maka tampillah Abu Bakar r.a. untuk membenarkan kabar tersebut. Maka sejak itulah Abu Bakar mendapat julukan "Ash-Shiddiq" yang artinya adalah "Yang Membenarkan". Dan dengan kabar ini beliau telah menjaga keluarganya dengan Iman yang sempurna, sebab barang siapa yang mendustakan akan kabar Isra' maka ia telah kafir, sedangkan yang mendustakan Mi'raj ia dianggap Fasiq seperti pada awal penjelasan.
Wallahu A'lam Bish-showab
وَقَبْلَ هِجْرَةِ النَّبِيِّ الْإِسْرَا - مِنْ مَّكَّةٍ لَيْلاً لِقُدْسٍ يُدْرَى
وَبَعْدَ إِسْرَاءٍ عُرُوْجٌ لِلسَّمَا – حَــتَّى رَأَى النَّبِـيُّ رَبـًّــا كَلَّــمَا
مِنْ غَيْرِ كَيْفٍ وَانْحِصَارٍ وَافْتَرَضْ – عَلَيْهِ خَمْسًا بَعْدَ خَمْسِيْنَ فَرَضْ
وَبَلَّغَ الْأُمَّةَ بِالْإِسْرَاءِ – وَفَرْضِ خَمْسَةٍ بِلَا امْتِرَاءٍ
قَدْ فَازَ صِدِّيْقٌ بِتَصْدِيْقٍ لَهُ – وَبِالْعُرُوْجِ الصِّدْقُ وَافَى أَهْلَهُ
"Nabi Muhammad Isra' sebelum Hijrah, dari Mekah ke Baitul Maqdis pada malam hari".
"Setelah Isra beliau Mi'raj ke langit, sehingga beliau melihat Tuhan berkata (kepadanya)".
"Tidak dengan cara (percakapan pada umumnya) dan tanpa batasan tempat. Kemudian Allah mewajibkannya 5 waktu Sholat setelah sebelumnya (diwajibkan) dalam 50 waktu".
"Kemudian beliau menyampaikan (Kabar) Isra' dan kewajiban Sholat 5 waktu kepada Ummat Islam tanpa adanya keraguan".
"Telah beruntung Ash-Shiddiq (Abu Bakar) dengan membenarkannya, maka dengan Mi'raj ini beliau menjaga keluarganya (dengan Iman yang sempurna)".
Syeikh Muhammad Bin Ali Ba'athiyyah dalam Kitabnya Mujazul Kalam ketika mengomentari bait ke 46-50 dari Nadzom Aqidatul Awam tersebut menuturkan:
Di antara hal yang wajib diyakini oleh setiap Muslim dengan keyakinan yang teguh adalah peristiwa Isra' (perjalanan di malam hari) Nabi Muhammad SAW dari Mekah Al-Mukarromah ke Baitul Maqdis sebelum Hijrah ke Madinah.
Sedangkan dalam hal ini, meyakini Peristiwa Isra' merupakan hal yang harus diketahui dalam Agama Islam. Sehingga barang siapa yang mengingkarinya akan Kafir, karena Peristiwa ini telah termaktub dalam Firman Allah SWT :
سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهُ. (الإسراء : 1)
"Maha suci Dzat yang telah memperjalankan hambanya pada malam hari dari Masjidi Al-Haram ke Masjid Al-Aqsho yang telah kami berkahi sekitarnya". (QS. Al-Isra' : 1)
Kemudian setelah Isra', Nabi Muhammad SAW dimi'rajkan (dinaikkan) ke langit dengan Ruh dan Jasadnya dalam keadaan sadar (bukan mimpi) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah bahwasannya Nabi Muhammad SAW itu Mi'raj dalam keadaan mimpi. Atau Riwayat dari Sayyidah Aisyah r.a. :
"مَا فَقَدَ جَسَدُ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِرَاشَهُ".
"Sungguh jasad Nabi Muhammad SAW tidak pergi dari tempat tidurnya".
Akan tetapi menurut Ulama' mengenai riwayat dari Sayyidah Aisyah r.a. ini ketika Nabi Muhammad SAW sudah menetap di Madinah, atau kemungkinan pernah terjadi Mi'raj yang serupa tapi hanya dengan Ruhnya saja, dan inilah yang dikabarkan oleh Sayyidah Aisyah r.a. Sedangkan Mi'raj yang terjadi ketika Nabi SAW di Mekkah umur Sayyidah Aisyah r.a. masih terlampau kecil sekitar 4 tahun sehingga beliau tidak mengetahuinya.
Sedangkan dalam hal ini para pendahulu dari kalangan Sahabat bahkan telah menjadi Ijma' (kesepakatan bersama) semua Ulama di abad ke 2 Hijriyah sesugguhnya Mi'rajnya Nabi Muhammad SAW itu dengan Ruh dan Jasadnya dalam keadaan terjaga (sadar), dan barang siapa yang mengingkarinya maka ia dianggap Fasiq.
Kemudian Ulama' berpeda pendapat tentang tempat sampainya Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Mi'raj ini dalam beberapa pendapat di antaranya ada yang menyatakan sampai ke Surga, ada pula yang menyatakan sampai ke 'Arsy bahkan jauh lebih itu di atasnya 'Arsy sampai di batas Jagat Raya (Sidratul Muntaha). (Syarah Al-Aqidah Ath-Thohawiyah karya Syeikh Abdul Ghoni Al-Hanafi Ad-Dimasyqi halaman 75)
Setelah Nabi Muhammad SAW sampai di tempat Mi'raj tersebut beliau melihat Allah SWT, kemudian Allah berfirman secara langsung kepadanya. Dan hal ini (melihat Allah) termasuk hal yang Khusus yang tidak terjadi kepada siapapun di dunia ini kecuali Nabi Muhammad SAW. (Silahkan merujuk pada Kitab Al-Bajuri 'Ala Al-Jauharah)
Imam Al-Qurthubi berkata :
"قال عبد الله بن الحارث : اجتمع ابن عباس وأبي بن كعب, فقال ابن عباس: أما نحن بنو هاشم فنقول رأى ربه مرتين. ثم قال ابن عباس : أتعجبون أن الخلة تكون لإبراهيم, والكلام لموسى, والرؤية لمحمد صلى الله عليه وآله وسلم وعليهم أجمعين. قال : فكبر أبي بن كعب حتى جاوبته الجبال, ثم قال : إن الله قسم رؤيته وكلامه بين محمد وموسى عليهما السلام, فكلم موسى ورآه محمد صلى الله عليه وسلم. وحكى عبد الرزاق : أن الحسن كان يحلف بالله لقد رأى محمد ربه. وحكاه أبو عمر الطلمنكي عن عكرمة وحكاه بعض المتكلمين عن ابن مسعود والأول عنه أشهر. وحكى ابن إسحاق أن مروان سأل أبا هريرة : هل رأى محمد ربه؟ فقال : نعم. وحكى عن النقاش عن أحمد بن حنبل أنه قال : أنا أقول بحديث ابن عباس : بعينه رآه رآه ... حتى انقطع نفسه يعني نفس أحمد. إهـ الجامع لأحكام القرآن للقرطبي ج 7/156.
"Abdullah Bin Al-Harits berkata : Telah berkumpul Ibnu Abbas dan Ubay Bin Ka'ab, kemudian Ibnu Abbas berkata : Adapun kami Bani Hasyim berkata bahwasannya Nabi Muhammad SAW telah melihat Tuhannya dua kali. Kemudian Ibnu Abbas berkata lagi : Tidakkah kalian kagum sesungguhnya gelar Al-Khalil (Sang Kekasih) diperoleh Nabi Ibrahim a.s., kemudian gelar Al-kalim (Yang diajak bicara) diperoleh Nabi Musa a.s., sedangkan melihat Allah SWT diperoleh Nabi Muhammad SAW. Al-Harits berkata : Maka bertakbirlah Ubay Bin Ka'ab seraya berkata : Sesungguhnya Allah telah membagi Ru'yah & Kalamnya antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa a.s., Allah berbicara pada Nabi Musa a.s. dan memperlihatkan Nabi Muhammad SAW kepadaNya".
"Abdurrazzaq berkata : Sesungguhnya Al-Hasan telah bersumpah atas Nama Allah bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah melihat Tuhannya. Abu Umar Ath-Tholamanki meriwayatkan dari Ikrimah, dari sebagian Mutakallimin (Ulama' Ahli Kalam/Aqidah) dari Ibnu Mas'ud r.a. sedangkan yang riwayat yang pertama lebih masyhur".
"Ibnu Ishaq meriwayatkan sesungguhnya Marwan bertanya kepada Abu Hurairah : Apakah Nabi Muhammad SAW telaj melihat Tuhannya? Maka Abu hurairah menjawab : Benar".
"An-Naqqosy telah meriwayatkan dari Imam Ahmad Bin Hanbal, sesungguhnya beliau berkata : Aku berkata dengan Haditsnya Ibnu Abbas : Dengan matanya sungguh (Nabi Muhammad SAW) telah melihatNya. Sampai-sampai nafas Imam Ahmad terputus ketika mengucapkannya".
Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an Juz 7 Halaman 156 karya Imam Ath-Thobary.
Adapun Dalil secara Akal tentang diperbolehkannya melihat Allah SWT adalah : Sesungguhnya Allah itu Dzat yang wujud (ada), dan setiap yang wujud itu boleh/bisa untuk dilihat. Sehingga pada kesimpulannya Allah bisa dilihat. Sedangkan menurut Ahlussunnah Wal Jama'ah melihat Allah SWT di akherat itu diperoleh juga bagi orang-orang yang beriman berdasarkan dalil dari Al-Qur'an dan Hadits.
Dalil dari Al-Qur'an :
وُجُوْهٌ يَّوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ. (القيامة : 22-23)
"Wajah-wajah (orang-orang Mu'min) pada hari itu berseri-seri, memandang kepada Tuhannya". (QS. Al-Qiyamah : 22-23)
لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوْا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ... (يونس : 26)
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah)". (QS. Yunus : 26)
Kata (الْحُسْنَى : Al-Husna) dalam ayat ini diterjemahkan oleh kebanyakan Ahli Tafsir dengan makna "Surga", sedangkan kata (زِيَادَةٌ: Ziyadah) diterjemahkan dengan makna "Melihat Allah".
Dalil dari Hadits :
"إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ فِي لَيْلَةِ الْبَدْرِ ..." رواه الترمذي
"Sungguh kalian (Mu'minin) akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat Bulan pada malam Purnama…" HR. Imam Tirmidzi
Kemudian ada pula do'a yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah SAW :
"وَارْزُقْنَا النَّظْرَ إِلَى وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ ..."
"Dan anugrahilah kami untuk melihat Dzat-Mu yang mulia…"
Dari Ijma' :
Sesungguhnya Para Sahabat Nabi Muhammad SAW telah bersepakat (Ijma') tentang bolehnya melihat Dzat Allah kelak di Akherat. Imam Malik r.a. berkata : "Ketika Allah menutup para musuhNya maka mereka tidak bisa melihatNya".
Andai kata Orang Mu'min itu tidak bisa melihat Tuhan mereka di Akherat niscaya allah tidak akan mencela orang-orang kafir dari keterhalangan mereka untuk melihat Dzat-Nya. Sebagaimana Firman Allah SWT yang berikut ini :
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ. (المطففين : 15)
"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya pada hari itu mereka (orang kafir) terhalang dari (melihat) Tuhannya". (QS. Al-Muthoffifin : 15)
Imam Syafi'i r.a. berkata :
"لما حجب قوما بالسخط, دل على أن قوما يرونه بالرضا".
"Ketika suatu kaum (Kafir) dihalangi karena kemaran (Allah) hal ini menunjukkan kaum lainnya (Mu'minin) melihatNya dengan Ridha".
Sedangkan Ru'yah (melihat) ini terjadi tidak seperti kita melihat teman kita, tidak pula serupa dengan cara penglihatan yang terjadi pada Mahluk lainnya dengan saling berhadapan dan menempati arah dan tempat. Serta tanpa batasan bagi yang terlihat dari yang melihatnya sekiranya diliputi. Karena bagi Allah itu sangat Mustahil jika dibatasi dengan tempat, ruang dan arah. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an :
"لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ". (الأنعام : 103)
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah yang Maha Lembut lagi Maha teliti." (QS. Al-An'am : 103)
Melihat Dzat Allah SWT ini bisa didapat oleh semua orang yang beriman baik dari kalangan Manusia maupun kalangan Jin, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan Ahli Fatroh (orang yang hidup di antara masa dua Rasul, tidak menemui yang pertama dan tidak pula menemui yang ke dua seperti masa antara Nabi Isa a.s dan nabi Muhammad SAW) dan Malaikat juga bisa melihat Allah. Sedangkan orang-orang yang Munafik dan Kafir tidak bisa melihatNya sebagaimana Firman Allah SWT :
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ. (المطففين : 15)
"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya pada hari itu mereka (orang kafir) terhalang dari (melihat) Tuhannya". (QS. Al-Muthoffifin : 15)
Sebab mereka (Munafik & Kafir) tidak termasuk dari orang-orang yang dimuliakan oleh Allah. Jadi pada kesimpulannya melihat Allah SWT itu sesuatu yang mungkin terjadi sebagaimana Firman Allah SWT kepada Nabi Musa a.s. di saat beliau meminta kepada Allah untuk melihatnya :
"رَبِّ أَرِنِيْ أَنْظُرُ إِلَيْكَ, قَالَ لَنْ تَرَىنِيْ وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَىنِيْ". (الأعراف : 143 )
"Wahai Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku bisa melihat Engkau, (Allah) berfirman : "Engkau tidak akan melihat-Ku, akan tetapi lihat kepada Gunung itu apabila ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku". (QS. Al-A'raf 143)
Dalam ayat ini terdapat 2 pembahasan, yang pertama : Apabila melihat Allah SWT itu terlarang di dunia niscaya Nabi Musa a.s. tidak akan meminta hal tersebut, sebab beliau adalah Nabi yang mengetahui apa saja yang Wajib, yang Mustahil dan yang Jaiz (boleh) bagi Allah SWT. Sedangkan tidak boleh (tidak mungkin) bagi seorang Nabi untuk tidak mengetahui tentang urusan Ketuhanan.
Yang kedua adalah : Sesungguhnya melihat Allah SWT dalam konteks ayat tersebut dikaitkan/digantungkan dengan sesuatu yang mungkin terjadi yaitu "Tetapnya Gunung tersebut pada tempatnya", sedangkan sesuatu yang digantungkan dengan sesuatu yang mungkin itu bisa saja terjadi.
Kemudian ada pengingkaran dari Kalangan Mu'tazilah tentang kebolehan melihatnya seorang hamba kepada Tuhanya berdasarkan ayat tadi dengan dalih kata (لَنْ تَرَىنِيْ) "Engkau tidak akan melihat-Ku" menunjukkan ketidak-mampuan untuk melihat selamanya. Akan tetapi argument mereka telah dibantah bahwasannya Ayat tersebut tidak menunjukkan terkecuali untuk menafikan adanya Ru'yah di masa mendatang saja, tidak pula menafikan Ru'yah untuk selamanya. Andai kata melihat Allah itu terlarang, niscaya Allah akan berfirman kepada Nabi Musa dengan redkasi kata (لَنْ أُرَى) yang artinya : "Selamanya Aku tidak dapat dilihat".
Nah, ketika Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya, kemudian Tuhan berfirman dengannya seraya mewajibkan Sholat di 5 waktu yaitu Dzuhur, 'Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh yang pada awalnya diwajibkan dalam 50 waktu. Ketika beliau bertemu dengan Nabi Musa a.s., Nabi Musa berkata : "Kembalilah ke Tuhanmu, sungguh Ummatmu tidak akan mampu atas hal tersebut (Sholat di 50 waktu)". Sampai pada akhirnya Nabi Muhammad mondar-mandir antara Nabi Musa dan Tuhannya hingga Allah SWT meringankan beban Sholat menjadi 5 waktu sebagaimana yang diriwayatkan oleh banyak Imam Hadits dalam kitab-kitab mereka seperti Shohih Al-Bukhari, Shohih Muslim, Sunan al-Bayhaqi, Sunan Ibnu Majah, Shohih Ibnu Hibban dll.
(Catatan Tambahan : Ketika Nabi Muhammad SAW naik turun dari tempatnya berdialog dengan Allah SWT ke langit tempat menemui Nabi Musa a.s. banyak orang beranggapan bahwasannya Allah berada di langit, hal ini sangat salah besar. Sidratul Muntaha hanyalah tempat mulia yang dikhususkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad SAW berbicara dengan-Nya, sebagaimana Allah SWT mengajak bicara Nabi Musa a.s. di Lembah Sinai. Sebab Allah tidak butuh pada tempat dan arah sebagaimana yang diyakini dalam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah-Red).
Kemudian, di antara hal yang wajib diyakini pula oleh orang Mu'min adalah sesungguhnya Nabi Muhammad SAW menyampaikan kabar tentang Isra' dan Mi'raj serta kewajiban Sholat di 5 waktu. Sedangkan Sholat yang pertama kali nampak dalam Agama Islam adalah Sholat Dzuhur, sebab ini adalah Sholat yang pertama kali diajarkan oleh Malaikat Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun alas an belum diwajibkannya Sholat Shubuh (setelah mendapatkan perintah Sholat di malam harinya) itu dikarenakan ketidaktahuan dalam pelaksanaannya, sedangkan Sholat 5 waktu tersebut baru dijelaskan ketika sudah memasuki waktu Dzuhur.
Keadaan Manusia Dalam Menanggapi Kabar Isra' & Mi'raj
Keesokan harinya, setelah Rasulullah SAW mengalami peristiwa Isra' & Mi'raj pada malam hari beliau mengumpulkan orang-orang untuk menyampaikan tentang kabar tersebut. Bahkan pada waktu itu Orang Kafir Quraisy ingin menguji kebenaran peristiwa Isra' & Mi'raj dengan harapan Nabi Muhammad SAW terbungkam dengan ucapannya sendiri. Akhirnya Rasulullah SAW menunjukkan kepada mereka dengan beberapa pertanda, di antaranya : Sampainya Kafilah mereka sebelum terbenamnya Matahari, akan tetapi kala itu kedatangan Kafilah terlambat sehingga ditahanlah Matahari tersebut (oleh Malaikat Jibril) hingga akhirnya mereka sampai.
Pertanda lain yang disebutkan dalam Kitab-Kitab Hadits dan Siroh adalah penggambaran tentang Masjid Al-Aqsha dan pintu-pintunya. Kala itu Rasulullah SAW memasuki Masjid Al-Aqsha di malam hari sehingga tidak bisa menggambarkan (menyifati) sebab belum melihat sebelumnya. Manakala orang-orang Kafir meminta agar Rasulullah menceritakan tentang Sifat/Bentuk Masjid Al-Aqsha, maka Allah mengangkat Masjid Al-Aqsha ke penglihatan Nabi Muhammad SAW sehingga bisa memberikan gambaran detail tentang Masjid tersebut.
Di saat sebagian orang ingkar akan kabar Isra' dan Mi'raj bahkan menjadi murtad karena lemahnya Iman mereka, maka tampillah Abu Bakar r.a. untuk membenarkan kabar tersebut. Maka sejak itulah Abu Bakar mendapat julukan "Ash-Shiddiq" yang artinya adalah "Yang Membenarkan". Dan dengan kabar ini beliau telah menjaga keluarganya dengan Iman yang sempurna, sebab barang siapa yang mendustakan akan kabar Isra' maka ia telah kafir, sedangkan yang mendustakan Mi'raj ia dianggap Fasiq seperti pada awal penjelasan.
Wallahu A'lam Bish-showab
Senin, 22 Februari 2016
SEPULUH PINTU MASUK IBLIS KE DALAM HATI MANUSIA
Bismillaah....
Fitrah hati adalah menerima hidayah dan menerima nafsu syahwat. Kedua kecenderungan ini bergumul di dalah hati secara terus-menerus, laksana dua tentara yang saling bertikai, tentara malaikat dan tentara syetan, hingga akhirnya hati menerima salah satu di antara keduanya, yang satu bersemayam, yang satunya lagi menyingkir karena kalah.
Ini yang seperti digambarkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dalam firmanNya:
“Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” [Qs. An-Nas: 4]
Hati ibarat sebuah benteng, dan syetan adalah musuh yang ingin masuk memasuki benteng untuk menguasai dan merebutnya. Benteng tidak mungkin terlindungi, kecuali terjaga pintu-pintunya. Seseorang tidak dapat menyingkirkan syetan bila ia tidak mengetahui pintu-pintu masuknya.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati.” [HR. Imam al-Bukhari No. 52, 2051 & Muslim No. 1599]
Berapa banyak jumlah pintunya? Sangat banyak pintunya,diantaranya pintu besar yang menjadi jalan utama yang tidak pernah sempit karena banyaknya tentara syetan.Yaitu antara lain:
Pertama,kedengkian dan sifat tamak (rakus).
Jika seseorang tamak akan sesuatu,maka akan membuatnya tuli dan buta. Namun tetap saja cahaya bashirah (mata hati/hati nurani) akan memberitahukan pintu-pintu masuk mana saja yang dilalui syetan. Apabila cahaya ini sudah tertutup kedengkian dan ketamakan, maka dia tidak dapat melihatnya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: _“Anak Adam menjadi tua, namun dua perkara menjadi besar bersamanya, cinta harta dan panjang umur”._ [HR. Imam al-Bukhari No. 6421]
Kedua,yakni amarah,syahwat dan keras hati.
Amarah merupakan bius bagi akal. Bila tentara akal melemah,maka tentara syetan maju melakukan penyerangan dan mempermainkan manusia.Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu: Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: _“Berilah wasiat kepadaku,”_ Nabi menjawab, ”Janganlah engkau marah,” laki-laki tadi mengulangi berulang kali, beliau shallallahu 'alaihi wasallam (tetap) bersabda: “Janganlah engkau marah.” [HR. Imam al-Bukhari No. 6116]
Ketiga,suka menghias isi rumah,pakaian dan perkakas.
Orang seperti ini ingin senantiasa mempercantik rumahnya, merubah atapnya, temboknya, memperluas bangunannya, membaguskan pakaiannya dan perkakas rumah tangganya, sehingga ia pun merasa rugi karena sepanjang usia hanya memikirkan hal tersebut. Padahal umur merupakan salah satu nikmat Allah subhanahu wa ta'ala yang akan ditanyakan penggunaannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu , Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Telapak kaki anak Adam tidak akan bergeser dari sisi Rabbnya pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang lima (perkara): Tentang umurnya, untuk apa dia telah menghabiskannya; tentang masa mudanya, untuk apa dia telah menggunakannya; tentang hartanya, dari mana dia memperolehnya, dan untuk apa dia membelanjakannya; dan apa yang telah dia amalkan dari ilmu yang telah dia ketahui.” [HR. at-Tirmidzi No. 2416]
Keempat,kenyang dengan makanan juga pintu masuknya syetan ke hati manusia karena jika kenyang,maka gejolak syahwat seseorang akan menguat sehingga mengabaikan ketaatan.
Nabi shallallahu 'alaihimwasallam mengatakan bahwa seburuk-buruk wadah yang dipenuhi oleh manusia adalah perut.
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk dari pada perut. Manusia mencukupi beberapa suap yang menegakkan tulang punggungnya. Jika keinginannya mengalahkannya (untuk menambah makan), maka sepertiga (perutnya) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafas.” [HR. Ibnu Majah No. 3349 & at-Tirmidzi No. 2380]
Kelima,tamak (rakus) terhadap orang lain.
Siapa yang tamak terhadap orang lain, maka ia sedang memuji orang tersebut dengan pujian yang tidak selayaknya,mencari muka, tidak menyuruhnya kepada yang ma’ruf dan tidak mencegahnya dari yang munkar.
Keenam,terburu-buru dan tidak memiliki keteguhan hati.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Terburu-buru itu dari syetan dan berhati-hati itu dari Allah.” [HR At-Tirmizi No. 2012]
Ketujuh,cinta terhadap harta.
Selama cinta terhadap harta bersemayam di dalam hati, maka ia akan merusaknya, sehingga mendorong kepada pencarian harta dengan cara yang tidak benar, membawanya kepada sifat kikir, takut miskin dan mencegahnya mengeluarkan hak yang diwajibkan.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripadaNya dan karunia dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Mahamengatahui.” [QS. al-Baqarah: 268]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu , Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengingatkan akhir perjalanan harta manusia dengan sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
“Seorang hamba berkata: “Hartaku, hartaku,” padahal harta yang dia miliki hanyalah tiga. (Yaitu): yang telah ia makan, lalu dia membinasakannya; yang telah ia pakai, lalu dia menjadikannya usang; yang telah dia berikan (shadaqah karena Allah Ta’ala), lalu ia pasti akan memilikinya. Adapun selain itu, maka ia akan pergi dan meninggalkannya untuk manusia (yaitu ahli warisnya).” [HR. Imam Muslim No. 2959]
Kedelapan,mengajak orang-orang awam kepada fanatisme mazhab,tanpa melaksanakan amalan sesuai esensinya (kepentingannya).
Kesembilan,mengajak orang-orang awam untuk berfikir mengenai Dzat Allah subahanahu wa ta'ala,sifat-sifatNya dan masalah-masalah yang sebenarnya di luar jangkauan akal mereka,sehingga membuat mereka ragu terhadap dasar agama.Karena sesungguhnya akal manusia terbatas,dan ia tidak mampu memikirkan Dzat Allah subhanahu wa ta'ala.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu berfikir tentang (dzat) Allah ‘Azza wa Jalla.” [Silsilah ash-Shahîhah No. 1788]
Kesepuluh,berburuk sangka terhadap kaum muslimin.
Melalui pintu ini, syetan ingin memutuskan tentang diri seorang Muslim berdasarkan buruk sangka, melecehkannya, mengatakan yang macam-macam tentang dirinya dan melihat dirinya lebih baik darinya. buruk sangka bisa dibuat sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan selera orang yang buruk sangka. Orang mukmin adalah yang memaafkan orang mukmin lainnya, sedangkan orang munafik adalah yang mencari-cari keburukan. Maka setiap orang harus hati-hati terhadap titik-titik sensitif yang sering memancing tuduhan, agar orang lain tidak buruk sangka kepadanya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu , Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Jauhilah persangkaan, karena sesungguhnya persangkaan itu adalah berita yang paling dusta. Dan janganlah engkau mencari-cari (mendengarkan) berita tentang kejelakan manusia, janganlah engkau menyelidiki cacat-cacat manusia, janganlah engkau saling melakukan tipu daya, janganlah engkau saling hasad, janganlah engkau saling membenci, janganlah engkau saling membelakangi. Jadilah engkau hamba-hamba Allah yang bersaudara.” [HR. Bukhari No. 6066 & Imam Muslim No. 2563]
Itulah sepuluh pintu masuk bagi syetan.Cara terapinya adalah menutup pintu-pintunya dengan cara membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela.
Rabu, 17 Februari 2016
TAKDIR MUBROM & GHOIRU MUBROM (MU'ALLAQ)
Qodlo/ketetapan Alloh swt/ takdir yang bisa dirubah adalah qodlo yang Ghoiru Mubrom, sebagaiman Syekh zaid Al-manawi menerangkan dalam Faidul Qodir II/83 “memperbanyak doa dapat menolak/ merubah Qadlo Alloh swt yang Ghoiru Mubrom” yaitu ketetapan Alloh yang sudah ditetapkan di Lauhil Mahfudz, atau yang sudah tertulis dicatatan para Malaikat akan tetapi tdk ILMU-AZALY karena ILMU AZALY (tdk bisa berubah) bertambah & berkurang.
( لا يغني حذر من قدر ) تمامه عند الحاكم والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل فيتلقاه الدعاء فيعتلجان إلى يوم القيامة اه بنصه فيستعمل العبد الحذر المأمور به من الأسباب وأدوية الأمراض والاحتراز في المهمات معتقدا أنه لا يدفع القضاء المبرم وإنما يدفع الدواء والتحرز قضية معلقة بشرط غير مبرم
فيض القدر:5/452
Maqolah Al-Qodli: Qodlo adalah irodah Alloh swt yang AZALY yang sudah ditetapkan atas perkara yang sudah terjadi, secara terperinci atau tartib atas kejadiannya, sedangkan TAQDIR bersifat TA’ALUQ (berhubungan) dengan beberapa perkara dan IRODAH (kehendak Alloh swt).
Penjelasan ini juga dilanjutkan ulang oleh Syekh Zaid Al-manawi pada pembahasan berikutnya V/452 bahwa doa dapat memberi kemanfaat atas perkara yang akan turun (terjadi) atau yang tdk terjadi dengan syarat TAKDIR GHORU MUBROM.
وأما بخصوص الزواج فهو كسائر رزق العبد، ولكن القضاء نوعان: قضاء مبرم: وهو القدر الأزلي، وهو لا يتغير، وقضاء معلق: وهو الذي في الصحف التي في أيدي الملائكة، فإنه يقال: اكتبوا عمر فلان إن لم يتصدق فهو كذا وإن تصدق فهو كذا. وفي علم الله وقدره الأزلي أنه سيتصدق أو لا يتصدق، فهذا النوع من القدر ينفع فيه الدعاء والصدقة لأنه معلق عليهما.
فتاوي السبكى الإسلامية: 1:2476 المكتبة الشملة
Adapun Kekhususan jodoh spt Rizqi seorang hamba, akan tetapi qodlo’ ada dua maca yaitu Qodlo Mubrom adalah bersifa TAKDIR AZALY yang tdk bias berubah, dan Qodlo Mu’alaq adalah takdir yang tertulis atas kekuasaan para malaikat, spt gambaran tulislah umur fulan jika tdk mau bershodaqoh dengan demikian demikian. Yang demikian itu mua’allaq (bergantung) atas ketetapan Alloh swt yang Azaly apakah fulan tersebut akan bershodaqoh atau tdk?
Jika fulan tersebut bershodaqoh, maka termasuk jenis doa & shodaqoh yang memberi kemanfaatan atas Takdir Ghoiru Mubrom Alloh swt, karena keduanya (bedoa & shodaqoh) member kemanfaatan qodlo/takdir Alloh swt yang Ghoiru Mubrom.
Jadi kesimpulannya takdir memang ada dua maca Takdir Mubrom & Ghoiru Mubrom, Takdir Mubrom adalah takdir yang tdk bias berubah sedangkan Ghoiru Mubrom dapat berubah dengan berdoa memohon kepada Alloh swt, Bershodaqoh, dan berikhtiar.
sebagaimana firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 39 yang berbunyi:
يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz).”
Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengucapkan dalam do’anya yaitu “Ya Allah jika engkau telah menetapkan aku sebagai orang yang celaka maka hapuslah kecelakaanku, dan tulislah aku sebagai orang yang bahagia”.
TAKDIR MU'ALLAQ (Takdir Yang Diikuti Sebab Akibat)
Takdir yang berupa penggiringan hal-hal yang telah ditetapkan kepada waktu-waktu DAN HAL- HAL yang telah ditentukan. Gambarannya: “Seandainya hambaku berdo’a atau bersilaturrahmi dan berbakti kepada kedua orang tua, maka Aku jadikan dia begini, jika dia tak berdo’a dan tidak bersilaturrahmi serta durhaka kepada kedua orang tua, maka ia Aku jadikan seperti ini
Dalam salah satu hadits lain Nabi Muhammad saw pernah bersabda;
إنَّ الدُّعَاءَ وَالبَلاَءَ بَيْنَ السَّمَاءِ والاَرْضِ يَقْتَتِلاَنِ وَيَدْفَعُ الدُّعَاءُ البَلاَءَ قَبْلَ أنْ يَنْزِلَ
“Sesungguhnya doa dan bencana itu diantara langit dan bumi, keduanya berperang; dan doa dapat menolak bencana, sebelum bencana tersebut turun.”
Khalifah Umar bin khattab, suatu ketika, pernah mau berkunjung ke Syam ( Yordania, Palestina, Suriah dan sekitarnya). pada saat itu di Syam sedang berjangkit penyakit menular, lalu Umar membatalkan rencananya tersebut. pembatalan tersebut didengar oleh seorang sahabatnya yang kemudian berkata : “Apakah anda mau lari dari takdir Allah ?”. Umar pun menjawab: “Aku lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain yang lebih baik”..
Kisah sayyidina umar diatas mengindikasikan bahwa kita ini berhak memilih ,mau dibawa kemana badan kita, keburukan atau kebaikan , surga atau neraka, tp semua itu lagi2 atas penetapan allah, kita cuman bisa berikhtiyar do'a dan melakukan kebaikan.. yg jelas antara kita dan allah itu ada imbal baliknya, kita bertaqorrub kpd allah allahpun akan mendekat, kita menjauhi Allah, allahpun juga akan menjauhi kita..
insya'allah gambaranya seperti itu, semoga pas dan mengenai sasaran.. Wallahua'lam.
( لا يغني حذر من قدر ) تمامه عند الحاكم والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل فيتلقاه الدعاء فيعتلجان إلى يوم القيامة اه بنصه فيستعمل العبد الحذر المأمور به من الأسباب وأدوية الأمراض والاحتراز في المهمات معتقدا أنه لا يدفع القضاء المبرم وإنما يدفع الدواء والتحرز قضية معلقة بشرط غير مبرم
فيض القدر:5/452
Maqolah Al-Qodli: Qodlo adalah irodah Alloh swt yang AZALY yang sudah ditetapkan atas perkara yang sudah terjadi, secara terperinci atau tartib atas kejadiannya, sedangkan TAQDIR bersifat TA’ALUQ (berhubungan) dengan beberapa perkara dan IRODAH (kehendak Alloh swt).
Penjelasan ini juga dilanjutkan ulang oleh Syekh Zaid Al-manawi pada pembahasan berikutnya V/452 bahwa doa dapat memberi kemanfaat atas perkara yang akan turun (terjadi) atau yang tdk terjadi dengan syarat TAKDIR GHORU MUBROM.
وأما بخصوص الزواج فهو كسائر رزق العبد، ولكن القضاء نوعان: قضاء مبرم: وهو القدر الأزلي، وهو لا يتغير، وقضاء معلق: وهو الذي في الصحف التي في أيدي الملائكة، فإنه يقال: اكتبوا عمر فلان إن لم يتصدق فهو كذا وإن تصدق فهو كذا. وفي علم الله وقدره الأزلي أنه سيتصدق أو لا يتصدق، فهذا النوع من القدر ينفع فيه الدعاء والصدقة لأنه معلق عليهما.
فتاوي السبكى الإسلامية: 1:2476 المكتبة الشملة
Adapun Kekhususan jodoh spt Rizqi seorang hamba, akan tetapi qodlo’ ada dua maca yaitu Qodlo Mubrom adalah bersifa TAKDIR AZALY yang tdk bias berubah, dan Qodlo Mu’alaq adalah takdir yang tertulis atas kekuasaan para malaikat, spt gambaran tulislah umur fulan jika tdk mau bershodaqoh dengan demikian demikian. Yang demikian itu mua’allaq (bergantung) atas ketetapan Alloh swt yang Azaly apakah fulan tersebut akan bershodaqoh atau tdk?
Jika fulan tersebut bershodaqoh, maka termasuk jenis doa & shodaqoh yang memberi kemanfaatan atas Takdir Ghoiru Mubrom Alloh swt, karena keduanya (bedoa & shodaqoh) member kemanfaatan qodlo/takdir Alloh swt yang Ghoiru Mubrom.
Jadi kesimpulannya takdir memang ada dua maca Takdir Mubrom & Ghoiru Mubrom, Takdir Mubrom adalah takdir yang tdk bias berubah sedangkan Ghoiru Mubrom dapat berubah dengan berdoa memohon kepada Alloh swt, Bershodaqoh, dan berikhtiar.
sebagaimana firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 39 yang berbunyi:
يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz).”
Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengucapkan dalam do’anya yaitu “Ya Allah jika engkau telah menetapkan aku sebagai orang yang celaka maka hapuslah kecelakaanku, dan tulislah aku sebagai orang yang bahagia”.
TAKDIR MU'ALLAQ (Takdir Yang Diikuti Sebab Akibat)
Takdir yang berupa penggiringan hal-hal yang telah ditetapkan kepada waktu-waktu DAN HAL- HAL yang telah ditentukan. Gambarannya: “Seandainya hambaku berdo’a atau bersilaturrahmi dan berbakti kepada kedua orang tua, maka Aku jadikan dia begini, jika dia tak berdo’a dan tidak bersilaturrahmi serta durhaka kepada kedua orang tua, maka ia Aku jadikan seperti ini
Dalam salah satu hadits lain Nabi Muhammad saw pernah bersabda;
إنَّ الدُّعَاءَ وَالبَلاَءَ بَيْنَ السَّمَاءِ والاَرْضِ يَقْتَتِلاَنِ وَيَدْفَعُ الدُّعَاءُ البَلاَءَ قَبْلَ أنْ يَنْزِلَ
“Sesungguhnya doa dan bencana itu diantara langit dan bumi, keduanya berperang; dan doa dapat menolak bencana, sebelum bencana tersebut turun.”
Khalifah Umar bin khattab, suatu ketika, pernah mau berkunjung ke Syam ( Yordania, Palestina, Suriah dan sekitarnya). pada saat itu di Syam sedang berjangkit penyakit menular, lalu Umar membatalkan rencananya tersebut. pembatalan tersebut didengar oleh seorang sahabatnya yang kemudian berkata : “Apakah anda mau lari dari takdir Allah ?”. Umar pun menjawab: “Aku lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain yang lebih baik”..
Kisah sayyidina umar diatas mengindikasikan bahwa kita ini berhak memilih ,mau dibawa kemana badan kita, keburukan atau kebaikan , surga atau neraka, tp semua itu lagi2 atas penetapan allah, kita cuman bisa berikhtiyar do'a dan melakukan kebaikan.. yg jelas antara kita dan allah itu ada imbal baliknya, kita bertaqorrub kpd allah allahpun akan mendekat, kita menjauhi Allah, allahpun juga akan menjauhi kita..
insya'allah gambaranya seperti itu, semoga pas dan mengenai sasaran.. Wallahua'lam.
Senin, 15 Februari 2016
Dan Mu'adz R.A. Pun Menangis
Ibnu Mubarak menceritakan bahwa Khalid bin Makdam berkata kepada Mu’adz radliyallahu ‘anhum ajma’in, “Mohon, engkau kisahkan sebuah hadits Rasulullah yang engkau hafal dan yang engkau anggap paling berkesan!” Kata Mu’adz, “Baik, aku akan mengisahkan.” Belum lagi memulai kisahnya, Mu’adz tampak menangis. Katanya kemudian, “Hhmmm... rindu sekali rasanya aku kepada Rasulullah. Ingin sekali aku dapat bertemu beliau.” Dia lalu melanjutkan perkataannya, “Ketika aku menghadap Rasulullah shollallaahu ‘alayhi wa sallama, beliau sedang menunggang unta, dan beliau memintaku agar naik di belakang beliau. Kemudian berangkatlah kami dengan menunggang unta itu. Di tengah perjalanan, sekonyong-konyong beliau menengadah ke langit dan bersabda:
“Puji syukur ke hadirat Allah yang telah menentukan qadla’ atas makhluk menurut kehendak-Nya, hai Mu’adz.”
Jawabku, “Benar, ya Sayyidil Mursalin.”
Sabda beliau shollallaahu ‘alayhi wa sallama kemudian, “Aku ingin mengisahkan sebuah riwayat kepadamu. Apabila kamu menghafalnya, akan sangat berguna bagimu. Tetapi jika kamu memandangnya remeh, maka kelak kamu tidak akan memiliki hujjah di hadapan Allah.
Hai, Mu’adz! Sebelum menciptakan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh malaikat. Pada setiap langit terdapat satu malaikat pengawal pintu menurut derajat pintu dan keagungannya. Kemudian, naiklah malaikat Hafadhah (malaikat yang bertugas mengawasi amal hamba) membawa amalan si hamba dengan kemilau cahaya bagaikan matahari. Sesampainya pada langit bumi, malaikat Hafadhah memuji-muji amalan itu. Tetapi setibanya pada pintu langit pertama, malaikat pengawal berkata kepada malaikat Hafadhah, ‘Tamparkan amal ini ke muka pemiliknya! Aku adalah pengawas orang-orang yang suka mengumpat. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar menolak amalan-amalan orang yang suka mengumpat, dan supaya aku tidak membiarkannya melewatiku.’
Keesokan harinya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amal shaleh yang berkilau yang dipandangnya sangat banyak dan terpuji. Sesampainya ke langit kedua (ia lolos dari malaikat penjaga pintu langit pertama, sebab pemiliknya bukan seorang pengumpat), malaikat pengawal berkata, ‘Berhenti, dan lemparkanlah amalan ini ke muka pemiliknya! Sebab, dia beramal dengan mengharapkan dunia, aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku.’ Maka, para malaikat melaknat orang itu. Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amalan seorang hamba yang sangat memuaskan, penuh sedekah, puasa dan berbagai kebajikan, yang oleh malaikat Hafadhah dianggapnya sangat mulia dan terpuji. Sesampai di langit ketiga (ia lolos dari malaikat penjaga pintu langit pertama dan kedua, sebab pemiliknya bukan seorang pengumpat/pengharap dunia), malaikat pengawal berkata, ‘Berhenti! Tamparkan amal itu ke muka pemiliknya. Aku malaikat penjaga sifat sombong. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar aku tidak membiarkannya melewatiku. Sesungguhnya dia telah bersikap sombong kepada manusia dalam majelis-majelis mereka.’ Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amal hamba lainnya yang terang berkilauan bagaikan bintang dan mengeluarkan suara gemuruh, penuh tasbih, puasa, salat, haji dan umrah. Sesampainya di langit keempat (ia lolos dari malaikat pengawal pintu pertama, kedua dan ketiga, sebab pemiliknya bukan seorang pengumpat/pengharap dunia/sombong), malaikat pengawal berkata, ‘Berhenti! Tamparkan amal itu ke muka pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga ujub. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku. Sesungguhnya dia beramal dengan disertai ujub.
Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amalan hamba lainnya, yang sangat baik dan mulia, penuh jihad, haji, umrah, sehingga bercahaya seperti kilauan matahari. Sesampainya di langit kelima (ia lolos dari malaikat pengawal pintu pertama, kedua, ketiga dan keempat, sebab pemiliknya bukan orang pengumpat/pengharap dunia/sombong/ujub), malaikat pengawal berkata, ‘Aku malaikat penjaga hasud. Walaupun amalannya amat bagus, namun dia suka hasud kepada orang lain yang memperoleh kenikmatan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, berarti dia membenci Dzat yang meridhai. Sesungguhnya aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku.’
Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amalan hamba lainnya, yang berupa wudlu’ yang sempurna, shalat yang banyak, puasa, haji dan umrah. Sesampainya di langit keenam (ia lolos dari malaikat pengawal pintu langit pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, sebab pemiliknya bukan seorang pengumpat/pengharap dunia/sombong/ujub/hasud), malaikat pengawal berkata, ‘Aku malaikat penjaga rahmat belas-kasih. Berhenti! Tamparkan amal ini ke muka pemiliknya. Selama hidupnya, orang ini tidak pernah mengasihi orang lain, bahkan dia merasa senang jika melihat yang lainnya ditimpa musibah. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku.’
Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit tujuh, membawa amalan yang lebih baik dari yang lalu, berupa sedekah, puasa, shalat, jihad dan wara’. Suaranya menggelegar bagai petir menyambar-nyambar dan bercahaya bagai kilat. Sesampainya di langit tujuh, malaikat pengawal berkata, ‘Aku malaikat penjaga sum’at (tidak ingin terkenal). Sesungguhnya pemilik amal ini menginginkan kemasyhuran dalam setiap perkumpulan; menginginkan derajat tinggi di waktu berkumpul dengan kawan-kawan sebaya; ingin mendapatkan pengaruh dari para pemimpin. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku. Sebab, ibadah yang bukan karena Allah adalah riya’, dan Dia tidak menerima amal ibadah orang-orang ahli riya’.’ Kemudian malaikat Hafadhah kembali naik ke langit membawa amal dan ibadah seorang hamba berupa ibadah shalat, puasa, haji, umrah, akhlak mulia, pendiam, suka berdzikir kepada Allah, dengan diiringi para malaikat dari tujuh lapis langit, hingga terbukalah seluruh hijab menuju kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Dan para malaikat itu mengantarkan serta mempersaksikan padaNya akan amal sholih (yang dilakukan dengan) ikhlas karena Allah Ta’ala.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala kemudian berfirman, “Hai, Hafadhah! Malaikat Pencatat Amal HambaKu! Aku-lah yang Maha Mengetahui akan segala isi hatinya. Sesungguhnya dia beramal bukan untukku, tetapi diperuntukkan bagi selain Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk-Ku. Aku adalah lebih Mengetahui daripada kalian. Aku laknat mereka yang telah menipu orang lain dan menipu kalian (para malaikat Hafadhah). Tetapi Aku tidaklah akan pernah tertipu olehnya. Aku-lah Yang Maha Mengetahui akan hal-hal yang ghaib; Aku Maha Mengetahui akan segala isi hatinya; yang samar tidaklah samar bagiKu; setiap yang tersembunyi tidaklah tersembunyi bagiKu; Pengetahuan-Ku atas yang telah terjadi sama dengan Pengetahuan-Ku atas sesuatu yang belum terjadi; Pengetahuan-Ku atas segala sesuatu yang telah lewat sama dengan Pengetahuan-Ku atas yang akan datang; Pengetahuan-Ku atas orang-orang terdahulu sama dengan Pengetahuan-Ku atas orang-orang kemudian. Aku lebih Mengetahui atas segala sesuatu yang samar dan terahasiakan. Bagaimana bisa hambaKu menipu dengan amalannya. Mereka dapat saja menipu sesama makhluk, tetapi Aku Maha Mengetahui akan hal-hal yang ghaib. Aku laknat dia!!’ Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat berkata, ‘Ya, Tuhan! Dengan demikian, tetaplah laknatMu dan laknat kamu atasnya!’ Kemudian, semua yang berada di langit sama mengucapkan, ‘Tetaplah laknat Allah kepadanya dan laknat semua yang melaknat!!”
Demi mendengar semua itu, Mu’adz lantas menangis tersedu-sedu, kemudian berkata, “Ya, Rasulallah! Bagaimana kita dapat selamat dari semua yang engkau sebutkan tadi?”
Jawab beliau shollallaahu ‘alayhi wa sallama, “Hai, Mu’adz! Ikutilah Nabimu dalam perkara agama!”
Aku (Mu’adz) berkata, “Engkau adalah Rasulullah, sedangkan aku hanyalah Mu’adz bin Jabal. Bagaimana aku dapat selamat dari bahaya itu?”
Beliau shollallaahu ‘alayhi wa sallama bersabda, “Kamu benar, hai Mu’adz.
Apabila dalam amal perbuatanmu terdapat kekurangan, maka tahanlah lidahmu jangan sampai menjelek-jelekkan orang, terutama saudara-saudaramu sesama penganut ajaran Al-Qur’an. Janganlah kamu jelek-jelekkan mereka, sebab pada dirimu pun terdapat cela.
·Janganlah kamu sok suci dengan memandang hina saudara-saudaramu.
·Janganlah kamu perlihatkan amal perbuatanmu dengan tujuan agar diketahui oleh banyak orang.
·Janganlah kamu terlalu jauh memasuki urusan dunia sehingga membuat dirimu lupa akan perkara akhirat.
·Janganlah kamu mendoakan seseorang dengan ucapan yang berbeda dengan apa yang ada di hatimu.
·Janganlah kamu memandang agung akan dirimu terhadap manusia, maka akan putuslah bagimu segala kebaikan dunia dan akhirat.
·Janganlah kamu berlaku nista dalam majelismu sehingga orang-orang pergi menjauh karena keburukan perangaimu.
·Janganlah kamu suka mengungkit-ungkit kebajikan kepada manusia.
·Janganlah kamu merobek-robek perihal pribadi orang lain, niscaya dirimu kelak akan dirobek-robek pula oleh anjing-anjing Jahannam. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala., ... dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut.’ (QS. An-Nazi’at : 2).
Yakni, ia akan mengupas daging dari tulangmu.”
Aku (Mu’adz bin Jabal r.a.) bertanya, “Ya, Rasulallah! Lalu, siapakah orang yang sanggup menanggung penderitaan ini?”
Jawab beliau, “Hai, Mu’adz! Sesungguhnya apa yang aku sebutkan kepadamu tadi sangatlah mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Yaitu, cukuplah kamu dengan jalan mencintai untuk orang lain apa-apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri, dan membenci untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri. Dengan demikian, maka kamu dapat selamat.”
Khalid bin Makdan rahimahullah meriwayatkan, “Mu’adz senantiasa membaca hadits di atas seperti dia selalu membaca kitab Al-Qur’an, dan mempelajari hadits tersebut sebagaimana mempelajari Al-Qur’an di dalam majelis”. [ Hakam elChudrie ].
“Puji syukur ke hadirat Allah yang telah menentukan qadla’ atas makhluk menurut kehendak-Nya, hai Mu’adz.”
Jawabku, “Benar, ya Sayyidil Mursalin.”
Sabda beliau shollallaahu ‘alayhi wa sallama kemudian, “Aku ingin mengisahkan sebuah riwayat kepadamu. Apabila kamu menghafalnya, akan sangat berguna bagimu. Tetapi jika kamu memandangnya remeh, maka kelak kamu tidak akan memiliki hujjah di hadapan Allah.
Hai, Mu’adz! Sebelum menciptakan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh malaikat. Pada setiap langit terdapat satu malaikat pengawal pintu menurut derajat pintu dan keagungannya. Kemudian, naiklah malaikat Hafadhah (malaikat yang bertugas mengawasi amal hamba) membawa amalan si hamba dengan kemilau cahaya bagaikan matahari. Sesampainya pada langit bumi, malaikat Hafadhah memuji-muji amalan itu. Tetapi setibanya pada pintu langit pertama, malaikat pengawal berkata kepada malaikat Hafadhah, ‘Tamparkan amal ini ke muka pemiliknya! Aku adalah pengawas orang-orang yang suka mengumpat. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar menolak amalan-amalan orang yang suka mengumpat, dan supaya aku tidak membiarkannya melewatiku.’
Keesokan harinya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amal shaleh yang berkilau yang dipandangnya sangat banyak dan terpuji. Sesampainya ke langit kedua (ia lolos dari malaikat penjaga pintu langit pertama, sebab pemiliknya bukan seorang pengumpat), malaikat pengawal berkata, ‘Berhenti, dan lemparkanlah amalan ini ke muka pemiliknya! Sebab, dia beramal dengan mengharapkan dunia, aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku.’ Maka, para malaikat melaknat orang itu. Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amalan seorang hamba yang sangat memuaskan, penuh sedekah, puasa dan berbagai kebajikan, yang oleh malaikat Hafadhah dianggapnya sangat mulia dan terpuji. Sesampai di langit ketiga (ia lolos dari malaikat penjaga pintu langit pertama dan kedua, sebab pemiliknya bukan seorang pengumpat/pengharap dunia), malaikat pengawal berkata, ‘Berhenti! Tamparkan amal itu ke muka pemiliknya. Aku malaikat penjaga sifat sombong. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar aku tidak membiarkannya melewatiku. Sesungguhnya dia telah bersikap sombong kepada manusia dalam majelis-majelis mereka.’ Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amal hamba lainnya yang terang berkilauan bagaikan bintang dan mengeluarkan suara gemuruh, penuh tasbih, puasa, salat, haji dan umrah. Sesampainya di langit keempat (ia lolos dari malaikat pengawal pintu pertama, kedua dan ketiga, sebab pemiliknya bukan seorang pengumpat/pengharap dunia/sombong), malaikat pengawal berkata, ‘Berhenti! Tamparkan amal itu ke muka pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga ujub. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku. Sesungguhnya dia beramal dengan disertai ujub.
Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amalan hamba lainnya, yang sangat baik dan mulia, penuh jihad, haji, umrah, sehingga bercahaya seperti kilauan matahari. Sesampainya di langit kelima (ia lolos dari malaikat pengawal pintu pertama, kedua, ketiga dan keempat, sebab pemiliknya bukan orang pengumpat/pengharap dunia/sombong/ujub), malaikat pengawal berkata, ‘Aku malaikat penjaga hasud. Walaupun amalannya amat bagus, namun dia suka hasud kepada orang lain yang memperoleh kenikmatan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, berarti dia membenci Dzat yang meridhai. Sesungguhnya aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku.’
Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit membawa amalan hamba lainnya, yang berupa wudlu’ yang sempurna, shalat yang banyak, puasa, haji dan umrah. Sesampainya di langit keenam (ia lolos dari malaikat pengawal pintu langit pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, sebab pemiliknya bukan seorang pengumpat/pengharap dunia/sombong/ujub/hasud), malaikat pengawal berkata, ‘Aku malaikat penjaga rahmat belas-kasih. Berhenti! Tamparkan amal ini ke muka pemiliknya. Selama hidupnya, orang ini tidak pernah mengasihi orang lain, bahkan dia merasa senang jika melihat yang lainnya ditimpa musibah. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku.’
Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadhah naik ke langit tujuh, membawa amalan yang lebih baik dari yang lalu, berupa sedekah, puasa, shalat, jihad dan wara’. Suaranya menggelegar bagai petir menyambar-nyambar dan bercahaya bagai kilat. Sesampainya di langit tujuh, malaikat pengawal berkata, ‘Aku malaikat penjaga sum’at (tidak ingin terkenal). Sesungguhnya pemilik amal ini menginginkan kemasyhuran dalam setiap perkumpulan; menginginkan derajat tinggi di waktu berkumpul dengan kawan-kawan sebaya; ingin mendapatkan pengaruh dari para pemimpin. Aku diperintahkan oleh Tuhanku agar tidak membiarkannya melewatiku. Sebab, ibadah yang bukan karena Allah adalah riya’, dan Dia tidak menerima amal ibadah orang-orang ahli riya’.’ Kemudian malaikat Hafadhah kembali naik ke langit membawa amal dan ibadah seorang hamba berupa ibadah shalat, puasa, haji, umrah, akhlak mulia, pendiam, suka berdzikir kepada Allah, dengan diiringi para malaikat dari tujuh lapis langit, hingga terbukalah seluruh hijab menuju kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Dan para malaikat itu mengantarkan serta mempersaksikan padaNya akan amal sholih (yang dilakukan dengan) ikhlas karena Allah Ta’ala.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala kemudian berfirman, “Hai, Hafadhah! Malaikat Pencatat Amal HambaKu! Aku-lah yang Maha Mengetahui akan segala isi hatinya. Sesungguhnya dia beramal bukan untukku, tetapi diperuntukkan bagi selain Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk-Ku. Aku adalah lebih Mengetahui daripada kalian. Aku laknat mereka yang telah menipu orang lain dan menipu kalian (para malaikat Hafadhah). Tetapi Aku tidaklah akan pernah tertipu olehnya. Aku-lah Yang Maha Mengetahui akan hal-hal yang ghaib; Aku Maha Mengetahui akan segala isi hatinya; yang samar tidaklah samar bagiKu; setiap yang tersembunyi tidaklah tersembunyi bagiKu; Pengetahuan-Ku atas yang telah terjadi sama dengan Pengetahuan-Ku atas sesuatu yang belum terjadi; Pengetahuan-Ku atas segala sesuatu yang telah lewat sama dengan Pengetahuan-Ku atas yang akan datang; Pengetahuan-Ku atas orang-orang terdahulu sama dengan Pengetahuan-Ku atas orang-orang kemudian. Aku lebih Mengetahui atas segala sesuatu yang samar dan terahasiakan. Bagaimana bisa hambaKu menipu dengan amalannya. Mereka dapat saja menipu sesama makhluk, tetapi Aku Maha Mengetahui akan hal-hal yang ghaib. Aku laknat dia!!’ Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat berkata, ‘Ya, Tuhan! Dengan demikian, tetaplah laknatMu dan laknat kamu atasnya!’ Kemudian, semua yang berada di langit sama mengucapkan, ‘Tetaplah laknat Allah kepadanya dan laknat semua yang melaknat!!”
Demi mendengar semua itu, Mu’adz lantas menangis tersedu-sedu, kemudian berkata, “Ya, Rasulallah! Bagaimana kita dapat selamat dari semua yang engkau sebutkan tadi?”
Jawab beliau shollallaahu ‘alayhi wa sallama, “Hai, Mu’adz! Ikutilah Nabimu dalam perkara agama!”
Aku (Mu’adz) berkata, “Engkau adalah Rasulullah, sedangkan aku hanyalah Mu’adz bin Jabal. Bagaimana aku dapat selamat dari bahaya itu?”
Beliau shollallaahu ‘alayhi wa sallama bersabda, “Kamu benar, hai Mu’adz.
Apabila dalam amal perbuatanmu terdapat kekurangan, maka tahanlah lidahmu jangan sampai menjelek-jelekkan orang, terutama saudara-saudaramu sesama penganut ajaran Al-Qur’an. Janganlah kamu jelek-jelekkan mereka, sebab pada dirimu pun terdapat cela.
·Janganlah kamu sok suci dengan memandang hina saudara-saudaramu.
·Janganlah kamu perlihatkan amal perbuatanmu dengan tujuan agar diketahui oleh banyak orang.
·Janganlah kamu terlalu jauh memasuki urusan dunia sehingga membuat dirimu lupa akan perkara akhirat.
·Janganlah kamu mendoakan seseorang dengan ucapan yang berbeda dengan apa yang ada di hatimu.
·Janganlah kamu memandang agung akan dirimu terhadap manusia, maka akan putuslah bagimu segala kebaikan dunia dan akhirat.
·Janganlah kamu berlaku nista dalam majelismu sehingga orang-orang pergi menjauh karena keburukan perangaimu.
·Janganlah kamu suka mengungkit-ungkit kebajikan kepada manusia.
·Janganlah kamu merobek-robek perihal pribadi orang lain, niscaya dirimu kelak akan dirobek-robek pula oleh anjing-anjing Jahannam. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala., ... dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut.’ (QS. An-Nazi’at : 2).
Yakni, ia akan mengupas daging dari tulangmu.”
Aku (Mu’adz bin Jabal r.a.) bertanya, “Ya, Rasulallah! Lalu, siapakah orang yang sanggup menanggung penderitaan ini?”
Jawab beliau, “Hai, Mu’adz! Sesungguhnya apa yang aku sebutkan kepadamu tadi sangatlah mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Yaitu, cukuplah kamu dengan jalan mencintai untuk orang lain apa-apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri, dan membenci untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri. Dengan demikian, maka kamu dapat selamat.”
Khalid bin Makdan rahimahullah meriwayatkan, “Mu’adz senantiasa membaca hadits di atas seperti dia selalu membaca kitab Al-Qur’an, dan mempelajari hadits tersebut sebagaimana mempelajari Al-Qur’an di dalam majelis”. [ Hakam elChudrie ].
BID'AH MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Bid’ah adalah perkara teramat buruk dalam agama, yang Rasul telah mewanti- wanti kita jangan sampai terjerumus ke dalamnya. Demikian pula para ulama’ al waritsatul anbiya, sepanjang usia umat ini, terus mengingatkan dan membentengi umat dari bid’ah yang amat tercela. Dan seharusnya masalah penting ini wajib untuk selalu disampaikan dan diingatkan ketenah-tengah umat, mengingat besarnya bahaya bid''ah dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Namun masalahnya menjadi lain sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum muslimin – yang mereka terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah melayangkan bid’ah kepada saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit ulama’ –ulama’ yang mereka hujat sebagai pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai pemancang bid’ah ditengah-tengah umat. Hal ini terkadang hanya karena perbedaan amaliyah dan pendapat fiqiyah. Atau disebabkan cara pendefinisian yang berbeda tentang apa itu bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir begitu saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja. Sebab yang namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian, ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah bid''ah dan pengertiannya ini menjadi krusial.
Lain halnya bila sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama baik salaf maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman Roy, Aliran nyeleneh Ahmad Musadiq, acara melarung kerbau kelaut untuk buang sial, atau ajaran Lia Aminuddin dan sebagainya, maka setiap kita harus lantang dalam menyampaikan ini ke umat, agar mereka terbentengi dari bid’ah yang merupakan perbuatan yang sangat tercela. Namun, jika suatu masalah dirumuskan berbeda oleh para ulama’ yang satu berkata A sedangkan yang lain berkata B, alangkah tidak bijaknya bila kita saling menuding dan saling lempar kata bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan musibah yang lebih besar kita timbulkan sebab pertikaian ini. Kita menjadi pencaci, pembenci dan pengumpat kepada orang-orang yang justru Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk memuliakan mereka. Kita demikian mudah menistakan segolongan kaum muslimin bahkan ulama’-ulama’ hanya karena mereka berbeda definisi dalam masalah bid’ah.
Sehingga melalui tulisan ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang masalah penting ini, agar jangan mudah seseorang melontarkan kata bid’ah kepada saudaranya. Sebenarnya, masalah ini telah diterangkan oleh ulama salaf dan khalaf sepanjang perjalanan usia umat ini. Semoga Allah memudahkan kita menerima kebenaran, ditumbuhkan rasa kasih sayang diantara kita, dan kita semoga Allah mengumpulkan kita dengan Nabi SAW di syurga-Nya kelak. Amin.
PENGERTIAN BID’AH
Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya ; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau mubdi’“[1]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.
1.Ibnu Hajar al-Asqalani. Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[2]
2.Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i.[3]
3.Muhammad Rasyid Ridha. Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]
Penjelasan Definisi
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas.
Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela ?
Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.
- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.
MACAM-MACAM BID’AH
Setelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan kita memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan Salafus-halih yang memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5]
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Jika kita masih mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut : “Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka iapun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang lima”.[6]
Al-Imam an-Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam :
1.Wajib. Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan lain-lain.
2.Mandub (disukai). Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.
3.Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa) dan lain-lain.
4.Makruh. Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5.Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[7]
Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah menjadi beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya menemukan dua hal; perintah dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau mungkin sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan an-Nawawi.
Dengan demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah adalah termasuk golongan ahli Bid’ah Dhalalah.
Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin. Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW justru pernah melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an.
Kitab Hadits, seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul pada zaman Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits, namun mereka tetap membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan bercampurnya ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari dengan hadirnya peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat Hadits Nabi.
Demikian pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan menjaga dan memahami al-Qur’an dan Hadits.
Demikian pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi.
Demikian pula dengan Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua adalah Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat untuk kaum muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita tarik mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak dibukukan, apa kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat RA yang hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan riwayatnya sendiri.
Demikian pula dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula ilmu Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih.
Rasulullah SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan, makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah (inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru terkadang juga menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah berijtihad dalam urusan agama dan masalah bid’ah.
PENJELASAN HADITS-HADITS TENTANG BID’AH
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.
Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutib dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.
A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu bukan bid’ah
B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
A : Terdiam tidak menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”
Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan : Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:
1.Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
2.Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Di antaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur. Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23).
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8).
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata : “Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]
Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber agama atau dalil baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama berikut ini.
Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU (Tidak Ada Di Zaman Nabi ) DAN SUMBERNYA *
1.Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
2.Memberi titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an
3.Membaca doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina) Hadits “Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”
4.Menyusun Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa setempat
5.Hadits, “berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
6.Mengumpulkan muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb. Jelas banyak dalilnya.
7.Membuat Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
8.Memberi gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb. Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang disukai
*Diantaranya saja
Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil Atau Bertentangan Dengan Syari’at
1.Melakukan shalat karena adanya bulan purnama. Tidak ada sumbernya
2.Adzan dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll. Tidak ada sumbernya
3.Shalat dengan mengangkat kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
4.Shalat dengan berbahasa selain bahasa arab. Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits shalat.
HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi).
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
______________________________________
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah
Namun masalahnya menjadi lain sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum muslimin – yang mereka terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah melayangkan bid’ah kepada saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit ulama’ –ulama’ yang mereka hujat sebagai pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai pemancang bid’ah ditengah-tengah umat. Hal ini terkadang hanya karena perbedaan amaliyah dan pendapat fiqiyah. Atau disebabkan cara pendefinisian yang berbeda tentang apa itu bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir begitu saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja. Sebab yang namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian, ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah bid''ah dan pengertiannya ini menjadi krusial.
Lain halnya bila sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama baik salaf maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman Roy, Aliran nyeleneh Ahmad Musadiq, acara melarung kerbau kelaut untuk buang sial, atau ajaran Lia Aminuddin dan sebagainya, maka setiap kita harus lantang dalam menyampaikan ini ke umat, agar mereka terbentengi dari bid’ah yang merupakan perbuatan yang sangat tercela. Namun, jika suatu masalah dirumuskan berbeda oleh para ulama’ yang satu berkata A sedangkan yang lain berkata B, alangkah tidak bijaknya bila kita saling menuding dan saling lempar kata bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan musibah yang lebih besar kita timbulkan sebab pertikaian ini. Kita menjadi pencaci, pembenci dan pengumpat kepada orang-orang yang justru Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk memuliakan mereka. Kita demikian mudah menistakan segolongan kaum muslimin bahkan ulama’-ulama’ hanya karena mereka berbeda definisi dalam masalah bid’ah.
Sehingga melalui tulisan ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang masalah penting ini, agar jangan mudah seseorang melontarkan kata bid’ah kepada saudaranya. Sebenarnya, masalah ini telah diterangkan oleh ulama salaf dan khalaf sepanjang perjalanan usia umat ini. Semoga Allah memudahkan kita menerima kebenaran, ditumbuhkan rasa kasih sayang diantara kita, dan kita semoga Allah mengumpulkan kita dengan Nabi SAW di syurga-Nya kelak. Amin.
PENGERTIAN BID’AH
Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya ; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau mubdi’“[1]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.
1.Ibnu Hajar al-Asqalani. Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[2]
2.Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i.[3]
3.Muhammad Rasyid Ridha. Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]
Penjelasan Definisi
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas.
Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela ?
Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.
- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.
MACAM-MACAM BID’AH
Setelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan kita memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan Salafus-halih yang memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5]
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Jika kita masih mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut : “Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka iapun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang lima”.[6]
Al-Imam an-Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam :
1.Wajib. Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan lain-lain.
2.Mandub (disukai). Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.
3.Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa) dan lain-lain.
4.Makruh. Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5.Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[7]
Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah menjadi beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya menemukan dua hal; perintah dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau mungkin sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan an-Nawawi.
Dengan demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah adalah termasuk golongan ahli Bid’ah Dhalalah.
Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin. Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW justru pernah melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an.
Kitab Hadits, seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul pada zaman Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits, namun mereka tetap membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan bercampurnya ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari dengan hadirnya peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat Hadits Nabi.
Demikian pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan menjaga dan memahami al-Qur’an dan Hadits.
Demikian pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi.
Demikian pula dengan Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua adalah Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat untuk kaum muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita tarik mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak dibukukan, apa kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat RA yang hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan riwayatnya sendiri.
Demikian pula dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula ilmu Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih.
Rasulullah SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan, makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah (inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru terkadang juga menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah berijtihad dalam urusan agama dan masalah bid’ah.
PENJELASAN HADITS-HADITS TENTANG BID’AH
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.
Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutib dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.
A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu bukan bid’ah
B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
A : Terdiam tidak menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”
Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan : Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:
1.Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
2.Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Di antaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur. Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23).
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8).
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata : “Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]
Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber agama atau dalil baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama berikut ini.
Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU (Tidak Ada Di Zaman Nabi ) DAN SUMBERNYA *
1.Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
2.Memberi titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an
3.Membaca doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina) Hadits “Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”
4.Menyusun Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa setempat
5.Hadits, “berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
6.Mengumpulkan muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb. Jelas banyak dalilnya.
7.Membuat Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
8.Memberi gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb. Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang disukai
*Diantaranya saja
Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil Atau Bertentangan Dengan Syari’at
1.Melakukan shalat karena adanya bulan purnama. Tidak ada sumbernya
2.Adzan dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll. Tidak ada sumbernya
3.Shalat dengan mengangkat kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
4.Shalat dengan berbahasa selain bahasa arab. Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits shalat.
HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi).
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
______________________________________
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah
Langganan:
Postingan (Atom)
KHUTBAH JUM'AH
NASAB HABIB BA ALAWI SEPERTI MALAM LIKURAN
Para habaib sering mengungkapkan narasi bahwa, nasab para habib Ba Alawi sudah terang benderang bagaikan matahari di sianghari. Jika di sian...
-
UMUR NU BAROKAH مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًامِنْ اَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ "Saha jalma anu ka-ayaan dina poe ieu leuwih alus tiba...
-
Bismillahirohmanirahim 🍁 🌻 Imam Syafi’i adalah adalah seorang ulama besar yang banyak melakukan dialog dan pandai dalam berdebat. S...
-
Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli dan Tajalli Tasawuf adalah salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang...